Apa Kabar Dunia

Mari Belajar bersama

Jumat, 10 Agustus 2012

HATI-HATI DALAM BERTAWADHU'



Adakalanya seseorang yang sombong berlindung di balik topeng ke-tawadhu-an. Sepintas ia terlihat rendah hati. Padahal, hal itu dilakukan agar ia dianggap orang yang rendah hati sehingga merasa tawadhu.

Barang siapa yang merasa tawadhu', menurut Muhammad Ibnu ath-Tho'illah, maka berarti ia benar - benar sombong.

Sebab, tidak mungkin ia merasa tawadhu' kecuali kalau ia merasa besar/tinggi. Karena itu, kata Ibnu ath-Tho'illah, bila kita menetapkan bahwa diri kita besar/tinggi, maka kita sesungguhnya telah takabur.

Rosululloh SAW bersabda, "Sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain." Seorang Muslim yang tawadhu, bukanlah seorang Muslim yang bila bertawadhu lalu merasa bahwa ia telah mengalah atau merendahkan dirinya. Tetapi, seseorang yang tawadhu ialah yang bila berbuat sesuatu merasa dirinya belum layak mendapatkan kedudukan--tawadhu--itu.

ليس المتواضع الذي إذا تواضع رأى أنه فوق ما صنع )

( ولكن المتواضع الذي إذا تواضع رأى أنه دون ما صنع )



"Orang yang mempunyai sifat tawadlu' bukanlah orang yang, ketika dia melakukan tawadlu' maka dia merasa bahwa sifatnya mengungguli atas apa yang dilakukannya. Tetapi orang yang tawadlu' adalah, ketika dia tawadlu' maka dia merasa bahwa sifatnya lebih rendah dari perbuatan yang dilakukannya".

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَىْ زُورٍ ».



Artinya : Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasalam bersabda : "orang yang keyang dengan sesuatu yang tidak berhak untuk diberi itu seperti orang memakai dua pakaian kebohongan".


Karena itu, hindarilah sikap sombong yang tersembunyi. Saat kita berusaha tawadhu', berhati - hatilah agar perasaan bahwa kita sudah tawadhu' tidak muncul. Berlindunglah kepada Alloh Swt agar kita tidak diperdaya setan.

وأخرج أبو داود وبن أبي حاتم بسند قوي من حديث بن عباس أنه سئل عن الاستئذان في العورات الثلاث فقال ان الله ستير يحب الستر وكان الناس ليس لهم ستور على أبوابهم.





Dalam hadist ini Alloh subhanahu wata'ala tidak menyukai hambanya, ketika dia menyebutkan ‘aib-‘aibnya.

التواضع الحقيقي هو ما كان ناشئا )

عن شهود عظمته وتجلّى صفته )

" Tawadlu' yang hakiki adalah tawadlu' yang tumbuh dengan melihat keagungan Alloh, dan sifatNya "

Hati, ketika didalamnya mempunyai rasa mengagungkan Alloh, melihat tanda-tanda kebesaran Alloh yang menunjukan adanya sang pencipta maka dunia beserta isinya akan sirna dihadapannya dan tidak ingat dengan dirinya, tetapi dihadapannya hanyalah Alloh semata, ketika dia sudah sadar dari kefana'annya dan kembali kepada semula maka dia akan merasakan sifat kehambaannya kepada Alloh, dan dia juga meyakini bahwa macam-macam anugerah yang dimilikinya itu semua karena Alloh, begitu juga dengan amal-amal yang dilakukannya dia tidak melihat nya, hal ini akan mengakibatkan kepadanya mempunyai sifat rasa rendah diri dihadapan Alloh, sedangkan mempunyai sifat tersebut tidak akan mungkin terjadi kecuali dengan mempunyai sifat kehambaan kepadaNya.

Seorang muslim yang sudah menemukan dan merasakan nikmatnya beribadah kepada Alloh dengan istiqomah sampai pada derajat ma'rifat kepadaNya, sesungguhnya ketika dia melihat ibadah, perbuatan baik yang dilakukannya maka sesungguhnya dia sudah melakukan pekerjaan suluk kepada Alloh dan sudah menanamkan rasa kebahagiaaan dihari nanti.

Apabila Dia merasakan bahwa Ibadah dan pekerjaan yang bisa mendekatkan diri kepada Alloh merupakan suatu beban yang sangat berat, maka dia akan merasakan kelemahan dan kelalaian dalam beribadah, dan jika sifat kehambaannya kepada Alloh terus bertambah maka akan tambah pula rasa mengagungkannya kepada Alloh dan menyaksikan kebesaranNya. Hal seperti inilah yang bisa menyebabkan fana' (tidak ingat pada dirinya kecuali Alloh).

Sebaik-baiknya derajat fana' ialah apabila dipandang dari segi sifat kehambaan dan rasa lemah pada dirinya ketika melaksanakan beberapa perintah Allah subhanahu wata'ala sedangkan dia bisa bangkit pada derajat tersebut dengan meminta pertolongan kapada Allah, karena dia merasa bahwa tidak ada kekuatan untuk meninggalkan maksiat dan melaksanakan beberapa perintah Allah kecuali pertolonganNya.

Sebelum kau terluka
Cobalah kau katakan
Apa benar kau kira inilah kutukan
Ku tak bisa percaya kalau kau tak merasa
Keindahan dunia jika disampingnya

Bedakan.....

sekarang kau merasa kau tak butuhkan dia
Tapi cobalah saja jika dia tak ada
Ada hal - hal yang hilang yang akan kau rasakan
Dan harumnya kenangan takkan bisa kau simpan

Bedakan....

Coba kau belai dia dengan segenap rasa
Dan rasakanlah cinta dengan penuh makna

yang namanya pecinta itu tidak mungkin untuk bisa lepas dari yang dicinta. harapan pecinta hanyalah pemberian dari yang dicinta.

Bila penolakan maka pecinta akan bergiat diri untuk memperoleh harapannya agar yang dicinta menyambut aksinya.

semakin besar daya cinta seseorang kepada yang dicinta, maka dirinya akan merasaan nikmat yang tidak mampu dirasa orang lain, dan dia tidak akan pernah peduli orang, selain yang dicintanya.

reaksi dari yang dicinta adalah suatu anugerah yang didamba pecinta apapun itu hasilnya.

Mampukah sang pecinta mewujudkan kecintaannya kepada yang dicinta?
sebesar apakah daya cintanya kepada yang dicinta?
sudahkah sang pecinta membuktikan cintanya kepada yang dicinta?
apakah yang telah diberikan pecinta kepada yang dicintanya?
siapkah sang pecinta menerima segala yang akan diberikan oleh yang dicinta?
manusia memang dicipta dengan daya cinta, sehingga mereka bahagia menjadi sebagai pecinta.

Sedangkan mereka menyadari sebagai pecinta, namun mereka selalu memimpi sebagai yang dicinta, yakni penguasaan dan tuntutan, sedangkan adalah hukum jiwa apabila yang dicinta adalah sebagai raja dan penguasa. sedangkan pecinta adaalah pelayan dan yang dikuasai dan ditaklukkan.
adakah penguasa takluk kepada yang dikuasai?
adakah yang ditaklukkan itu bisa menuntut yang menguasai?

Sabtu, 04 Agustus 2012

MUJTAHID DAN SYARAT-SYARATNYA

Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Membicarakan syarat-syarat mujtahid berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad.

Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat :

- Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang dzonni di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.

- Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).
Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat :

- Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh.

- Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut.

Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai dua syarat yaitu Mengetahui apa yang ada pada Tuhan dan mengetahui/percaya adanya Rasul & apa yang dibawanya juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat-Nya.

Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan stentang Al Qur’an, tentang Sunnah, tentang masalah Ijma’ sebelumnya.

Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.

Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.

Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah.

Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.

TINGKATAN MUJTAHID

1. Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contohnya Maliki, Hambali, Syafi`i, Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-lain.

2. Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut.

MACAM-MACAM IJTIHAD

Dr. ad Dualibi, sebagaimana dikatakan Dr. Wahbah (h. 594), membagi ijtihad kepada tiga macam;

Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i.

Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.

Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar-ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.

HUKUM TAQLID

Secara bahasa taqlid berasal dari kata قَلََّدَ  (qallada) – يُقَلِّدُ (yuqollidu) – تَقْلِيْدًا (taqlîdan). Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridho, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.

Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat.

Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta.

Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Alloh swt berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُون

“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Alloh swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Alloh swt turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Alloh swt )” (QS. Al-Baqarah 2: 170).
Hukum Taqlid

Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum: Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid yang diharamkan.

Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :

a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.

b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.

c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

Taqlid yang dibolehkan

Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Alloh swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.

Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:

a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.

b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.

Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).

Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya”

Taqlid yang diwajibkan

Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rosululloh saw. Juga apa yang dikatakan oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Alloh swt telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan al-Hadis yang Alloh swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Alloh swt dan hikmah (Sunnah Nabimu)”(QS. al-Ahzab 33:34)

lnilah Adz-Dzikr yang Alloh swt perintahkan agar kita selalu ittiba’(mengikuti) kepadanya, dan Alloh swt perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Alloh swt turunkan kepada Rosul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya.

Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.

Taqlid yang Berkembang

Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).

Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.

Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid

a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)

Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.

b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)

Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.

c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)

Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.

d. Imam Hambali (164-241 H)

Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya.

Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
Alloh swt telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya diantaranya,

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ ۖ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ

Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka". Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rosul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” (QS. az-Zukhruf 43 : 22-24)

Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba’

Terdapat perbedaan antara taqlid dan ittiba’ diantara hal yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya untuk taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:

Pertama, Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”

Kedua, Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”

Ketiga, Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rosululloh saw, ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun” 

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadis shahih yang menyelisihinya, maka hadis Nabi lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”.

Keempat, Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi saw dan para sahabatnya”
Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taqlid Kepada Mereka

lbnul Qayyim berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.

Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Alloh swt .

Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Alloh dan Rosul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.

Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagai timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah saw.

HUKUM ITTIBA`

Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (اتَبَعَ)yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa’ (اقتفاء) (menelusuri jejak), qudwah (قدوة) (bersuri teladan) dan uswah (أسوة) (berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.

Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut.

Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti).

Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rosululloh SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.

Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.

2. Macam-Macam Ittiba`

a. Ittiba` kepada Alloh dan Rosul-Nya
b. Ittiba` kepada selain Alloh dan Rosul-Nya

Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Alloh, Rosul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.

Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama warotsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).

3. Tujuan Ittiba`

Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
Ittiba’

Kepada siapa kita wajib ittiba’?

Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba’ kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam hal ini Rosululloh saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Alloh swt berfirman,

قال الله تعالى : ﴿ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا ﴾

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rosululloh suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Alloh." (QS. Al-Ahzab 33:21).
Dalam ayat lain Alloh swt berfirman:

قال الله تعالى : ﴿ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾

“Dan apa yang diberikan Rosul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr 59: 7).

Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw dan para shahabatnya.

Ittiba’ kepada Nabi saw dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi saw sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya – apakah merupakan kewajiban, kebid’ahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak kesempurnaannya dst – dengan alasan karena beliau saw meyakininya.

Ittiba’ kepada Nabi saw dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja. Sebagai contoh sabda beliau saw:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : .....صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي ...(رواه البخاري)

“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.”.(HR. Bukhori).

Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.
Sedangkan ittiba’ kepada Nabi saw di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi saw di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau saw meninggalkannya.

Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba’ di dalam perbuatan.
Hukum Ittiba’

Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rosululloh saw dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rosululloh saw di antaranya firman Alloh swt.


قال الله تعالى : ﴿ قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ﴾

“Katakanlah: “Taatilah Alloh dan Rosul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Alloh swt tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali lmran 3: 32).

Dalam ayat lain Alloh swt berfirman:

قال الله تعالى : ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Alloh swt dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Alloh swt. Sesungguhnya Alloh swt Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Hujurat[49]:1).

Demikian juga Alloh swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rosululloh saw dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:

قال الله تعالى : ﴿ وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’4: 115).

Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam

Ittiba' kepada Rosulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah: 

Pertama, Ittiba' kepada Rosululloh saw adalah salah satu syarat diterima amal.

Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:

1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Alloh swt semata.
2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rosululloh saw. 

  Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara: taqwa kepada Alloh swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rosul)." Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Alloh swt semata dan serupa dengan sunnah Rosululloh saw, niscaya amal itu akan diterima oleh Alloh swt. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Alloh swt.

Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. 

Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik, maka amalnya baik." 

Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Alloh swt dan Rosul-Nya. 
Allah swt berfirman:

قال الله تعالى : ﴿ قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾

"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran3: 31). 

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Alloh swt, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Alloh swt sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw dalam segala ucapan dan tindak tanduknya." 

Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Alloh swt .

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara waliyulloh dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Alloh swt dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Alloh swt kecuali orang yang beriman kepada Rasululloh saw dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin.

Barangsiapa mengaku cinta kepada Alloh swt dan mengaku sebagai wali Alloh swt, tetapi dia tidak ittiba' kepada Rosul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rosul-Nya, dia termasuk musuh Alloh swt dan sebagai wali syaitan." 

Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Alloh swt tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhoi-Nya yaitu istiqamah di dalam mentaati Alloh swt dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali Allah swt serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali Alloh swt sebagaimana tersebut dalam firman-Nya: 

قال الله تعالى : ﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
﴾ 
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Alloh swt itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus10: 62). 

Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rosululloh saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Alloh swt menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Alloh swt dengan membawa husnul khotimah. Amien, ya Robbal Alamin. 

HUKUM TALFIQ

Talfiq berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.
Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.

Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.

Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.

Pendapat-Pendapat tentang Talfiq

Pendapat pertama, orang awam harus mengikuti madzhab tertentu, tidak boleh memilih suatu pendapat yang ringan karena tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Karena itu mereka belum boleh melakukan talfiq.
Pendapat kedua, membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqan itu.

Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan maksud mencari yang ringan-ringan sesuai dengan kehendak dirinya.

Ruang Lingkup Talfiq

Talfiq sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya pada perkara-perkara ijtihad yang bersifat zhanniyah(perkara yang belum diketahui secara pasti dalam agama). Adapun hal-hal yang diketahui dari agama secara pasti (ma’luumun minaddiini bidhdharuurah), dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma’, yang mana mengingkarinya adalah kufr, maka di situ tidak boleh ada taqlid, apalagi talfiq.

Hukum Talfîq

Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq. Satu kelompok mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan.

Ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman talfiq. Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah ketetapan.

Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah menyalahi ijma'.
Dalil Kelompok yang Mengharamkan Talfiq.

Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma' atas ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati.

Misalnya 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat dua pendapat, pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua tempo 'iddah(‘iddah melahirkan dan ‘iddah yang ditiggal oleh suaminya karena kematian). Maka tidak boleh menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja.

Akan tetapi jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits (menciptakan pendapat ketiga) adalah merupakan qiyas antara dua hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi:

1. Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah permasalahan, sementara permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita adalah permasalahan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak terjadi pendapat ketiga.

2. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan menyapu kepala merupakan khilaf di kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja.

Demikian pula batalnya wudhu' dengan menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada sisi yang disepakati (ijma').

Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada dasar yang salah yaitu qiyas ma'al faariq.

Apabila ulama Hanafiyah mengklaim ijma' atas keharaman talfiq, akan tetapi realita yang ada sangat bertentangan. Ulama-ulama terpercaya seperti Al Fahâmah Al Amîr dan Al Fâdhil Al Baijuri telah menukilkan apa yang menyalahi dakwaan ulama Hanafiyah tersebut.

Maka klaim adanya ijma' adalah bathil. 
Berkata Al Syafsyawani tentang penggabungan dua mazhab atau lebih dalam sebuah masalah: ”Para ahli ushul berbeda pendapat tentang hal ini. Yang benar berdasarkan sudut pandang adalah kebolehannya (talfiq).”

Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa keharaman talfiq merupakan ijma', maka hal itu adakala dengna i'tibar ahli mazhab (ijma' mazhab Hanafi), atau dengan i'tibar kebanyakan.

Dan adakala juga berdasarkan pendengaran ataupun persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahan telah menjadi ijma', pastilah ulama mazhab yang lain telah menetapkannya (mengatakannya) juga....”

Dalil Kelompok yang Membolehkan
Para ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil dengan beberapa alasan:

Alasan Pertama

Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad.

Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain.
Di kalangan para shahabat nabi saw terdapat para shahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khottob ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya.

Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama.

Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak boleh bertanya kepada orang lain.
Dan para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya.
Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran, sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri?

Alasan Kedua

Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab.

Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan. Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.

Alasan Ketiga

Nabi saw melalui Aisyah disebutkan:

“Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “.
Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil syar'i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi saw selalu cenderung untuk mengerjakan yang lebih ringan.

Itu nabi Muhammad saw sendiri, seorang nabi utusan Alloh swt. Lalu mengapa harus ada orang yang main larang untuk melakukan apa yang telah nabi lakukan?

Dan ini merupakan salah satu dasar tegaknya syariat Islam yaitu member kemudahan, tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan, hal ini sesuai pula dengan sabda Nabi Muhammad saw:

“Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”.

Diantara para ulama yang mendukung talfiq adalah:

‘Al-Izz Ibnu Abdissalam menyebutkan bahwa dibolehkan bagi orang awam mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi.

Dengan alasan bahwa agama Allah swt itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Alloh swt dalam surat al-Hajj ayat 78:

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan. Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.

Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang,  menurut pandangan ulama'-ulama' talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan dlorurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat. 


Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu.
Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaku Ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.

2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,

3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dzonni (prasangkaan).

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).

Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.
Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. 
Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.
Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlolal (sesat). Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.

Wallohu A'lam

Rabu, 01 Agustus 2012

MASA MUDA ADALAH MASA YANG PALING UTAMA UNTUK BERAMAL SHOLEH

Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya, masa untuk bersenang-senang. Sebagian mereka mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda. Bagaimana mungkin waktu muda foya-foya, tanpa amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kita katakan sangatlah mustahil. Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu. Semoga melalui risalah ini dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah tempat kami bersandar dan berserah diri.


Wahai Pemuda, Hidup di Dunia Hanyalah Sementara

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar 12 tahun) yaitu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu bersabda,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ , أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

“Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)

Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia.

Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata.” (Dinukil dari Fathul Bariy, 18/224)

Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah akhirat. Jadi, hadits ini mengingatkan kita dengan kematian sehingga kita jangan berpanjang angan-angan. Hadits ini juga mengingatkan kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita,

ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ

“Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)

Manfaatkanlah Waktu Muda, Sebelum Datang Waktu Tuamu

Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara:
1- Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
2- Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
3-Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
4- Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
5-Hidupmu sebelum datang kematianmu.”

(HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. )

Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu MUDA) ), sebelum datang masa tua renta.”

Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.”

Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatklah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.”

Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya: “Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.”

Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.”

Al Munawi mengatakan,

فَهِذِهِ الخَمْسَةُ لَا يَعْرِفُ قَدْرَهَا إِلاَّ بَعْدَ زَوَالِهَا

“Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya dan waktu ketika hidup) barulah seseorang betul-betul mengetahui nilainya setelah kelima hal tersebut hilang.” 

Benarlah kata Al Munawi. Seseorang baru ingat kalau dia diberi nikmat sehat, ketika dia merasakan sakit. Dia baru ingat diberi kekayaan, setelah jatuh miskin. Dan dia baru ingat memiliki waktu semangat untuk beramal di masa muda, setelah dia nanti berada di usia senja yang sulit beramal. Penyesalan tidak ada gunanya jika seseorang hanya melewati masa tersebut dengan sia-sia.

Orang yang Beramal di Waktu Muda Akan Bermanfaat untuk Waktu Tuanya

Dalam surat At Tiin, Allah telah bersumpah dengan tiga tempat diutusnya para Nabi ‘Ulul Azmi yaitu

1- Baitul Maqdis yang terdapat buah tin dan zaitun –tempat diutusnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam-,

2-  Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihis salam,

3- Negeri Mekah yang aman, tempat diutus Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun berfirman,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin [95]: 4-6)

Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,” ada empat pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya sebagaimana di waktu muda yaitu masa kuat dan semangat untuk beramal.” Pendapat ini dipilh oleh ‘Ikrimah.

“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah, juga Adh Dhohak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah “dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia muda, atau dikembalikan di masa-masa tidak semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk beramal.” Masa tua adalah masa tidak semangat untuk beramal. Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan masa tua. Masa kecil dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda.

An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan pada saat itu sangat sulit untuk beramal, maka akan dicatat untuknya pahala sebagaimana amal yang dulu dilakukan pada saat muda. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah (yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”

Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang beriman” adalah kecuali orang-orang yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah berkurang amalan mereka, walaupun mereka tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia senja.

Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui, seandainya mereka masih diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, mereka tidak akan berhenti untuk beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu mudanya, (di saat tua renta), dia akan diberi ganjaran sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir, 9/172-174)

Begitu juga kita dapat melihat pada surat Ar Ruum ayat 54.

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)



Ibnu Katsir mengatakan, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala menceritakan mengenai fase kehidupan, tahap demi tahap. Awalnya adalah dari tanah, lalu berpindah ke fase nutfah, beralih ke fase ‘alaqoh (segumpal darah), lalu ke fase mudh-goh (segumpal daging), lalu berubah menjadi tulang yang dibalut daging.

Setelah itu ditiupkanlah ruh, kemudian dia keluar dari perut ibunya dalam keadaan lemah, kecil dan tidak begitu kuat. Kemudian si mungil tadi berkembang perlahan-lahan hingga menjadi seorang bocah kecil. Lalu berkembang lagi menjadi seorang pemuda, remaja. Inilah fase kekuatan setelah sebelumnya berada dalam keadaan lemah. Lalu setelah itu, dia menginjak fase dewasa (usia 30-50 tahun). 

Setelah itu dia akan melewati fase usia senja, dalam keadaan penuh uban. Inilah fase lemah setelah sebelumnya berada pada fase kuat. Pada fase inilah berkurangnya semangat dan kekuatan. Juga pada fase ini berkurang sifat lahiriyah maupun batin. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban”.” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada surat Ar Ruum ayat 54)

Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan.

Jika engkau masih berada di usia muda, maka janganlah katakan: jika berusia tua, baru aku akan beramal.

Daud Ath Tho’i mengatakan,

إنما الليل والنهار مراحل ينزلها الناس مرحلة مرحلة حتى ينتهي ذلك بهم إلى آخر سفرهم ، فإن استطعت أن تـُـقدِّم في كل مرحلة زاداً لما بين يديها فافعل ، فإن انقطاع السفر عن قريب ما هو ، والأمر أعجل من ذلك ، فتزوّد لسفرك ، واقض ما أنت قاض من أمرك ، فكأنك بالأمر قد بَغَـتـَـك

Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan manusia sampai dia berada pada akhir perjalanannya. Jika engkau mampu menyediakan bekal di setiap tempat persinggahanmu, maka lakukanlah. Berakhirnya safar boleh jadi dalam waktu dekat. Namun, perkara akhirat lebih segera daripada itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju negeri akhirat). Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, kematian itu datangnya tiba-tiba. (Kam Madho Min ‘Umrika?, Syaikh Abdurrahman As Suhaim)

Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11]: 88)



Semoga Allah memperbaiki keadaan segenap pemuda yang membaca risalah ini. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.

Selasa, 31 Juli 2012

RISALAH SAHABAT ABU AYYUB AL-ANSHORIY .. kakek Al-hallaj

Dimakamkan di bawah pilar kota Konstantinopel)
Sahabat yang mulia ini bernama :KHALID BIN ZAID BIN KULAIB dari Bani Najjar. Gelarnya Abu Ayyuh, dan golongan Anshar. Siapakah di antara kaum muslimin yang belum mengenal Abu Ayyub Al-Anshary?

Nama dan derajatnya dimuliakan Allah di kalangan makhluk, baik di Timur mahupun di Barat. Kerana Allah telah memilih rumahnya di antara sekalian rumah kaum muslimin, untuk tempat tinggal Nabi-Nya yang mulia, ketika beliau baru tiba di Madinah sebagai Muhajir. Hal ini cukup membanggakan bagi Ayu Ayyub.
Bertempatnya Rasulullah di rumah Abu Ayyub merupakan kisah manis untuk diulang-ulang dan enak untuk dikenang-kenang.

Setibanya Rasulullah di Madinah, beliau disambut dengan hati terbuka oleh seluruh penduduk, beliau dielu-elukan dengan kemuliaan yang belum pernah diterima se orang tamu atau utusan manapun. Seluruh mata tertuju kepada beliau memancarkan kerinduan seorang kekasih kepada kekasihnya yang baru tiba. Mereka membuka hati lebar-lebar untuk menerima kasih sayang Rasulullah. Mereka buka pula pintu rumah masing-masing, supaya kekasih mulia yang drindukan itu sudi bertempat tinggal di rumah mereka.

Sebelum sampai di kota Madinah, beliau berhenti lebih dahulu di Quba selama beberapa hari. Di kampung itu beliau membangun masjid yang pertama-tama didirikan atas dasar taqwa. Sesudah itu beliau meneruskan perjalanan ke kota Yatsrib mengendarai unta. Para pemimpin Yatsrib berdiri sepanjang jalan yang akan dilalui beliau untuk kedatangannya. Masing-masing berebut meminta Rasulullah tinggal di rumahnya. Kerana itu Sayyid demi Sayyid menghadang dan memegang tali untuk beliau untuk membawanya ke rumah mereka.
“Ya, Rasulullah! Sudilah Anda tinggal di rumah saya selama Anda menghendaki. Akomodasi. dan keamanan Anda terjamin sepenuhnya.” kata mereka berharap.

Jawab Rasulullah, “Biàrkanlah unta itu berjalan ke mana dia mahu, kerana dia sudah mendapat perintah.”
Unta Rasulullah terus berjalan diikuti semua mata, dan diharap-harapkan seluruh hati. Bila untuk melewati sebuah rumah, terdengar keluhan putus asa pemiliknya, kerana apa yang diangan-angankannya ternyata hampa.

Unta terus berjalan melenggang seenaknya. Orang banyak mengiringi di belakang. Mereka ingin tahu siapa yang beruntung rumahnya ditempati tamu dan kekasih yang mulia ini.
Sampai di sebuah lapangan, iaitu di muka halaman rumah Abu Ayyub Al-Anshary unta itu berlutut. Rasulullah tidak segera turun dan punggung unta. Unta itu disu ruhnya berdiri dan berjalan kembali. Tetapi setelah berkeliling-keliling, untuk berlutut kembali di tempat semula.

 Abu Ayyub mengucapkan takbir karena sangat gembira. Dia segera mendekati Rasulullah dan melapangkan jalan bagi beliau. Diangkatnya barang-barang beliau dengan kedua tangannya, bagaikan mengangkat seluruh perbendaharaan dunia. Lalu dibawanya ke rumahnya

 Rumah Abu Ayyub bertingkat tingkat atas dikosongkan dan dibersihkannya untuk tempat tinggal Rasulullah. Tetapi Rasuluulah lebih suka tinggal di bawab. Abu Ayyub menurut saja di mana beliau senang. Setelah malam tiba, Rasulullah masuk ke kamar tidur.


Abu Ayyub dan istrinya naik ke tingkat atas. Ketika suami isteri itu menutupkan pintu, Abu Ayyub berkata kepada isterinya, “Celaka….! Mengapa kita sebodoh ini. Pantaskah Rasulullab bertempat di bawah, sedangkan kita berada lebib tinggi dari beliau” Pantaskah kita berjalan di atas beliau? Pantaskah kita mengalingi antara Nabi dan Wahyu? Niscaya kita celaka!”

 Kedua suami isteri itu bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat Tidak berapa lama berdiam diri, akhirnya mereka memilih kamar yang tidak setentang dengan kamar Rasulullah Mereka berjalan benjingkit-jingkit untuk menghindarkan suara telapak kaki mereka. Setelah hari Subuh, Abu Ayyub berkata kepada Rasulullah kami tidak mahu terpejam sepicing pun malam ini. Baik aku maupun ibu Ayyub”

“Mengapa begitu?” tanya Rasulullah

“Aku ingat, kami berada di atas sedangkan Rasulullah Yang kami muliakan berada di bawah. Apabila bergerak sedikit saja, abu berjatuhan mengenai Rasulullah.
Di samping itu kami mengalingi Rasulullah dengan wahyu,” kata Abu Ayyub menjelaskan “Tenang sajalah, hai Abu Ayyub. Saya lebih suka bertempat tinggal di bawah, karena akan banyak tamu yang datang berkunjung.”

 Kata Abu Ayyub, “Akhirnya saya mengikuti kemauan Rasulullah. Pada suatu malam yang dingin, bejana kami pecah di tingkat atas, sehingga airnya tumpah. Kain lap hanya ada sehelai, karena itu air yang kami keringkan dengan baju, kami sangat kuatir kalau air mengalir ke tempat Rasulullah.
Saya dan Ibu Ayyub bekerja keras mengeringkan air sampai habis. Setelah hari Subuh saya pergi menemui Rasulullah. Saya berkata kepada beliau, “Sungguh mati, saya segan bertempat tinggal di atas, sedangkan Rasulullah tinggal di bawah”.

 Kemudian Abu Ayyub menceritakan kepada beliau perihal bejana yang pecah itu. Karena itu Rasulullah memperkenankan kami pindah ke bawah dan beliau pindah ke atas.
Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub kurang lebih tujuh bulan.
Setelah masjid Rasulullah selesai dibangun, beliau pindah ke kamar-kamar yang dibuatkan untuk beliau dan para isteri beliau sekitar masjid.


Sejak pindah dari rumah Abu , Rasulullah menjadi tetangga dekat bagi Abu Ayyub. Rasulullah sangat menghargai Abu Ayyub suami isteri sebagai tetangga yang baik.
Abu Ayyub mencintai Rasulullah sepenuh hati.


Sebaliknya beliau mencintainya pula, sehingga mereka saling membantu setiap kesusahan masing-masing. Rasulullah memandang rumah Abu Ayyub seperti rumah sendiri.Ibnu ‘Abbas pernah bercerita sebagai berikut:
Pada suatu hari di tengah hari yang amat panas,
Abu Bakar pergi ke masjid, lalu bertemu dengan ‘Umar ra.
“Hai, Abu Bakar! Mengapa Anda keluar di saat panas begini?”, tanya Umar.

Jawab Abu Bakar, “Saya lapar!”
Kata ‘Umar, “Demi Allah! Saya juga lapar.”
Ketika mereka sedang berbincang begitu, tiba-tiba Rasuluflah muncul.
Tanya Rasulullah, “Hendak kemana kalian di saat panas begini?”

 Jawab mereka, ‘Demi Allah! Kami mencari makanan karena lapar.”
Kata Rasulullah, ‘Demi Allah yang jiwaku di tangan Nya! Saya juga lapar.
Nah! Marilah ikut saya.”Mereka bertiga berjalan bersama-sama ke rumah Abu Ayyub Al-Anshary.


Biasanya Abu Ayyub selalu menyediakan makanan setiap hari untuk Rasulullah.
Bila beliau terlambat atau tidak datang, makanan itu dihabiskan oleh keluarga Abu Ayyub.
Setelah mereka tiba di pintu, Ibu Ayyub keluar menyongsonu mereka.
 ‘Selamat datang, ya Nabiyalloh dan kawan-kawan!” kata Ibu Ayyub.
“Kemana Abu Ayyub?” tanya Rasulullah.
Ketika itu Abu Ayyub sedang bekerja di kebun kurma dekat rumah.
Mendengar suara Rasulullah, dia bergegas menemui beliau.

“Selamat datang, ya Nabiyallah dan kawan-kawan!” kata Abu Ayyub.
 Abu Ayyub langsung menyambung bicaranya, “Ya, Nabiyalloh! Tidak biasanya Anda datang pada waktu seperti sekarang.
Jawab Rasulullah “Betul. hai Abu Ayyub!

Abu Ayyub pergi ke kebun, lalu dipotongnya setandan kurma.
Dalam setandan itu terdapat kurma yang sudah kering, yang basah, dan yang setengah masak.
Kata Rasulullah, “Saya tidak menghendaki engkau memotong kurma setandan begini. Alangkah baiknya jika engkau petik saja yang sudah kering.”

 Jawab Abu Ayyub, “Ya, Rasulullah! Saya senang jika Anda suka mencicipi buah kering, yang basah, dan yang setengah masak. Sementara itu saya sembelih kambing untuk.Anda bertiga.”
Kata Rasulullah, “Jika engkau menyembelih, jangan disembelih kambing yang sedang menyusui.”
“Abu Ayyub menangkap seekor kambing, lalu disembelihnya. Dia berkata kepada Ibu Ayyub, “Buat adonan roti. Engkau lebih pintar membuat roti.”

Abu Ayyub membagi dua sembelihannya.
Separuh digulainya dan separuh lagi dipanggangnya Setelah masak, maka dihidangkannya ke hadapan Rasulullah dan sahabat beliau. Rasulullah mengambil sepotong gulai kambing, kemudian diletakkannya di atas sebuah roti yang belum dipotong.
Kata beliau, “Hai Abu Ayyub! Tolong antarkan ini kepada Fatimah. Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat makanan seperti ini.”

Selesai makan, Rasulullah berkata, “Roti, daging, kurma kering, kurma basah, dan kurma setengah masak.”— Air mata beliau mengalir ke pipinya.
Kemudian beliau bersabda ‘Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya!
SesungguhnYa beginilah ni’mat yang kalian minta nanti di hari kiamat.
Maka apabila kalian memperoleh yang seperti in bacalah “Basmalah”
lebih dahulu sebelum kalian makan. Bila sudah kenyang, baca tahmid:
“Segala puji bagi Allah yang telah mengenyang kan kami dan memberi kami ni’mat.”
Kemudian Rasulullah saw. bangkit hendak pulang.
Beliau berkata kepada Abu Ayyub, ‘Datanglah besok ke rumah kami!”
Sudah menjadi kebiasaan bagi Rasulullah, apabila Seseorang berbuat baik kepadanya, beliau segera membalas dengan yang lebih baik.


Tetapi Abu Ayyub tidak mendengar perkataan Rasulullah kepadanya.
Lalu dikata oleh ‘Umar, “Rasulullah menyuruh Anda datang besok ke rumahnya.”
Kata Abu Ayyub, “Ya, saya patuhi setiap perintah Rasulullah.”
Keesokan harinya Abu Ayyub datang ke rumah Ra sulullah.
Beliau memberi Abu Ayyub seorang gadis kecil untuk pembantu rumah tangga.
Kata Rasulullah, ‘Perlakukanlah anak ini dengan baik, hai Abu Ayyub!
Selama dia di tangan kami, saya lihat anak ini baik.”

Abu Ayyub pulang ke rumahnya membawa seorang gadis kecil.
“Untuk siapa ini, Pak Ayyub?” tanya Ibu Ayyub.

“Untuk kita. Anak kita diberikan Rasulullah kepada kita,”jawab Abu Ayyub.
“Hargailah pemberian Rasulullah. Perlakukan anak ini lebih daripada sekedar suatu pemberian’ “ kata Ibu Ayyub.

“Memang! Rasulullah berpesan supaya kita bersikap baik terhadap anak ini,” kata Abu Ayyub
. “Bagaimana selayaknya sikap kita terhadap anak ini, supaya pesan beliau terlaksana?” tanya Ibu Ayyub.
“Demi Allah! Saya tidak melihat sikap yang lebih baik, melainkan memerdekakannya,” jawab Abu Ayyub.
“Kakanda benar-benar mendapat hidayah Allah. Jika kakanda setuju begitu, baiklah kita merdekakan dia,” kata Ibu Ayyub menyetujui.

Lalu gadis kecil itu mereka merdekakan.
ltulah sebagian bentuk nyata celah-celah kehidupan Abu Ayyub setelah dia masuk Islam.
Kalau dipaparkan celah-celah kehidupannya dalam peperangan, kita akan tercengang dibuatnya.
Sepanjang hayatnya Abu Ayyub hidup dalam peperangan.


Sehingga dikatakan orang, “Abu Ayyub tidak pernah absen
dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum muslimin sejak masa Rasulullah
sampai dia wafat di masa pemerintahan Mu ‘awiyah. 
Kecuali bila dia sedang bertugas dengan suatu tugas penting yang lain.’’
Peperangan terakhir yang ikutinya, ialah ketika Mu awiyah mengerahkan tentara muslimin merebut kota Konstantinopel.


Abu Ayyub seorang prajurit yang patuh dan setia.
Ketika itu dia telah berusia lebih delapan puluh tahun.
Suatu usia yang boleh dikatakan usia akhir tua.
Tetapi usia tidak menghalanginya untuk bergabung dengan tentara muslimin
di bawah bendera Yazid bin Mu’awiyah. Dia tidak menolak mengharungi laut,
membelah ombak untuk berperang fi sabilillah.
Tetapi belum berapa lama dia berada di medan tempur menghadapi musuh,
Abu Ayyub jatuh sakit. Abu Ayyub terpaksa istirahat di perkemahan,
tidak dapat melanjutkan peperangan kerana fisiknya sudah lemah.
Ketika Yazid mengunjungi Abu Ayyub yang sakit, panglima ini bertanya,


“Adakah sesuatu yang Anda kehendaki, hai Abu Ayyub?”
Jawab Abu Ayyub, ‘Tolong sampaikan salam saya kepada seluruh tentara muslimin.


Katakan kepada mereka, Abu Ayyub berpesan supaya kalian semuanya terus maju sampai ke jantung daerah musuh. Bawalah saya beserta kalian. Kalau saya mati, kuburkan saya dekat pilar kota Konstantinopel!”

Tidak lama sesudah ia berkata demikian, Abu Ayyub menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Dia wafat menemui Tuhannya di tengah-tengah kancah pertempuran.
Tentara muslimin memperkenankan keinginan sahabat Rasulullah yang mulia ini.
Mereka berperang dengan gigih, menghalau musuh dari satu medan ke medan tempur yang lain.
Sehingga akhirnya mereka berhasil mencapai pilar-pilar kota Konstantinopel, sambil membawa jenazah Abu Ayyub.

Dekat sebuah pilar kota Konstantinopel niereka menggali kuburuan,
lalu mereka makamkan jenazah Abu Ayyub di sana, sesuai dengan pesan Abu Ayyub.

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Ayyub. Dia tidak ingin mati kecuali dalam barisan termpur yang sedang berperang fi sabillah. Sedangkan usianya telah mencapai delapan puluh tahun. Radhiyallahu ‘anhu. Amin!!!

RISALAH AL-HALLAJ / Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidhawi


                                                                          
Dalam dunia Tasawwuf terdapat banyak ajaran-ajaran beserta pencetus ajaran tersebut. Dalam ajaran-ajaran mereka banyak terjadi controversial ditengah-tengah masyarakat, khususnya dikalangan ulama fiqih.
Setiap manusia pasti memiliki watak, pribadi serta pola pikir yang berbeda, karena itu pasti setiap orang punya cara tersendiri untuk mendekatkan diri kepada sang Khaliq. Apalagi orang-orang tertentu yang memiliki keinginan sangat kuat serta menginginkan hubungan yang sangat khusus terhadap Allah SWT yaitu orang-orang yang mengikuti ajaran Tasawwuf. Karena itulah banyak ajaran-ajaran Tasawwuf yang berkembang yang menimbulkan controversial.



Ajaran-ajaran mereka banyak ditentang oleh kalangan pemerintahan, dengan alasan ajaran mereka menyesatkan ummat. Tetapi karena keteguhan mereka sangat kuat terhadap ajarannya, mereka tidak memperdulikan orang-orang yang menentangnya, bahkan walaupun mereka harus tebunuh atau dibunuh akibat ajaran-ajaran mereka yang dianggap menyesatkan.

Pada kesempatan kali ini kami ingin sedikit membahas salah satu ajaran Tasawwuf yaitu Hulul, ajaran ini berasal dari seorang ulama Tasawwuf yang diberi julukan Al-Hallaj. Semoga makalah kami yang ringkas ini dapat membantu kita semua dalam memahami ajaran Hulul, yang dibawa oleh Al-Hallaj, serta dapat mengambil hikmh dan pelajaran-pelajaran yang tersirat dalam kisah dan perjalanan beliau.
                                                                       



1. Riwayat Hidup Al-Hallaj



Nama lengkap al- Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidhawi (244-309 H / 857-922 M). al-hallaj yang berarti pemintal benang, lahir di Thur, sebelah timur laut Baidha’, Persia ( Iran ). Al-Hallaj adalah cucu dari seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Ayyub.
Sebelum berusia 12 tahun ia belajar menghafal Al-Quran dan menjadi seorang hafizh (Al-Quran). Ia berusaha mencari makna batiniah dari surat-surat Al-Quran dan menerjunkan diri ke dalam tasawwuf di madrasah Sahl at-Tustari menuju Basrah. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negeri Ahwaz.

Selanjutnya ia pergi ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi benama Amr Al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia juga pernah menunaikan ibadah haji di Makkah sebanyak tiga kali. Al-Hallaj menikah dengan Umm al-Husain, puteri Abu Ayyub al-Aqtha’.



  Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fiqih. Pandangan-pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan dikemukakan dibawah ini menyebabkan seorang ulama fiqih bernama Ibn daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan membrantas pahamnya. Al-Isfahani dikenal sebagai ulama fiqih penganut madzhab Dzohiri, suatu madzhab yang hanya mementingkan dzohir nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadap diri al-Hallaj, sehingga al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seoarang sifir penjara.

Dari Baghdad atas saran al-junaid ia pergi ke makkah. Disana ia menjalankan hajinya yang pertama dan menyelesaikan umrahnya selama satu tahun di halaman Masjid al-haram sambil berpuasa san berdzikir. Dalam suasana seperti ini, al-Hallaj berusaha dengan caranya sendiri menyatu dengan Allah dan mulai menyerukan penyatuan itu.

Setelah kembali ke Khuzistan, al-Hallaj mulai menanggalkan baju gamis panjang kesufiannya dan kemudian memakai jubah agar dapat berbicara dan berdakwah secara lebih leluasa. Inilah permulaan kewaliannya, dimana tujuan utamanya adalah membuat setiap orang dapat menemukan Allah di dalam hatinya sendiri. Karenanya, al-Hallaj diberi julukan Hallaj al-Asrar (pemintal hati nurani)yang membuatnya dicurigai dan di benci serta dijadikan bahan polemic di antara para sufi.

  Beberapa kaum Sunni dan sebagian orang Kristen yang menjadi pejabat Negara di Baghdad menjadi pengikutnya. Teapi kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah yang menjadi pejabat Negara menuduhnya sebagai penipu dan menentangnya. Lalu Al-Hallaj pergi ke khurasan untuk melanjutkan dakwahnya di antara koloni-koloni arab di sebelah Timur Iran dan menetap disana selama lima tahun. Kemudian Al-Hallaj kembali ke daerah Tustar, dan melalui bantuan Sekretaris Negara, Hamid Kunna’I, ia berhasil membawa keluarganya menetap di Baghdad .

  Kemudian Al-Hallaj melakukan Ibadah Hajinya yang kedua bersama 400 orang pengikutnya,tetapi beberapa kawan lamanya dari kalangan sufi menuduhnya menggunakan magic dan ilmu sihir serta membuat perjanjian dengan jin. Setelah haji keduanya ini, ia melakukan perjalanan panjang ke India dan Turkistan . Di India ia berhasil menyebarkan Islam dan mengembangkan pengaruhnya di sana .


Buktinya, sebagian kasta yang ditarik ke dalam Islam sampai sekarang masih disebut sebagai Mansuri (yang ditolong), dan sebuah makam yang diyakini sebagai makamnya di Baghdad masih didatangi oleh orang-orang Gujarat, India .

Sekitar tahun 290 H/902 M, al-Hallaj kembali ke Makkah untuk menjalankan ibadah haji yang ketiga kalinya sekaligus yang terakhir. Ia kembali ke sana dengan mengenakan muraqqa’ah ( sehelai kain tambalan yang menutupi bahunya) dan futha (sejenis kain celana India ) yang melingkar di pinggangnya.


Ketika wukuf di Arafah, al-Hallaj berdoa agar Allah menguranginya menjadi tiada, menjadikan dirinya direndahkan dan ditolak, sehingga hanya Allah yang ada dalam jiwa dan bibirnya. Setelah kembali kepada keluarganya di Baghdad al-Hallaj membangun sebuah model Ka’bah di dalam rumahnya dan berdo’a di tengah malam di samping makam, dan pada siang hari ia mengumandangkan jalan atau mabuk cintanya kepada Allah dan keinginannya untuk meninggal secara terhina demi kaumnya.

  “Wahai kaum muslim, selamatkan aku dari Allah, “Allah telah membuat darahku menjadi halal untuk engkau, maka bunuhlah aku,” seru Al-Hallaj. Seruan ini memunculkan emosi dan memicu kecemasan di kalangan kaum terdidik. Seorang dzohirin, Muhammad ibn dawud, marah ketika al-hallaj mengumumkan penyatuan mistiknya dengan Allah, ia meminta agar al-Hallaj diseret ke pengadilan dengan melakukan provokasi agar al-Hallaj dihukum mati. Tetapi ahli fiqih Syafi’I, Ibn Suraij, menyatakan bahwa inspirasi mistik itu diluar ketentuan fiqih.

Pada tahun 296 H/908 M beberapa aktivis reformasi sunni (di bawah pengaruh seorang penganut aliran Hanbali, Barbahari) melakukan perebutan kekuasaan dan mengangkat Ibn al-Mu’taz sebagai Khalifah. Tetapi usaha mereka gagal, dan Khalifah al-Muqtadir memulihkan kembali pejabat finansialnya yang Syi’ah, Ibn Furat. Akibatnya al-hallaj menerima perlakuan represif dari orang-orang yang bersikap anti Hanbali, tetapi ia berhasil menyelamatkan diri menuju Sus di Ahwaz, walaupun empat pengikutnya ditahan.
Tiga tahun kemudian al-Hallaj sendiri ditahan dan dibawa ke Baghdad sebagai korban kebencian hamid, seorang pengikut Sunni, Al-Hallaj lalu dimasukkan ke dalam penjara selama sembilan tahun.


Pada tahun 301 H/913 M, Menteri Ibn ‘Isa, saudara sepupu dari salah seorang pengikut al-Hallaj mengakhiriperadilan terhadap al-Hallaj dan pengikut-pegikutnya yang meringkuk dalam penjara dengan tuntunan dibebaskan.

Sayangnya, karena provokasi represif dari musuh-musuh al-Hallaj dengan dukungan kepala polisi yang juga lawan menteri Ibn ‘Isa, al-Hallaj dihukum tiga hari, dan di atas kepalanya dipasang plakat bertuliskan “Agen Qarmathiyah”.

Al-Hallaj kemudian dibawa ke suatu tempat di mana ia sempat memberi ceramah kepada kalangan narapidana lainnya. Pada tahun 303 H/915 M, al-Hallaj merawat khalifah yang sakit demam, dan pada tahun 305 H ia “menghidupkan kembali” pangeran putera mahkota itu. Kaum Mu’tazilah lantas mengumumkan ajaran pedukunan al-Hallaj.


Pada tahun 304-306 H, menteri Ibn ‘Isa yang mengagumi al-Hallaj digantikan oleh Ibn Furat yang anti al-Hallaj. Namun pengaruh sang Ratu mencegah menteri baru itu untuk membuka kembali peradilan terhadap al-Hallaj. Pada periode ini muncul dua karya utama al-Hallaj, yaitu Thasin al-Azal, sebuah perenungan tentang Iblis, sang monoteis yang tidak patuh, dan karya pendeknya yang berjudul Mi’raj Nabi Muhammad, yang berhenti di Sirat al-Muntaha.

Peradilan terhadap al-Hallaj dibuka kembali pada tahun 308-309/921-922 M. Latar belakang peradilan ini adalah adanya spekulasi keuangan Hamid yang ditentang oleh Ibn Isa. Untuk menghancurkan pengaruh Ibn ‘Isa, Hamid membuka kembali peradilan terhadap al-Hallaj.


Kali ini ia dibantu oleh Ibnu Mujahid, pemimpin terkemuka dari kumpulan qurra sekaligus sahabat sufi Ibn Salim dan Asy-Syibli, tetapi menentang Al-Hallaj.
Dan akhirnya pada tanggal 18 zulqa’dah tahun 309 H(921 M). al-Hallaj dijatuhi hukuman mati. Ia dihukum bunuh, dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya, dan ditinggalkan tergantung bagian-bagian tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi ulama lainnya yang bebeda pendirian. Arberry lebih lanjut melukiskan kasus pembunuhan al-Hallaj sebagai berikut.

“Tatkala dibawa untuk disalib, dan melihat tiang salib serta paku-pakunya, ia menoleh ke arah orang-orang seraya berdo’a, yang diakhiri kata-kata:


“Dan hamba-hamba-Mu yang bersama-sama membunuhku ini, demi agama-Mu dan memenangkan karunia-Mu, maka ampunilah mereka, ya Tuhan, dan rahmatilah mereka. Karena sesungguhnya, sekiranya telah Kau anugerahkan kepada mereka yang Kau telah anugerahkan kepadaku, tentu mereka takkan melakukan apa yang telah mereka lakukan. Dan bila Kau sembunyikan dari diriku yang telah Kau sembunyikan dari mereka, tentu aku takkan menderita begini. Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau-Lakukan,dan Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau kehendaki.

2. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Hulul.

Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan.

Paham bahwa Allah mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapau da sifat dasar, yaitu lahut(ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya al-thawasin.

Selain itu al-hallaj terkenal dengan ucapannya yang controversial, yaitu ana al-haqq, yang berarti “Akulah Tuhan”. Menurut Gilani Kamran, frase mistik ana al-haqq mempunyai sejarah yang panjang, baik sebagai pernyataan maupun pengalaman. Sebagai pernyatan, ana al-haqq telah dibahas dari berbagai segi, dan nuansa panteistiknya telah diperdebatkan.

Sebagai pengalaman, kebenaran kata-kata itu sering ditentang. Dalam kerangka yang diberikan oleh pemikiran spekulatif Islam (teologi), ungkapan ana al-haqq menduduki tempat yang penting dalam hubungan Tuhan dengan manusia. Namun karena alas an ini, frase tersebut menimbulkan kesulitan pada sikap teologi Islam, karena ungkapan ini menunjukan saling tumpamh tindih sifat Ilahi dan Insani dalam diri manusia.
Kemudian Syaikh Ahmad Sirhindi (1563-1624) membahas ana al-haqq dalam tradisi teologi dan menegaskan bahwa ana al-haqq merupakan pernyataan situasional, dan ungkapan ini mempresentasikan kualitas pengalaman yang otentik.


Beliau menyatakan bahwa ana al-haqq sebagai kebenaran tidaklah mengacu kepada kondisi penyatuan, tetapi pada dasarnya al-haqq sepenuhnya menyelimuti kesadaran jiwa yang menyesali diri (contemplative ego). Pada kondisi ini ana hanya mengetahui al-haqq yang menyelimutinya, dan secara bersamaan kehilangan identitasnya. Hilangnya identitas personal inilah yang membuat pernyataan al-Hallaj menjadi penting.

  Syaikh Ahmad sirhindi menegaskan bahwa ana al-haqq tidak mengacu pada penyatuan dengan esensi Tuhan atau sifat-Nya. Dengan demikian, al-haqq sebagai “Akulah Kebenaran” secara kategoris dikesampingkan oleh Syiakh Ahmad Sirhindi yang menafsirkan frase itu sebatas penegasan melalui sangkalan. Menurut beliau, ana al-haqq tidak hendak menegaskan makna “Akulah Kebenaran”, tetapi hanya pernyataan bahwa “Aku tiada, hanya Dia yang ada satu-satunya.” Tanpa penyangkalan diri, maka pengukuhan atas kebenaran Tuhan masih belum terselesaikan. Al-Hallaj sebenarnya menandaskan keyakinan-nya melalui penyangkalan diri.

Di sisi lain ana al-haqq dianggap terlalu melebih-lebihkan pengalaman subjektif, dan “Aku” personal menunjukkan kecendrungan kea rah megalomania dan egotism. “Aku” personal inilah yang menutpi al-haqq dan mengundang perhatian penuh pada dirinya sendiri. Jadi ana al-haqq sebagai sebuah pernyataan tentang pengalaman mempertahankan Dia-Engkau sebagai titik acuan dalam dirinya sendiri.


Sejarah puisi mistik telah sepenuhnya mendukung titik bacaan ini dan pengalihan arti dalam puisi mistik telah dicapai melalui acuan ini.

  Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendiriannya itulah terjadi dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang didalamnya tidak terdapat kata maupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian Dzat-Nya sendiri. Allah melihat kepada dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi seban wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk "AIN dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk 'AIN ini adalah Nabi Adam.


Setelah menjadikan Nabi Adam dengan cara it, Ia memuliakan dan mengagungkan Nabi Adam. Ia cinta pada belia, dan pada diri Nabi Adam setelah terdapat sifa-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya.


Hal ini dipahami dari QS. Al-Baqarah : 34. menurut al-hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar mau bersujud kepada Nabi Adam, karena pada diri Nabi Adam Allah menjelma sebagaimana agama Nasrani. Ia menjelma dalam diri Nabi Isa AS.
Paham bahwa Allah menjadikan Nabi Adam menurut bentuk-Nya, dapat pula dipahami dari isyarat yang terdapat dalam hadits yang artinya berbunyi sebagai berikut :
“Tuhan menciptakan Nabi Adam sesuai dengan bentuk-Nya”.
Dengan melihat ayat dan hadits diatas,.


Al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut), dan dalam diri Tyhan juga terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah “Hulul”. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-Fana sebagaiman telah disebutkan di atas.

Berdasarkan raian tersebt, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-Ittihad sebagaimana telah disebut diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin.


Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insani (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinanseorang insane telah sci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.

3. Kehidupan Hallaj Menurut Anak Laki-lakinya Hamd (Ibnu Bakuya)

  Kisah ini disampaikan secara lisan oleh Hamd ibn Husayn Ibn Mansur at Tustar. Dia menceritakan kisah sebagai berikut: Ayahku, Husayn ibn Mansur, dilahirkan di Bayda, di sebuah tempat bernama al-Tur. Di dibesarkan di Tustar, dan selama jangka waktu dua than dia menjadi murid Sahl ibn Abdullah Tustari, setelah itu dia pergi ke Baghdad.

Dia mengembara kadang-kadang hanya berpakaian bulu, sekali waktu dengan dua mantel yang diwarnai, kadang-kadang memakai jubah wool dengan surban, atau memakai jubah besar dengan lengan, layaknya seorang tentara.

Dia meninggalkan Tustar pertma kali pergi ke Bashrah dan pada waktu itu ia berusia 18 tahun. Kemudian pergi (ke basrah? Ke Baghdad?), memakai dua jubah, untuk menemui ‘Amr ibn ‘Utsman Makki dan Junayd ibn Muhammad; dan dia tinggal dekat dengan ‘Amr selama 18 bulan.


Setelah itu dia menikah di Bashrah dengan ibuku Umm al-Husayn, anak perempuan Abu Ya’qub Aqta’, tetapi Amr ibn ‘Utsman sedih tentang pernikahan ini dan pertengkaran besar terjadi antara Abu Ya’kub dan ‘Amr terhadap persoalan ini. Ayahku pergi sendiri kepada syech Junaydi Muhammad dan menceritakan kepadanya betapa sedihnya dia terhadap ketegangan yang terjadi antara  Ya’kub dan ‘Amr di Baghdad. Junayd menasihatinya agar tetap tenang dan tetap menghormati mereka, yang dia lakukan dengan sabar selama beberapa waktu lamanya.

Kemudian dia pergi ke Mekkah dan tinggal di sana selama satu tahun, dalam kunjungan yang sangat syahdu. Setelah itu dia kembali ke Baghdad sengan sekelompok sufi fuqara’. Dia menuju tempat syeh Junayd ibn Muhammad untuk mengajukan beberapa pertanyaan, yang kemudian, akan tetapi, tidak terjawab, karena dituduh hal ini termotivasi oleh hasrat misi pribadi (mudda’i). Ayahku, sakit hati karena hal ini, bersama-sama dengan ibu, ke Tustar, tempat dia tinggal selama hamper dua tahun.

Dan di sana dia menerima sambutan begitu hangat hingga banyak para sufi pada waktu itu marah dan benci kepadanya, khususnya ‘Amr ibn ‘Utsman. Yang bersikeras mengirimkan surat tentangnya kepada orang-orang penting di Khuzistan sambil menghasutnya dengan kesalahan-kesalahan fatal (‘adzoim). 

Pada tahap-tahap tertentu dan dengan sangat efektif ayahku mengesampingkan gaya sufi, menolaknya dan memakai pakaian berlengan, dan sering mengunjungi kelompok-kelompok duniawi (abna al-dunya)

Dia meninggalkan (Tustar) setelah itu dan kami tidak melihatnya lagi selama lima tahun. Selama waktu itu ia menjelajahi Khurassan dan mawaralnahr; dari sana, dia pergi ke Sijistan dan Kirman, dan setelah itu kembali ke Fars. Dia mulai berceramah di depan umum, mengadakan pertemuan-pertemuan (majlis,pl.majalis), menyeru kepada tuhan. Di Farisy, orang-orang mengenalnya sebagai Abu ‘Abdallah sang zahid (asketik) dan menulis beberapa karya untuk mereka. Kemudian dia pergi dari Fars kembali ke Ahwaz, dan memanggil ibu yang membawaku menemuinya.

Dia bercermah di depan umum dan setiap orang, baik itu sedikit maupun banyak, menyetujuinya. Dia berkata kepada para pendengarnya tentang suara hati, tentang apa yang ada di dalam hati mereka, yang dia sibakkan tirai hati mereka. Mereka menyebutnya sebagai “penyingkap suara hati” (hallaj al-asrar); dan nama hallaj, setelah itu, melekat padanya.

Kemudian dia menuju Basrah; dia tinggal di sana hanya sebentar, meninggalkan aku di Ahwaz bersama murid-muridnya. Dia pergi ke Makkah untuk yang kedua kalinya, berpakaian compang-camping dank mal (muraqqa’a) dan sebuah jubah India (futa). Banyak orang menemaninya dalam perjalanan ini, sementara Abu Ya’kub Nahrajuri, karena benci, menyebarkan fitnah terhadap dia kepada orang-orang yang sudah akrab dengan ayah.

Kemudian dia kembali ke Basrah, dia tinggal selama satu bulan dan kembali lagi ke Ahwaz. Kali ini dia membawa ibu bersamanya, juga ayah mertuaku (hama) nantinya dan sejumlah orang-orang penting dari Ahwaz, dan bersama mereka hidup bersama di Baghdad, selama satu tahun. Kemudian dia berkata kepada salah satu muridnya: “Peliharalah anakku Hamid sampai aku kembali; karena aku harus pergi ke tanah yang memuja berhala (balad al-shirk; varian:balad al-turk) untuk menyadarkan penduduknya agar kembali kepada Tuhan, semoga Dia dipuji dan disucikan.

Dia pergi dan aku tahu apa yang dia lakukan: dia pergi ke India, kemudian ke Khurasan untuk kali yang kedua; dia memasuki daerah Mawar al-nahr dan Turkestan dan pergi sejauh Ma Sin, menyeru penduduknya kepada Tuhan dan menulis karya-karya bagi mereka yang tidak sampai kepada ayahku.

Aku hanya mengetahui hal itu sebaliknya, surat-surat yang dikirimkan kepadanya dari India menyebutnya sebagai “al-Mughit”(“sang penasihat”), dari Turkestan dan Ma Sin sebagai “al-Muqit”(“sang pemelihara”), dari Khurasan sebagai “al-Mumayyiz”(“sang bijak”), dari Fars sebagai “Abu ‘Abdallah al-zahid”(“Abu ‘Abdallah yang asketis”), dan dari Khuzistan sebagai “Hallaj al-asrar”(“penyingkap suara hati”).


Juga ada sekelompok orang di Baghdad yang menyebutnya sebagai “al-Mustali”(“sang rupawan”), dan sekelompok orang di Bashrah menyebutnya “al-Muhayyar”(“sang ganas”). Dan gossip tentang dia bertambah setelah dia kembali dari perjalanannya.

Dia pergi setelah itu dan melakukan ibadah haji yang ketiga kalinya, termasuk masa dua tahun penyendirian spiritual (di Makkah). Pada saat dia kembali keadaannya sangat jauh berubah dari sebelumnya. Dia membeli perabotan di Baghdad dan membangun sebuah rumah (untuk menerima orang-orang). Dia mulai berceramah di hadapan public tentang berbagai ajaran yang hanya setengahnya aja aku dapat mengerti.

Akhirnya, Muhammad ibn dawud bangkit menentangnya, bersama sekelompok ‘ulama’(cendekiawan); dan dia melaporkan berbagai tuduhan kepada (khalifah) al-Mu’tadid.  
Setelah itu sejumlah perdebatan terjadi antara dia dan ‘Ali ibn ‘Isa karena persoalan Nasr Qusyuri; kemudian antara dia dan Syibli dan Syakh sufi lainnya.

Banyak orang berkata:dia seorang dukun. Yang lainnya:dia seorang yang gila. Namun banyak juga yang lainnya:dia seorang yang ajaib dan ibadahnya mendapat berkah dari Tuhan.
Dan pembicaran tentangnya semakin hari semakin ramai sampai kemudian pemerintah menangkap dan memenjarakannya.

Pada waktu itu Nasr Qusyuri pergi ke tempat khalifah, yang memberi kewenangan kepadanya untuk membangun sel yang terpisah untuk ayahku. Kemudian sebuah rumah kecil dibangun untuknya berhubungan dengan penjara; pintu luar dittupi dinding, dan bangunan itu sendiri dikelilingi oleh dinding, dan sebuah pintu dibuat pada sisi dalam menuju penjara.


Sekitar satu tahun dia menerima tanu dibangunan itu. Kemudian dilarang, dan dia menjalani hal ini selama lima bulan tanpa ada yang dapat mengunjunginya-kecuali pada suatu saat ketika dia melihat Abu’l-‘Abbas ibn ‘Ata Adami,’Abdallah ibn Khafif (di sana). Pada waktu itu aku menghabiskan malam-malamku bersama ibu di dalam rumah keluarga kami yang berada di luar, dan pada siang hari aku tinggal bersama ayahku. Kemudian mereka memenjarakanku dengan ayah selama dua bulan. Pada waktu itu aku berusia delapan belas tahun.

Dan malam datang ketika ayah hars diambil, di saat fajar, di dalam sel, dia shalat dua raka’at. Kemudian, setelah shalat ini selesai, dia terus-menerus menyebut kata ”ilusi….ilusi”, sampai malam berakhir. Kemudian selang beberapa lamanya dia diam, ketika dia tiba-tiba berteriak “Kebenaran-..kebenaran”. dia berdiri lagi, dan menyelubungi kepala dan tubuhnya dengan jubah, merentangkan tangannya, menuju kearah Qiblat (arah Makkah), dan tenggelam dalam ibadah ekstatik (munajat).

Pelayannya, Ahmad ibn Fatik hadir di situ,
dan terhanyut oleh doa ekstatik itu, seperti berikut ini:

Kami di sini, kami saksi-Mu. Kami mencari pelindungan
dalam kemegahan kemenangan-Mu yang abadi,
agar Engkau menunjukkan hasrat-Mu.
‘O Engkau Tuhan langit dan bumi,
Engkau yang menyinari tatkala Engkau berhasrat,
sama seperti engkau menyinari (di surga abadi, di hadapan Malaikat dan setan)
kekuatan ketuhanan-Mu dalam bentuk yang terindah”
(=bentuk manusia, dalam Adam):
bentuk tempat ruh bersemayam,
hadir di dalamnya melalui pengetahuan dan kata-kata,
berkehendak bebas dan bukti nyata (dari kehidupan).
Kemudian Engkau dianugerahi di hadapan saksi ini (=aku sendiri, Hallaj)
”Aku”-Mu, esensi substansial-Mu.

‘Bagaimana keadaanmu…. Engkau,
yang hadir di dalam hatiku setelah mereka menelanjangiku,
yang terbiasa menggunakan Diriku untuk mengaku-aku Diriku,
menyibakkan kebenaran pengetahuanku dan keajaiban-keajaibanku,
terbang bersama Kenaikan-Ku ke Mahkota Kekekalan-Ku
untuk mengucapkan kata yang telah menciptakan-Ku.
‘(Sekarang Engkau berharap) agar aku ditangkap, dipenjara,
dihukum, dibunuh, digantung di tiang salib,
abuku ditaburkan di sela-sela tiupan badai pasir
yang akan mencerai beraikannya, bersama amuk badai
yang akan menari-nari bersama abuku,
‘Apabila hanya karena partikel paling kecil (dari abuku),
sebutir biji pohon gaharu (akan terbakar di dalamnya
dengan rahmat Tuhan), niscaya telah dijanjikan kan tubuhku
yang telah berubah (dan penuh berkah) akan menjadi fondasi
yang lebih kokoh daripada pegunungan yang tak dapat dipindahkan.
Kemudian dia menyanyikan sya’ir berikut:
‘Aku sebut nama-Mu demi jiwa yang sekarang
(hadir=aku sendiri) menyaksikan “tempat” yang tiada terbatas
demi bertemu dengan Saksi Abadi.
‘Aku sebut nama nama-Mu demi hati kotor
yang telah lama disegarkan oleh awan firman,
yang dipenuhi dengan lautan kebijaksanaan.
‘Aku sebut nama-Mu demi Firman Tuhan,
sejak firman itu layu di dalam ingatanku.
‘Aku sebut nama-Mu demi Engkau yang terinspirasi
sebelum layu-yang telah disampaikan oleh orang-orang bijak dan otoriter fasih.
‘Aku sebut nama-Mu demi tanda yang telah dikumpulkan
oleh intelek-tiada sesuatu pun yang tinggal di dalam buku-buku kecuali sampah.

‘Aku sebut nama-Mu, aku bersumpah demi cinta-Mu-
demi kebajikan mereka yang kudanya terdiam dalam perjalanan;
 ‘Semua telah menjelajahi padang pasir,
tiada meninggalkan sumurpun jejak sesudahnya binasa
seperti kaum ‘Ad dan kehilangan kota Iran:
 ‘Dan di belakang mereka berkumpullah
orang-orang mengerumuni jejak mereka-lebih buta daripada hewan,
bahkan lebih buta daripada unta betina’.
Kemudian dia terdiam……
Setelah itu, pelayannya, Ahmad ibn Fatik, berkata kepadanya:
’Tuan, wasiatkan kepadaku sebuah petuah. (kemudian ayahku berkata:)
’Egomu! Jika engkau tidak mampu menundukkannya,
dia akan menguasaimu.Tatkala pagi datang,
mereka mengeluarkannya dari penjara,

dan aku melihatnya berjalan gagah dengan ikatan rantainya,
sambik berkata: ‘Sahabatku, apabila engkau tidak ingin berbuat jahat kepadaku,
biarlah aku minum dari cangkirnya sendiri,
seperti tuan rumah menjamu tamunya;
tapi segera setelah cangkir itu beralih dari satu tangan ke tangan lainnya,
Dia membuatku permadani (dari kulit)
untuk alas hukumanku dan membawakanku pedang;
mengayunlah pedang itu kepadanya yang meminum anggur dengan singa (Tinnin)
di bawah teriaknya musim panas’.
Mereka kemudian membawa dia (ke boulevard)
tempat kepala dan kakinya dipotong, setelah dihujani dengan 500 ayunan cambuk.
Kemudian dia diseret menuju tiang salib (suliba).
Dan aku mendengar dia di atas berkata dengan
Tuhan penuh hasrat: ‘O Tuhanku, aku di sini (pagi ini)
di tempat yang telah lama aku hasratkan,
tempat aku merenungi keajaiban-Mu.

O Tuhanku, karena engkau adalah saksi
bahkan bagi mereka yang berbuat jahat kepada-Mu,
mengapa Engkau tiada menjadi saksi bagi yang satu ini (-aku sendiri, Hallaj)
yang terkena kejahatan karena Engkau’.

Kemudian, aku melihat Abu Bakar Syibli,
yang mendekati tiang salib, menangis dengan keras,
dan menytir kata berikut:‘
Belumlah kami melarangmu untuk menerima tamu,
baik manusia ataupun malikat?’
Kemudian dia bertanya kepadanya:
‘Apakah Sufisme itu?’ Dia menjawab:
‘Derajat paling rendah yang dibutuhkan
seseorang untuk mendapatkannya adalah
orang yang sekarang kamu lihat’.

Syibli bertanya lebih lanjut: ‘Apakah derajat paling tinggi?’
Hallaj menjawab: ‘Itu di luar jangkauanmu;
tapi besok engkau akan melihat;
karena hal itu merupakan bagian dari misteri Tuhan
yang telah aku lihat dan tetap tiada terlihat olehmu’.
Pada waktu shalat (‘isya), utusan khalifah yang
hendak menghukum mati Hallaj datang.

Tapi dinyatakan: ‘Ini sudah terlambat; kita akan menundanya sampai besok pagi’.
Tatkala pagi datang, mereka membawanya
turun dari tiang salib dan menyeretnya untuk dibunuh.
Aku mendengar dia kemudian berteriak keras,
mengatakan dengan nada yang sangat tinggi: ‘

Yang tertinggi bagi seorang sufi adalah kesenDIRIanNya 
yang membawa kepada Dia Yang Tertunggal!’
Kemudian dia berkata” ‘Mereka yang tiada mempercayai
Hari Akhir akan ketakutan karena kedatangannya;
tapi mereka yang percaya akan hal ini menunggu dengan penuh cinta,
karena mengetahui bahwa Tuhan akan hadir’.
Ini adalah kata-katanya yang terakhir.
Kepalanya dipenggal, kemudian badannya dibungkus
dengan kulit permadani, disiram dengan minyak, dan dibakar.
Kemudian, mereka membawa abunya ke Ra’s al-Manara,
untuk diterbangkan bersama angin.

“Aku mengambil catatan ini dari Hamd ibn Husayn ibn Mansu.
Dia bercerita kepadaku:
Ahmad ibn Fatik Baghdadi, salah satu murid ayahku,
melaporkan kepadaku setelah tiga hari kematian ayahku”
‘Aku telah melihat Tuhan dalam mimpi,
sepertinya aku berdiri di hadapan-Nya.
Aku bertanya kepada-Nya:

“Tuhan, apa yang telah dilakuakn Husayn ibn Mansur kepada-Mu?
Dia menjawabku: “Aku bukakan pintu rahasia
dari salah satu nama ketuhanan (ma’na),
tapi dia menggunakannya untuk dirinya sendiri,
menyebarkan untuk kebanggan dirinya sendiri;
jadi aku jatuhkan hukuman kepadanya
seperti yang telah engkau lihat.

Aku adalah Dia yang aku cintai
Dan Dia yang aku cintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang dalam satu tubuh,
Jika engkau melihatku, engkau melihat-Nya,
Dan ketika engkau melihat-Nya,
Engkau melihat kami berdua.
Dan berdua hakikatNya satu 
Walm yakun ma'ahu Syai'un.

KOMENTAR FB