Apa Kabar Dunia

Mari Belajar bersama

Minggu, 27 Mei 2012

RISALAH Saiyidina USTMAN IBNU AFFAN ra

… Maka niscaya Allah akan cukupkan bagi kalian…(QS.Al-Baqoroh;13

Dilahirkan di Mekkah, 5 tahun setelah kelahiran Rasulullah atau 5 tahun setelah terjadi peristiwa gajah (peristiwa penyerbuan gajah terhadap Ka’bah yang dipimpin oleh Raja Abraha). Peristiwa ini diabadikan dalam salah satu surah al-Qur’an yang dikenal dengan surah al-Feil (gajah).

Nama lengapnya “Ustman bin Affan bin Abu al-‘Ashi bin Ummayah bin Abdussyam bin Abdul Manaf. Nama panggilannya Abu Abdullah dan gelarnya Dzunnurrain (yang punya dua cahaya). Sebab digelari Dzunnuraian karena Rasulullah menikahikan dua putrinya untukny; Roqqoyah dan Ummu Kultsum. Ketika Ummu Kultsum wafat, Rasulullah berkata; “ Sekiranya kami punya anak perempuan yang ketiga, niscaya aku nikahkan denganmu.” Dari pernikahannya dengan Roqoyyah lahirlah anak laki-laki. Tapi tidak sampai besar anaknya meninggal ketika berumur 6 tahun pada tahun 4 Hijriah. Beliau wafat pada tahun 35 Hijriah berumur 82 tahun. Menjabat sebagai khalifah ketiga selama 12 tahun.

Menikahi 8 wanita, empat diantaranya meninggal yaitu Fakhosyah, Ummul Banin, Ramlah dan Nailah. Dari perkawinannya lahirlah 9 anak laki-laki; Abdullah al-Akbar, Abdullah al-Ashgar, Amru, Umar, Kholid, al-Walid, Sa’id dan Abdul Muluk. Dan 8 anak perempuan.

Selama menjabat sebagai kholifah banyak wilayah yang ditaklukan yaitu Afrika, Ciprus, Thabarstan, Khurosan, Armania, Qauqaz, Karman dan Sajastan. Masa kekhalifannya merupakan masa yang paling makmur dan sejahtera. Konon ceritanya sampai rakyatnya haji berkali-kali. Bahkan seorang budak dijual sesuai berdasarkan berat timbangannya.

Beliau adalah kholifah kali pertama yang melakukan perluasan masjid al-Haram (Mekkah) dan masjid Nabawi (Madinah) karena semakin ramai umat Islam yang menjalankan rukun Islam kelima (haji). Bagitu juga membangun armada pasukan laut (merine) untuk umat Islam, mencetuskan ide polisi keamanan bagi rakyatnya, membuat bangunan khusus untuk mahkamah dan mengadili perkara. Hal ini belum pernah dilakukan oleh kholifah sebelumnya. Abu Bakar dan Umar bin Khotob biasanya mengadili suatu perkara di masjid.

Pada masanya, khutbah Idul fitri dan adha didahulukan sebelum sholat. Begitu juga adhan pertama pada sholat Jum’at. Beliau memerintahkan umat Islam pada waktu itu untuk menghidupkan kembali tanah-tanah yang kosong untuk kepentingan pertanian.

Beliau adalah sosok laki-laki yang tampan dan gagah. Kulitnya berwarna agak hitam, botak,berjenggot tegal dan pergelanggan tanggannya besar. Pribadinya sangat pemalu hingga suatu ketika baju Rasulullah tersingkap hingga kelihatan pahanya. Kemudian Abu Bakar dan Umar masuk rumahnya. Pada waktu Utsman hendak minta izin masuk, Rasulullah menutup pahanya yang terbuka. Utsman berkata; “Ingat, aku betul-betul malu dengan seorang yang malaikat sendiri merasa malu dengannya.”

Perjuangannya dalam membela Islam tidak hanya dengan hartanya saja. Tapi juga raga dan nyawanya. Beliau sangat senang mengeluarkan hartanya demi kepentingan Islam. Hingga pernah mengirimkan setengah pasukan ke medan perang dengan hartanya. Pernah mendermakan 300 unta dan 50 kuda tunggangan. Begitu juga mendermakan 1000 dinar yang diserahkan langsung kepada Rasulullah. Rasulullah pun berkata; “Apa yang diperbuat pada hari ini, Utsman tidak akan merugi (di akherat)”(HR.Tirmidhi). pada waktu orang-orang membutuhkan air untuk keperluan dirinya dan hewan ternaknya, Utsman membeli sumber mata air dari Raimah, seorang yahudi, untuk diwakafkan kepada umum. Mengenai kedermawannya, Abu Hurairah berkata; “Utsman bin Affan sudah membeli surga dari Rasulullah dua kali; pertama ketika mendermakan hartanya untuk mengirimkan pasukan ke medan perang. Kedua ketika membeli sumber air (dari Raimah)”(HR.Tirmidhi).

Beliau termasuk 10 orang yang dikabarkan akan masuk surga. Dalam menjalani hidupnya, beliau sangat takut dengan azab dan siksa Allah. Hingga suatu ketika berkata; “Sekiranya diriku berada di antara surga dan neraka dan saya tidak tahu mana diantara dua itu saya aka masuk, niscaya saya akan pilih menjadi abu sebelum aku tahu ke mana saya dimasukkan.” Rasulullah pernah mengkabarkan bahwa dirinya termasuk ahli surga karena sabar dan tawakal menghadapi cobaan dan derita dari Allah. Begitu fitnah yang menimpa dirinya hingga akhirnya terbunuh secara kejam dan dholim.

Pada waktu perang Uhud, beliau berdiri bersama Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Tiba-tiba gunung itu bergetar, kemudian Rasulullah berkata; “Mohon jangan lari, tetap berada di Uhud. Jangan takut, kamu bersama nabi, Abu Bakar dan dua orang saksi”(HR.Bukhori).

Pada masa kekhalifahanya, Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam, mengumpulkan massa untuk melakukan protes terhadap Utsman. Mereka menuntut Utsman agar tidak menunjuk orang-orang yang duduk di pemerintahannya dari keluarga Utsman. Utsman bukanlah kholifah yang rakus akan harta benda dan kekuasaan. Ijtihad Utsman dalam menentukan orang-orang yang menjabat di pemerintahnya didasarkan pada kompetensi dan kecakapan. Mereka yang dipilih adalah orang-orang yang ahli di bidangnya. Lebih dari itu mereka adalah orang-orang yang takwa. Dalam peristiwa ini, Utsman dibunuh ketika sedang membaca al-Qur’an di rumahnya pada waktu pagi hari raya Idul Adha. Beliau mati syahid pada tahun 35 Hijriah berumur 82.

Dari Abdullah bin ar-Rumy berkata, “Utsman bin Affan biasanya kalau berdiri di depan kubur menanggis hingga air matanya membasai jenggotnya. Seseorang bertanya, “Kamu ingat surga dan neraka tapi kamu tidak menanggis. Kamu ingat kubur tapi kamu menanggis?” Beliau menjawab, “Saya mendengar Rasulullah bersabda “Kubur adalah rumah pertama dari rumah-rumah menuju akherat. Sekiranya orang selamat dari siksa kubur, maka setelahnya akan menjadi mudah. Jika tidak selamat maka setelahnya akan terasa berat dan susah.” Dari al-Hasan berkata, “Saya lihat Utsman tidur di masjid dengan berselimut. Tidak ada seorang pun di sekitarnya. Padahal beliau adalah seorang amirul-mukminin”(al-Hilyah;1/60).

Inilah sejarah kali pertama darah mengalir bercucuran dari tubuhnya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah; “Maka niscaya Allah akan cukupkan bagi kalian…(QS.Al-Baqoroh;138). Beliau dimakamkan di kuburan Baqi’ (kuburan yang berada samping masjid Nabawi) setelah melarang untuk ikut mengantar jenazah bagi orang-orang yang melakukan protes.

Saiyidina Utsman ra. berpesan:

Tanda-tanda orang bertakwa, ialah suka berteman insan beriman
mampu mengendalikan farji dan lisan
memandang kesukseksan sebagai suatu cobaan
memandang cobaan sebagai sebuah keberuntungan
dan mampu menjaga diri dari berlebih-lebihan


Saiyidina Utsman r.a. berpesan:

Setiap insan beriman,tentu dihinggapi enam ketakutan
takut kepada Allah untuk mencabut imannya
takut kepada malaikat untuk mencatat amal buruknya
takut kepada setan untuk meleburkan amal salehnya
takut kepada pencabut nyawa untuk merenggut nyawanya
takut kepada dunia untuk merasa tentram di dalamnya
takut kepada keluarga untuk rnenyibukkan nya hingga lupa pada Tuhannya

Tergesa-gesa adalah tipu daya setan,
Kecuali pada lima perbuatan
Menyuguhi tamu begitu ia tiba
Mengurus jenazah begitu ajal merenggutnya
Menikahkan seorang gadis begitu menginjak dewasa
Membayar hutang begitu sampai jatuh temponya
Dan segera bertobat begitu terlanjur berbuat dosa

RISALAH SAIYIDINA UMAR ra IBNU KHOTTHOB

Seorang pemuda yang gagah perkasa berjalan dengan langkah yang mantap mencari Nabi hendak membunuhnya. Ia sangat membenci Nabi, dan agama baru yang dibawanya. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang bernama Naim bin Abdullah yang menanyakan tujuan perjalanannya tersebut. Kemudian diceritakannya niatnya itu. Dengan mengejek, Naim mengatakan agar ia lebih baik memperbaiki urusan rumah tangganya sendiri terlebih dahulu. Seketika itu juga pemuda itu kembali ke rumah dan mendapatkan ipar lelakinya sedang asyik membaca kitab suci Al-Qur'an. Langsung sang ipar dipukul dengan ganas, pukulan yang tidak membuat ipar maupun adiknya meninggalkan agama Islam. Pendirian adik perempuannya yang teguh itu akhirnya justru menentramkan hatinya dan malahan ia memintanya membaca kembali baris-baris Al-Qur'an. Permintaan tersebut dipenuhi dengan senang hati. Kandungan arti dan alunan ayat-ayat Kitabullah ternyata membuat si pemuda itu begitu terpesonanya, sehingga ia bergegas ke rumah Nabi dan langsung memeluk agama Islam. Begitulah pemuda yang bernama Umar bin Khattab, yang sebelum masuk Islam dikenal sebagai musuh Islam yang berbahaya. Dengan rahmat dan hidayah Allah, Islam telah bertambah kekuatannya dengan masuknya seorang pemuda yang gagah perkasa. Ketiga bersaudara itu begitu gembiranya, sehingga mereka secara spontan mengumandangkan "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar). Gaungnya bergema di pegunungan di sekitarnya.

Umar masuk agama Islam pada usia 27 tahun. Beliau dilahirkan di Makkah, 40 tahun sebelum hijrah. Silsilahnya berkaitan dengan garis keturunan Nabi pada generasi ke delapan. Moyangnya memegang jabatan duta besar dan leluhurnya adalah pedagang. Ia salah satu dari 17 orang Makkah yang terpelajar ketika kenabian dianugerahkan kepada Muhammad SAW.

Dengan masuknya Umar ke dalam agama Islam, kekuatan kaum Muslimin makin bertambah tangguh. Ia kemudian menjadi penasehat utama Abu Bakar selama masa pemerintahan dua setengah tahun. Ketika Abu Bakar mangkat, ia dipilih menjadi khalifah Islam yang kedua, jabatan yang diembannya dengan sangat hebat selama sepuluh setengah tahun. Ia meninggal pada tahun 644 M, dibunuh selagi menjadi imam sembahyang di masjid Nabi. Pembunuhnya bernama Feroz alias Abu Lu'lu, seorang Majusi yang tidak puas.

Ajaran-ajaran Nabi telah mengubah suku-suku bangsa Arab yang suka berperang menjadi bangsa yang bersatu, dan merupakan suatu revolusi terbesar dalam sejarah manusia. Dalam masa tidak sampai 30 tahun, orang-orang Arab yang suka berkelana telah menjadi tuan sebuah kerajaan terbesar di waktu itu. Prajurit-prajuritnya melanda tiga benua terkenal di dunia, dan dua kerajaan besar Caesar (Romawi) dan Chesroes (Parsi) bertekuk lutut di hadapan pasukan Islam yang perkasa. Nabi telah meninggalkan sekelompok orang yang tidak mementingkan diri, yang telah mengabdikan dirinya kepada satu tujuan, yakni berbakti kepada agama yang baru itu. Salah seorang di antaranya adalah Umar al-Faruq, seorang tokoh besar, di masa perang maupun di waktu damai. Tidak banyak tokoh dalam sejarah manusia yang telah menunjukkan kepintaran dan kebaikan hati yang melebihi Umar, baik sebagai pemimpin tentara di medan perang, maupun dalam mengemban tugas-tugas terhadap rakyat serta dalam hak ketaatan kepada keadilan. Kehebatannya terlihat juga dalam mengkonsolidasikan negeri-negeri yang telah di taklukkan.

Islam sempat dituduh menyebarluaskan dirinya melalui ujung pedang. Tapi riset sejarah modern yang dilakukan kemudian membuktikan bahwa perang yang dilakukan orang Muslim selama kekhalifahan Khulafaurrosyidin adalah untuk mempertahankan diri.

Sejarawan Inggris, Sir William Muir, melalui bukunya yang termasyur, Rise, Decline and Fall of the Caliphate, mencatat bahwa setelah penaklukan Mesopotamia, seorang jenderal Arab bernama Zaid memohon izin Khalifah Umar untuk mengejar tentara Parsi yang melarikan diri ke Khurasan. Keinginan jenderalnya itu ditolak Umar dengan berkata, "Saya ingin agar antara Mesopotamia dan negara-negara di sekitar pegunungan-pegunungan menjadi semacam batas penyekat, sehingga orang-orang Parsi tidak akan mungkin menyerang kita. Demikian pula kita, kita tidak bisa menyerang mereka. Dataran Irak sudah memenuhi keinginan kita. Saya lebih menyukai keselamatan bangsaku dari pada ribuan barang rampasan dan melebarkan wilayah penaklukkan. Muir mengomentarinya demikian: "Pemikiran melakukan misi yang meliputi seluruh dunia masih merupakan suatu embrio, kewajiban untuk memaksakan agama Islam melalui peperangan belum lagi timbul dalam pikiran orang Muslimin."

Umar adalah ahli strategi militer yang besar. Ia mengeluarkan perintah operasi militer secara mendetail. Pernah ketika mengadakan operasi militer untuk menghadapi kejahatan orang-orang Parsi, beliau yang merancang kopmposisi pasukan Muslim, dan mengeluarkan perintah dengan detailnya. Saat beliau menerima khabar hasil pertempurannya beliau ingin segera menyampaikan berita gembira atas kemenangan tentara kaum Muslimin kepada penduduk, lalu Khalifah Umar berpidato di hadapan penduduk Madinah: "Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu yang ingin menjadikan Anda budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi hamba-Nya. Kepadaku telah dipercayakan tanggung jawab yang berat untuk menjalankan pemerintahan khilafah. Adalah tugasku membuat Anda senang dalam segala hal, dan akan menjadi hari nahas bagiku jika timbul keinginan barang sekalipun agar Anda melayaniku. Aku berhasrat mendidik Anda bukan melalui perintah-perintah, tetapi melalui perbuatan."

Pada tahun 634 M, pernah terjadi pertempuran dahsyat antara pasukan Islam dan Romawi di dataran Yarmuk. Pihak Romawi mengerahkan 300.000 tentaranya, sedangkan tentara Muslimin hanya 46.000 orang. Walaupun tidak terlatih dan berperlengkapan buruk, pasukan Muslimin yang bertempur dengan gagah berani akhirnya berhasil mengalahkan tentara Romawi. Sekitar 100.000 orang serdadu Romawi tewas sedangkan di pihak Muslimin tidak lebih dari 3000 orang yang tewas dalam pertempuran itu. Ketika Caesar diberitakan dengan kekalahan di pihaknya, dengan sedih ia berteriak: "Selamat tinggal Syria," dan dia mundur ke Konstantinopel.

Beberapa prajurit yang melarikan diri dari medan pertempuran Yarmuk, mencari perlindungan di antara dinding-dinding benteng kota Yerusalem. Kota dijaga oleh garnisun tentara yang kuat dan mereka mampu bertahan cukup lama. Akhirnya uskup agung Yerusalem mengajak berdamai, tapi menolak menyerah kecuali langsung kepada Khalifah sendiri. Umar mengabulkan permohonan itu, menempuh perjalanan di Jabia tanpa pengawalan dan arak-arakan kebesaran, kecuali ditemani seorang pembantunya. Ketika Umar tiba di hadapan uskup agung dan para pembantunya, Khalifah menuntun untanya yang ditunggangi pembantunya. Para pendeta Kristen lalu sangat kagum dengan sikap rendah hati Khalifah Islam dan penghargaannya pada persamaan martabat antara sesama manusia. Uskup agung dalam kesempatan itu menyerahkan kunci kota suci kepada Khalifah dan kemudian mereka bersama-sama memasuki kota. Ketika ditawari bersembahyang di gereja Kebaktian, Umar menolaknya dengan mengatakan: "Kalau saya berbuat demikian, kaum Muslimin di masa depan akan melanggar perjanjian ini dengan alasan mengikuti contoh saya." Syarat-syarat perdamaian yang adil ditawarkan kepada orang Kristen. Sedangkan kepada orang-orang Yahudi, yang membantu orang Muslimin, hak milik mereka dikembalikan tanpa harus membayar pajak apa pun.

Penaklukan Syria sudah selesai. Seorang sejarawan terkenal mengatakan: "Syria telah tunduk pada tongkat kekuasaan Khalifah, 700 tahun setelah Pompey menurunkan tahta raja terakhir Macedonia. Setelah kekalahannya yang terakhir, orang Romawi mengaku takluk, walaupun mereka masih terus menyerang daerah-daerah Muslimin. Orang Romawi membangun sebuah rintangan yang tidak bisa dilalui, antara daerahnya dan daerah orang Muslim. Mereka juga mengubah sisa tanah luas miliknya di perbatasan Asia menjadi sebuah padang pasir. Semua kota di jalur itu dihancurkan, benteng-benteng dibongkar, dan penduduk dipaksa pindah ke wilayah yang lebih utara. Demikianlah keadaannya apa yang dianggap sebagai perbuatan orang Arab Muslim yang biadab sesungguhnya hasil kebiadaban Byzantium." Namun kebijaksanaan bumi hangus yang sembrono itu ternyata tidak dapat menghalangi gelombang maju pasukan Muslimin. Dipimpin Ayaz yang menjadi panglima, tentara Muslim melewati Tarsus, dan maju sampai ke pantai Laut Hitam.

Menurut sejarawan terkenal, Baladhuri, tentara Islam seharusnya telah mencapai Dataran Debal di Sind. Tapi, kata Thabari, Khalifah menghalangi tentaranya maju lebih ke timur dari Mekran.

Suatu penelitian pernah dilakukan untuk menunjukkan faktor-faktor yang menentukan kemenangan besar operasai militer Muslimin yang diraih dalam waktu yang begitu singkat. Kita ketahui, selama pemerintahan khalifah yang kedua, orang Islam memerintah daerah yang sangat luas. Termasuk di dalamnya Syria, Mesir, Irak, Parsi, Khuzistan, Armenia, Azerbaijan, Kirman, Khurasan, Mekran, dan sebagian Baluchistan. Pernah sekelompok orang Arab yang bersenjata tidak lengkap dan tidak terlatih berhasil menggulingkan dua kerajaan yang paling kuat di dunia. Apa yang memotivasikan mereka? Ternyata, ajaran Nabi SAW. telah menanamkan semangat baru kepada pengikut agama baru itu. Mereka merasa berjuang hanya demi Allah semata. Kebijaksanaan khalifah Islam kedua dalam memilih para jenderalnya dan syarat-syarat yang lunak yang ditawarkan kepada bangsa-bangsa yang ditaklukan telah membantu terciptanya serangkaian kemenangan bagi

kaum Muslimin yang dicapai dalam waktu sangat singkat.

Bila diteliti kitab sejarah Thabari, dapat diketahui bahwa Umar al-Faruq, kendati berada ribuan mil dari medan perang, berhasil menuntun pasukannya dan mengawasi gerakan pasukan musuh. Suatu kelebihan anugerah Allah yang luar biasa. Dalam menaklukan musuhnya, khalifah banyak menekankan pada segi moral, dengan menawarkan syarat-syarat yang lunak, dan memberikan mereka segala macam hak yang bahkan dalam abad modern ini tidak pernah ditawarkan kepada suatu bangsa yang kalah perang. Hal ini sangat membantu memenangkan simpati rakyat, dan itu pada akhirnya membuka jalan bagi konsolidasi administrasi secara efisien. Ia melarang keras tentaranya membunuh orang yang lemah dan menodai kuil serta tempat ibadah lainnya. Sekali suatu perjanjian ditandatangani, ia harus ditaati, yang tersurat maupun yang tersirat.

Berbeda dengan tindakan penindasan dan kebuasan yang dilakukan Alexander, Caesar, Atilla, Ghengiz Khan, dan Hulagu. Penaklukan model Umar bersifat badani dan rohani.

Ketika Alexander menaklukan Sur, sebuah kota di Syria, dia memerintahkan para jenderalnya melakukan pembunuhan massal, dan menggantung seribu warga negara terhormat pada dinding kota. Demikian pula ketika dia menaklukan Astakher, sebuah kota di Parsi, dia memerintahkan memenggal kepala semua laki-laki. Raja lalim seperti Ghengiz Khan, Atilla dan Hulagu bahkan lebih ganas lagi. Tetapi imperium mereka yang luas itu hancur berkeping-keping begitu sang raja meninggal. Sedangkan penaklukan oleh khalifah Islam kedua berbeda sifatnya. Kebijaksanaannya yang arif, dan administrasi yang efisien, membantu mengonsolidasikan kerajaannya sedemikian rupa. Sehingga sampai masa kini pun, setelah melewati lebih dari 1.400 tahun, negara-negara yang ditaklukannya masih berada di tangan orang Muslim. Umar al-Faruk sesungguhnya penakluk terbesar yang pernah dihasilkan sejarah.

Sifat mulia kaum Muslimin umumnya dan Khalifah khususnya, telah memperkuat kepercayaan kaum non Muslim pada janji-janji yang diberikan oleh pihak Muslimin. Suatu ketika, Hurmuz, pemimpin Parsi yang menjadi musuh bebuyutan kaum Muslimin, tertawan di medan perang dan di bawa menghadap Khalifah di Madinah. Ia sadar kepalanya pasti akan dipenggal karena dosanya sebagai pembunuh sekian banyak orang kaum Muslimin. Dia tampaknya merencanakan sesuatu, dan meminta segelas air. Permohonannya dipenuhi, tapi anehnya ia tidak mau minum air yang dihidangkan. Dia rupanya merasa akan dibunuh selagi mereguk minuman, Khalifah meyakinkannya, dia tidak akan dibunuh kecuali jika Hurmuz meminum air tadi. Hurmuz yang cerdik seketika itu juga membuang air itu. Ia lalu berkata, karena dia mendapatkan jaminan dari Khalifah, dia tidak akan minum air itu lagi. Khalifah memegang janjinya. Hurmuz yang terkesan dengan kejujuran Khalifah, akhirnya masuk Islam.

Khalifah Umar pernah berkata, "Kata-kata seorang Muslim biasa sama beratnya dengan ucapan komandannya atau khalifahnya." Demokrasi sejati seperti ini diajarkan dan dilaksanakan selama kekhalifahan ar-rosyidin hampir tidak ada persamaannya dalam sejarah umat manusia. Islam sebagai agama yang demokratis, seperti digariskan Al-Qur'an, dengan tegas meletakkan dasar kehidupan demokrasi dalam kehidupan Muslimin, dan dengan demikian setiap masalah kenegaraan harus dilaksanakan melalui konsultasi dan perundingan. Nabi SAW. sendiri tidak pernah mengambil keputusan penting tanpa melakukan konsultasi. Pohon demokrasi dalam Islam yang ditanam Nabi dan dipelihara oleh Abu Bakar mencapai puncaknya pada jaman Khalifah Umar. Semasa pemerintahan Umar telah dibentuk dua badan penasehat. Badan penasehat yang satu merupakan sidang umum yang diundang bersidang bila negara menghadapi bahaya. Sedang yang satu lagi adalah badan khusus yang terdiri dari orang-orang yang integritasnya tidak diragukan untuk diajak membicarakan hal rutin dan penting. Bahkan masalah pengangkatan dan pemecatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa ke badan khusus ini, dan keputusannya dipatuhi.

Umar hidup seperti orang biasa dan setiap orang bebas menanyakan tindakan-tindakannya. Suatu ketika ia berkata: "Aku tidak berkuasa apa pun terhadap Baitul Mal (harta umum) selain sebagai petugas penjaga milik yatim piatu. Jika aku kaya, aku mengambil uang sedikit sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari. Saudara-saudaraku sekalian! Aku abdi kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala tindakanku. Salah satu hal yang harus diingat, uang rakyat tidak boleh dihambur-hamburkan. Aku harus bekerja di atas prinsip kesejahteraan dan kemakmuran rakyat."

Suatu kali dalam sebuah rapat umum, seseorang berteriak: "O, Umar, takutlah kepada Tuhan." Para hadirin bermaksud membungkam orang itu, tapi Khalifah mencegahnya sambil berkata: "Jika sikap jujur seperti itu tidak ditunjukan oleh rakyat, rakyat menjadi tidak ada artinya. Jika kita tidak mendengarkannya, kita akan seperti mereka." Suatu kebebasan menyampaikan pendapat telah dipraktekan dengan baik.

Ketika berpidato suatu kali di hadapan para gubernur, Khalifah berkata: "Ingatlah, saya mengangkat Anda bukan untuk memerintah rakyat, tapi agar Anda melayani mereka. Anda harus memberi contoh dengan tindakan yang baik sehingga rakyat dapat meneladani Anda."

Pada saat pengangkatannya, seorang gubernur harus menandatangani pernyataan yang mensyaratkan bahwa "Dia harus mengenakan pakaian sederhana, makan roti yang kasar, dan setiap orang yang ingin mengadukan suatu hal bebas menghadapnya setiap saat." Menurut pengarang buku Futuhul-Buldan, di masa itu dibuat sebuah daftar barang bergerak dan tidak bergerak begitu pegawai tinggi yang terpilih diangkat. Daftar itu akan diteliti pada setiap waktu tertentu, dan penguasa tersebut harus mempertanggung-jawabkan terhadap setiap hartanya yang bertambah dengan sangat mencolok. Pada saat musim haji setiap tahunnya, semua pegawai tinggi harus melapor kepada Khalifah. Menurut penulis buku Kitab ul-Kharaj, setiap orang berhak mengadukan kesalahan pejabat negara, yang tertinggi sekalipun, dan pengaduan itu harus dilayani. Bila terbukti bersalah, pejabat tersebut mendapat ganjaran hukuman.

Muhammad bin Muslamah Ansari, seorang yang dikenal berintegritas tinggi, diangkat sebagai penyelidik keliling. Dia mengunjungi berbagai negara dan meneliti pengaduan masyarakat. Sekali waktu, Khalifah menerima pengaduan bahwa Sa'ad bin Abi Waqqash, gubernur Kufah, telah membangun sebuah istana. Seketika itu juga Umar memutus Muhammad Ansari untuk menyaksikan adanya bagian istana yang ternyata menghambat jalan masuk kepemukiman sebagian penduduk Kufah. Bagian istana yang merugikan kepentingan umum itu kemudian dibongkar. Kasus pengaduan lainnya menyebabkan Sa'ad dipecat dari jabatannya.

Seorang sejarawan Eropa menulis dalam The Encyclopedia of Islam: "Peranan Umar sangatlah besar. Pengaturan warganya yang non-Muslim, pembentukan lembaga yang mendaftar orang-orang yang mendapat hak untuk pensiun tentara (divan), pengadaan pusat-pusat militer (amsar) yang dikemudian hari berkembang menjadi kota-kota besar Islam, pembentukan kantor kadi (qazi), semuanya adalah hasil karyanya. Demikian pula seperangkat peraturan, seperti sembahyang tarawih di bulan Ramadhan, keharusan naik haji, hukuman bagi pemabuk, dan hukuman pelemparan dengan batu bagi orang yang berzina."

Khalifah menaruh perhatian yang sangat besar dalam usaha perbaikan keuangan negara, dengan menempatkannya pada kedudukan yang sehat. Ia membentuk "Diwan" (departemen keuangan) yang dipercayakan menjalankan administrasi pendapatan negara.

Pendapatan persemakmuran berasal dari sumber :

Zakat atau pajak yang dikenakan secara bertahap terhadap Muslim yang berharta. Kharaj atau pajak bumi Jizyah atau pajak perseorangan. Dua pajak yang disebut terakhir, yang membuat Islam banyak dicerca oleh sejarawan Barat, sebenarnya pernah berlaku di kerajaan Romawi dan Sasanid (Parsi). Pajak yang dikenakan pada orang non Muslim jauh lebih kecil jumlahnya dari pada yang dibebankan pada kaum Muslimin. Khalifah menetapkan pajak bumi menurut jenis penggunaan tanah yang terkena. Ia menetapkan 4 dirham untuk satu Jarib gandum. Sejumlah 2 dirham dikenakan untuk luas tanah yang sama tapi ditanami gersb (gandum pembuat ragi). Padang rumput dan tanah yang tidak ditanami tidak dipungut pajak. Menurut sumber-sumber sejarah yang dapat dipercaya, pendapatan pajak tahunan di Irak berjumlah 860 juta dirham. Jumlah itu tak pernah terlampaui pada masa setelah wafatnya Umar.

Ia memperkenalkan reform (penataan) yang luas di lapangan pertanian, hal yang bahkan tidak terdapat di negara-negara berkebudayaan tinggi di zaman modern ini. Salah satu dari reform itu ialah penghapusan zamindari (tuan tanah), sehingga pada gilirannya terhapus pula beban buruk yang mencekik petani penggarap. Ketika orang Romawi menaklukkan Syria dan Mesir, mereka menyita tanah petani dan membagi-bagikannya kepada anggota tentara, kaum ningrat, gereja, dan anggota keluarga kerajaan.

Sejarawan Perancis mencatat: "Kebijaksanaan liberal orang Arab dalam menentukan pajak dan mengadakan land reform sangat banyak pengaruhnya terhadap berbagai kemenangan mereka di bidang kemiliteran."

Ia membentuk departemen kesejahteraan rakyat, yang mengawasi pekerjaan pembangunan dan melanjutkan rencana-rencana. Sejarawan terkenal Allamah Maqrizi mengatakan, di Mesir saja lebih dari 20.000 pekerja terus-menerus dipekerjakan sepanjang tahun. Sejumlah kanal di bangun di Khuzistan dan Ahwaz selama masa itu. Sebuah kanal bernama "Nahr Amiril Mukminin," yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah, dibangun untuk menjamin pengangkutan padi secara cepat dari Mesir ke Tanah Suci.

Selama masa pemerintahan Umar diadakan pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif. Von Hamer mengatakan, "Dahulu hakim diangkat dan sekarang pun masih diangkat. Hakim ush-Shara ialah penguasa yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, karena undang-undang menguasai seluruh keputusan pengadilan, dan para gubernur dikuasakan menjalankan keputusan itu. Dengan demikian dengan usianya yang masih sangat muda, Islam telah mengumandangkan dalam kata dan perbuatan, pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif." Pemisahan seperti itu belum lagi dicapai oleh negara-negara paling maju, sekalipun di zaman modern ini.

Umar sangat tegas dalam penegakan hukum yang tidak memihak dan tidak pandang bulu. Suatu ketika anaknya sendiri yang bernama Abu Syahma, dilaporkan terbiasa meminum khamar. Khalifah memanggilnya menghadap dan ia sendiri yang mendera anak itu sampai meninggal. Cemeti yang dipakai menghukum Abu Syahma ditancapkan di atas kuburan anak itu.

Kebesaran Khalifah Umar juga terlihat dalam perlakuannya yang simpatik terhadap warganya yang non Muslim. Ia mengembalikan tanah-tanah yang dirampas oleh pemerintahan jahiliyah kepada yang berhak yang sebagian besar non Muslim. Ia berdamai dengan orang Kristen Elia yang menyerah. Syarat-syarat perdamaiannya ialah: "Inilah perdamaian yang ditawarkan Umar, hamba Allah, kepada penduduk Elia. Orang-orang non Muslim diizinkan tinggal di gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah tidak boleh dihancurkan. Mereka bebas sepenuhnya menjalankan ibadahnya dan tidak dianiaya dengan cara apa pun." Menurut Imam Syafi'i ketika Khalifah mengetahui seorang Muslim membunuh seorang Kristen, ia mengijinkan ahli waris almarhum menuntut balas. Akibatnya, si pembunuh dihukum penggal kepala.

Khalifah Umar juga mengajak orang non Muslim berkonsultasi tentang sejumlah masalah kenegaraan. Menurut pengarang Kitab al-Kharaj, dalam wasiatnya yang terakhir Umar memerintahkan kaum Muslimin menepati sejumlah jaminan yang pernah diberikan kepada non Muslim, melindungi harta dan jiwanya, dengan taruhan jiwa sekalipun. Umar bahkan memaafkan penghianatan mereka, yang dalam sebuah pemerintahan beradab di zaman sekarang pun tidak akan mentolerirnya. Orang Kristen dan Yahudi di Hems bahkan sampai berdoa agar orang Muslimin kembali ke negeri mereka. Khalifah memang membebankan jizyah, yaitu pajak perlindungan bagi kaum non Muslim, tapi pajak itu tidak dikenakan bagi orang non Muslim, yang bergabung dengan tentara Muslimin.

Khalifah sangat memperhatikan rakyatnya, sehingga pada suatu ketika secara diam-diam ia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam, ketika sedang berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, ketika menjawab Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di ceret yang ia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu. Itulah caranya ia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya, Khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Ia kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, ia berkunjung kembali, dan sambil meminta maaf kepada wanita itu ia meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya.

Khalifah yang agung itu hidup dengan cara yang sangat sederhana. Tingkat kehidupannya tidak lebih tinggi dari kehidupan orang biasa. Suatu ketika Gubernur Kufah mengunjunginya sewaktu ia sedang makan. Sang gubernur menyaksikan makanannya terdiri dari roti gersh dan minyak zaitun, dan berkata, "Amirul mukminin, terdapat cukup di kerajaan Anda; mengapa Anda tidak makan roti dari gandum?" Dengan agak tersinggung dan nada murung, Khalifah bertanya, "Apakah Anda pikir setiap orang di kerajaanku yang begitu luas bisa mendapatkan gandum?" "Tidak," Jawab gubernur. "Lalu, bagaimana aku dapat makan roti dari gandum? Kecuali bila itu bisa dengan mudah didapat oleh seluruh rakyatku." Tambah Umar.

Dalam kesempatan lain Umar berpidato di hadapan suatu pertemuan. Katanya, "Saudara-saudara, apabila aku menyeleweng, apa yang akan kalian lakukan?" Seorang laki-laki bangkit dan berkata, "Anda akan kami pancung." Umar berkata lagi untuk mengujinya, "Beranikah anda mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan seperti itu kepadaku?" "Ya, berani!" jawab laki-laki tadi. Umar sangat gembira dengan keberanian orang itu dan berkata, "Alhamdulillah, masih ada orang yang seberani itu di negeri kita ini, sehingga bila aku menyeleweng mereka akan memperbaikiku."

Seorang filosof dan penyair Muslim tenar dari India menulis nukilan seperti berikut untuk dia:Jis se jigar-i-lala me thandak ho who shabnam Daryaan ke dil jis se dabel jaen who toofan

Seperti embun yang mendinginkan hati bunga lily, dan bagaikan topan yang menggelagakkan dalamnya sungai.

Sejarawan Kristen Mesir, Jurji Zaidan terhadap prestasi Umar berkomentar: "Pada zamannya, berbagai negara ia taklukkan, barang rampasan kian menumpuk, harta kekayaan raja-raja Parsi dan Romawi mengalir dengan derasnya di hadapan tentaranya, namun dia sendiri menunjukkan kemampuan menahan nafsu serakah, sehingga kesederhanaannya tidak pernah ada yang mampu menandingi. Dia berpidato di hadapan rakyatnya dengan pakaian bertambalkan kulit hewan. Dia mempraktekkan satunya kata dengan perbuatan. Dia mengawasi para gubernur dan jenderalnya dengan cermat dan dengan cermat pula menyelidiki perbuatan mereka. Bahkan Khalid bin Walid yang perkasa pun tidak terkecuali. Dia berlaku adil kepada semua orang, dan bahkan juga bagi orang non-Muslim. Selama masa pemerintahannya, disiplin baja diterapkan secara utuh."

Saiyidina  Umar r.a. berkata:
Enam keistimewaan
Allah rahasiakan dalam enam keadaan
rahasiakan ridha di dalam taat
rahasiakan murka di dalam maksiat
rahasiakan lailatul qadar di bulan Ramadhan
rahasiakan kematian dibalik kehidupan
rahasiakan para wali di antara manusia dan rahasiakan shalat utama di antara shalat lima


Umar r.a. berkata:
Ada lima golongan penghuni surga
Orang fakir yang menanggung hidup keluarga
Istri yang disayang oleh suaminya
Anak yang diridhai kedua orangtuanya
Calon istri yang mendermakan mahar kepada suaminya
dan orang mukmin yang selalu bertobat pada Tuhannya

Saiyidina Umar r.a. berkata:
Telah kuteliti semua kegemaran
ternyata tak ada yang lebih berkesan dari menjaga lisan
Telah kupadukan semua baju
ternyata tak ada yang lebih terpadu dari rasa malu
Telah kutata seluruh harta
ternyata tak ada yang lebih indah dari sikap menerima
Telah kusaksikan semua kebajikan
tern yata tak ada yang lebih istimewa dari kebijakan
Telah kurasakan semua hidangan
ternyata tak ada yang lebih menggairahkan dari ketabahan



Kamis, 24 Mei 2012

RISALAH SAIYIDINA ABU BAKAR ra

Beliau lahir dua tahun beberapa bulan setelah kelahiran Rasulullah Saw di kota Mekkah. Atau pada tahun 51 sebelum Hijriah (751 M). Nama lengkapanya Abdullah bin Utsman bin ‘Amir bin Ka’ab at-Taimy al-Qursy. Dulunya bernama Abdul Ka’bah, kemudian Rasulullah mengantinya dengan nama Abdullah. Gelarnya As-Sidiq; orang percaya. Ketika terjadi peristiwa Isro’ dan Mi’roj, beliaulah termasuk orang pertama yang percaya dengan peristiwa itu. Maka beliau digelari as-Siddiq. Nama panggilanya Abu Bakar. Ibunya bernama ummul Khoir Salma binti Shahr bin ‘Amir .

Di kalangan kaumnya dikenal dengan al-‘Atiq. Konon ceritanya Rasulullah pernah berkata; “Kamu adalah hamba Allah yang dijauhkan (‘Atiq) dari api neraka”. Maka sejak itulah terkenal di kalangan sahabat dengan sebutan al-‘Atiq. Pendapat lain mengatakan karena wajahnya yang ganteng. Pendapat lain karena banyak memerdekakan budak muslim seperti Bilal. Pendapat lain karena tidak ada cacat dalam nasabnya.

Mengenai pribadinya, Ibn Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin az-Zubair, “Ketika para sahabat sedang kumpul dalam suatu majlis, seseorang bertanya kepada Abu Bakar. “Apakah kamu pernah minum khomer pada masa Jahiliyah?” kata orang itu. Beliau menjawab, “Aku berlingung kepada Allah. “Kenapa” orang itu bertanya. “Saya dapat menjaga kehormatan diriku dan muruah. Sebab orang yang minum khomer hilang kehormatannya dan muruahnya” jawab Abu Bakar. Orang pun melaporkan kepada Rasulullah. Rasulullah berkata, “Abu Bakar benar. Abu Bakar benar.” Dari Aisyah ‘Aisyah r.a. berkata, “Demi Allah, Abu Bakar r.a. belum pernah membaca syair pada masa Jahiliyah dan Islam. Beliau dan Utsman bin ‘Affan tidak pernah meminum khomer/arak.”

Pada waktu Rasulullah wafat, kaum muslimin mulai guncang dan kebinggungan akan keberlangsungan Islam. Melihat kondisi yang sangat membahayakan ini, beliau dengan lantang berkata; “ Siapa diantara kalian yang menyembah Muhammad (Rasulullah), maka Muhammad sudah wafat. Tapi barangsiapa menyembah Allah SWT maka Allah SWT itu hidup dan tidak akan mati.” Mendengar ucapan itu, maka tenanglah hati umat Islam. Hingga akhirnya Allah SWT menguatkan keimanan mereka.

Selepas Rasululllah wafat, beliau diangkat menjadi kholifah oleh kaum muslimin pada tahun 11 H. inilah sejarah pergantian kempimpinan umat Islam untuk pertama kali yang didasarkan pada syuro’ (musyawarah). Pada waktu dipilih menjadi kholifah beliau berkata; “Aku diangkat menjadi pemimpin kalian tapi bukan berarti aku yang paling baik dari kalian. Sekiranya aku melakukan kebaikan maka kalian harus menolongnya dan sekiranya aku berbuat salah maka kalian wajib meluruskan dan mengingatkan. Kejujuran adalah amanah dan berdusta adalah khianat dan pengingkaran terhadap yang benar. Orang-orang yang lemah diantara kalian, bagiku adalah orang kuat hingga aku memberikan haknya. Dan orang-orang yang kuat diantara kalian, bagiku adalah lemah hingga aku ambil hak-hak itu darinya.”

Istri-istri beliau; Ummu Rumman binti ‘Amir, Qutailah binti Abdul Izza, Asma’ binti ‘Umais dan Habibah binti Khorijah. Lahir dari perkawinnya tiga anak laki-laki dan tiga perempuan. Tiga anak laki-laki itu; Abdullah, Abdurrahman dan Muhammad. 3 anak perempuannya; Asma’, Aisyah (istri Rasulullah) dan Ummu Kultsum.

Beliau menjabat sebagai kholifah selama dua tahun dan tiga bulan. Wafat pada tahun 12 H berumur 63 tahun, seperti umur Rasulullah ketika wafat. Dikuburkan di dekat kuburan Rasulullah di kamar Aisyah RA. Sebelum wafatnya, beliau pernah berwasiat kepada Umar bin Khottob untuk menjadi kholifah.

Beliau sangat pandai dalam ilmu nasab (silsisah keturunan) suku dan juga penceritaannya. Beliau termasuk dari ketua-ketua Quraisy di masa Jahiliyah yang disegani dan senangi karena sikapnya yang bijak. Selama hidupnya belum pernah minum khomer dan menyembah patung. Ketika di Yaman, seorang syeik dari al-Azd pernah memberitahu tentang hadirnya kenabian Muhammad Saw. Beliau orang pertama yang meyakini dan mempercayai kenabian Muhammad. Seperti halnya berita yang disampaikan Waroqoh bin Naufal kepada beliau mengenai kenabian Muhammad Saw.

Pada waktu hijrah, beliau menjadi teman Rasulullah dalam perjalanan hijrah itu, begitu juga ketika Rasulullah berada di gua Hira. Hal ini bisa dibaca dalam firman Allah; “…sedang ia salah seorang dari dua sahabat pada waktu di gua Hiro..(QS.at-taubah:40). Ketika melakukan ibadah haji beliau orang pertama menjadi amir (ketua) rombongan kaum muslimin dalam haji tersebut dan orang pertama yang menjadi imam sholat setelah wafatnya Rasulullah.

Diantara orang-orang yang memeluk Islam atas jasanya adalah; az-Zubair bin al-Awwa, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Saad bin Abu Waqos, Tholhah bin Ubaidillah, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah. Mereka termasuk 10 orang-orang yang diberitakan masuk surga. Termasuk beliau juga.

Beliau telah memerdekakan 7 orang; Bilal, ‘Amir bin Fahiroh, Zanirah, Nahdiyah dan anak perempuannya, Jariyah bani Muammal dan Ummu ‘Abis. Mengumpulkan mushaf yang tersebar di pelbagai pelosok. Beliau juga orang yang sangat tegas memerangi orang-orang murtad (keluar dari Islam) dan engan membayar zakat. Pada masa beliau memangku kholifah, syiar Islam tersebar melalui penaklukan ke pelbagai negara. Inilah sejarah awal penaklukan dalam Islam. Ada 142 hadits yang diriwayatkankan. Diantara riwayat hadits dari beliau; Suatu ketika Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku do’a dalam sholat.” Rasulullah menjawab: “berdoalah dengan ini; “Allahumma inni dholamtu nafsi dhulman katsiro…(Wahai Allah, aku banyak berbuat kedhaliman, tidak ada orang yang boleh berikan ampunan dosa-dosa dholimku kecuali Engkau. Maka berilah ampunana atas semua dosa-dosaku dan berilah kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha Pemberi Ampunan dan Kasih sayang” (HR.Bukhori)

Apa kata Rasulullah mengenai pribadinya: “Tidak seorangpun diantara manusia yang lebih banyak dari Abu Bakar dalam menjaga diriku denganm jiwa dan hartanya. Sekiranya dibolehkan aku menjadikan teman baik diantara manusia niscaya saya jadikan Abu Bakar sebagai teman baik. Akan tetapi pertemanan dan persaudaraan atas nama Islam itu lebih utama. Silahkan kalian tutup setiap pintu untukku di masjid kecuali pintu Abu Bakar (HR.Bukhori).

Dalam hadits lain disebutkan,suatu ketika Rasulullah bertanya kepada para sahabat; “ Siapa diantara kalian yang hari ini berpuasa.” Abu Bakar menjawab; “Saya, wahai baginda Rasul. “Siapa diantara kalian yang telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab; “Saya, Wahai Rasul.” “Siapa diantara kalian telah mendoakan dan menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab; “Saya, wahai baginda Rasul.” Setelah itu Rasulullah bersabda; “Sekiranya sifat dan perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang maka kelak dia akan masuk surga.”

Wasiat Abu Bakar kepada Umar sebelum ajal menjemputnya sebagaimana diceritakan Abdurrahman bin Abdullah bin Sabith “Pada waktu ajal hendak menjemputnya, beliau memangil Umar. Beliau berkata, “Wahai Umar, ingatlah bahwa ada amalan untuk Allah yang dilakukan siang hari yang Allah tidak akan menerima amalan itu di waktu malam. Dan ada amalan untuk Allah yang di malam hari yang tidak akan diterima di waktu siang. Allah tidak menerima amalan sunnah sehingga yang wajib dilaksanakan. Timbangan amal baik di akherat menjadi berat karena mengikuti jalan kebenaran di dunia hingga Allah beratkan timbangan atas mereka. Dan timbangan (baik) manusia berkurang di akherat karena manusia mengikuti jalan sesat/batil selama di dunia

Ketika beliau wafat, Ali bin Tholib berkata; “Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Bakar, Kamu adalah saudara Rasulullah, kawan dekat, penghibur duka lara, dan kawan dalam bermusyawarah. Kamu adalah orang pertama yang berislam, yang paling ikhlas beriman kepada Allah dan Rasulul-Nya, yang paling baik dalam persahabatan dan paling mulia diantara kaum lainnya. Kamu juga yang paling serupa dengan Rasulullah ketika diam dan gerak. Allah telah angkat derajat namamu, wahai Abu bakar dalam tingkatan yang paling tinggi. Allah berfirman; “ Dan orang yang percaya dengan kenabian Muhammad.


Dalam riwayat Asakir dari al-Ashma’y disebutkan bahwa Abu Bakar jika dipuji beliau berdo’a “Ya Allah Engkau lebih tahu tentang diriku dan saya lebih tahu dari mereka. Ya Allah berikan kebaikan padaku dari apa yang mereka sangkakan. Ampunilah aku dari apa yang mereka tidak tahu dan jangan azab aku dari apa yang mereka katakan.”

Abu Bakar r.a juga yang kelak akan mendahului masuk syurga sebelum orang kebanyakan masuk syurga. Meski demikian pada diri Abu Bakar r.a terdapat rasa takut yang sangat luar biasa kepada Allah. Mari kita simak apa yang terjadi pada diri Abu Bakar r.a

Pernah suatu hari sahabat Nabi ini berkata “Alangkah baik seandainya aku sebatang pohon yang akan ditebang.”

Pernah juga ia berkata. “Alangkah baiknya jika aku sehelai rumput yang akan dimakan oleh hewan ternak.”

Kadang-kadang beliau berkata. “Alangkah baiknya jika aku sehelai rambut di badan seorang mukmin.”

Pada suatu ketika beliau telah memasuki sebuah kebun dan melihat seekor hewan sedang memakan rumput disana. Beliau menarik nafas panjang sambil berkata, “Betapa gembira hidupmu. Kamu makan, kamu minum, kamu ke sana dan ke mari di bawah rindangnya pohon-pohon dan di akhirat nanti tiada penghisaban yang akan kamu terima. Alangkah baiknya kalau Abu Bakar seperti kamu.
pesan-pesan beliau

Abu Bakar r.a. berkata:
Di depanmu ada setan yang mengajakmu tanggalkan iman
jika seseorang di antaramu mengikuti ajakannya maka sirnalah agamanya
Di samping kananmu ada nafsu yang menggiringmu pada perilaku tabu
jika seseorang di antaramu mengikuti arusnya maka sirnalah cahaya kemanusiaannya
Di samping kirimu ada hawa yang membawamu pada perilaku nista
jika seseorang di antaramu menurutinya maka sirnalah akal pikirannya
Di belakangmu ada dunia yang merayumu untuk menguasainya
jika seseorang di antaramu tergiur rayuannya maka sirnalah bagian akhiratnya
Dalam dirimu ada anggota tubuh yang menyeretmu untuk berbuat dosa
jika seseorang di antaramu terbawa alirannya maka sirnalah bagian surganya
Dan di atasmu ada Sang Mahakuasa Yang menuntunmu pada maaf dan surga
 jika seseorang di antaramu mematuhinya maka sirnalah dosa kejahatannya

Abu Bakar r.a. berkata:
Ada lima kegelapan dan lima penerangnya
Kegelapan pertama cinta harta, penerangnya dengan bertakwa
Kegelapan kedua laku maksiat, penerangnya dengan bertobat
Kegelapan ketiga di alam kubur, penerangnya dengan berdzikir
Kegelapan keempat alam akhirat, penerangnya dengan bertaat
Kegelapan kelima jembatan shirath, penerangnya dengan i’tiqad




Kamis, 17 Mei 2012

Imam Ali dan Persatuan Umat Islam

Arus kejahatan telah menguasai dunia Islam. Kebenaran tidak lagi dapat mengibarkan benderanya, tidak ada tangan yang diulurkan untuk melakukan perbaikan, tidak ada suara yang dapat diteriakkan guna menyingkap kejahatan orang-orang zalim. Kemarin, Abu Sufyan melakukan upaya tipu muslihat untuk membunuh Nabi Muhammad Saw agar risalah ilahiah terkuburkan untuk selama-lamanya. Namun semua usaha tersebut tidak diinginkan oleh Allah bahkan Allah berkehendak untuk menyempurnakan cahaya-Nya.

Sekarang, Muawiyah bin Abu Sufyan dengan memanfaatkan penyimpangan yang terjadi semenjak peristiwa Saqifah berusaha menyempurnakan apa yang telah dimulai oleh ayahnya dalam rangka menghancurkan Islam. Potensi kebodohan, kesesatan yang dimilikinya membantunya untuk menyiapkan rencana untuk membunuh hatinya umat Islam, penyambung lidah kebenaran, pembawa bendera Islam dan yang menghidupkan syariat Islam.

Kesesatan yang telah lama menuntun kaki mereka sekali lagi menyeret merek untuk mematikan cahaya hidayah dan melanggengkan kegelapan demi menyiapkan penyelewengan dan kejahatan. Tangan-tangan setan itu kemudian berjabatan tangan dengan Ibnu Muljam di kegelapan malam. Pedang itu menebas kepala seorang yang telah lama membelakangi dunia dan mengarah ke rumah Allah dalam keadaan sujud. Ia kemudian dibiarkan begitu saja.

Sekelompok orang-orang sesat telah berkumpul untuk membunuh Imam Ali bin Abi Thalib, tidak sulit untuk mengatakan bahwa penggeraknya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Kesepakatan mereka adalah membunuh Imam Ali bin Abi Thalib ketika ia pergi melaksanakan salat subuh. Hal itu dikarenakan tidak satu pun dari mereka yang berani berhadap-hadapan dengan singa Allah.

Pada waktu itu malam kesembilan belas dari bulan Ramadhan. Imam Ali bin Abi Thalib banyak melakukan perenungan dengan melihat angkasa. Ia senantiasa mengulang-ulang perkataan, ‘Engkau tidak berbohong dan tidak pernah membohongi orang lain. Malam ini adalah waktu yang engkau janjikan’. Imam Ali bin Abi Thalib menghabiskan malamnya dengan berdoa dan bermunajat kepada Allah swt. Setelah itu beliau keluar dari rumah menuju masjid untuk menunaikan salat subuh. Sesampainya di masjid beliau membangunkan orang-orang yang terbiasa beribadah di situ dan kemudian tertidur. Beliau mengucapkan, ‘Salat… salat…’.

Setelah itu Imam Ali bin Abi Thalib menunaikan salatnya. Ketika beliau tengah asyik bermunajat kepada Allah, tiba-tiba seorang penjahat celaka bernama Abdurrahman bin Muljam dengan bersuara lantang mengucapkan semboyan kelompok Khawarij ‘Hukum adalah milik Allah bukan milikmu’, setelah itu ia mengayunkan pedangnya tepat mengenai kepala Imam Ali bin Abi Thalib yang mengakibatkan kepalanya merengkah akibat bacokan tersebut. Merasakan sabetan pedang di kepalanya Imam Ali bin Abi Thalib langsung mengucapkan kata, ‘Aku menang demi Tuhan pemilik Ka’bah’.

Setelah itu terdengar suara riuh di dalam masjid. Orang-orang cepat berlari menuju Imam Ali bin Abi Thalib. Mereka mendapatkannya terjatuh di mihrabnya. Mereka kemudian membawanya pulang ke rumahnya sambil kepalanya diikat sementara masyarakat dari belakang mengikuti sambil menangis. Orang-orang berhasil menangkap Ibnu Muljam. Imam Ali bin Abi Thalib berwasiat kepada anak tertuanya Hasan dan juga kepada anak-anaknya yang lain serta keluarganya agar berlaku baik dengan tawanan. Ia kemudian berkata, ‘Jiwa dibalas dengan jiwa. Oleh karenanya bila aku mati maka kalian harus mengqisasnya dan bila aku hidup maka aku akan mengambil keputusan sesuai dengan pendapatku’.

Wasiat Imam Ali bin Abi Thalib
Imam Ali bin Abi Thalib menasihati kedua anaknya Hasan dan Husein dan seluruh keluarganya dengan wasiat umum. Ia berkata:

‘Aku berwasiat kepada kalian berdua untuk bertakwa kepada Allah. Jangan kalian mengikuti dunia sekali pun dunia menginginkan kalian. Jangan bersedih terhadap sesuatu yang hilang dari tangan kalian. Berkatalah tentang kebenaran dan beramal untuk mendapat balasan dari Allah. Jadilah penolong untuk orang mazlum dan bersikap keras terhadap orang zalim. Berbuatlah sesuai dengan yang diperintahkan dalam Al-Quran. Serta jangan takut di cemooh oleh orang dalam jalan Allah’.

Luka beliau yang parah tidak memberikan waktu lagi untuknya. Imam Ali bin Abi Thalib telah mendekati ajalnya. Akhir ucapan yang keluar dari bibirnya sebelum ajal menjemputnya adalah firman Allah swt, ‘Seperti ini mestinya orang-orang yang beramal baik mesti berbuat’. Kemudian ruhnya yang suci naik menuju surga yang dijanjikan.

Penguburan dan pidato pujian terhadap Imam Ali bin Abi Thalib Imam Hasan dan Husein yang melakukan segala prosesi penguburan ayah mereka Imam Ali bin Abi Thalib mulai dari mandi, pengkafanan dan pengebumian. Setelah itu Imam Hasan melakukan salat terhadap ayahnya diikuti oleh sejumlah keluarga dan sahabat-sahabat. Setelah selesai melakukan salat kemudian mereka membawanya ke tempat peristiwaannya yang terakhir. Imam Ali bin Abi Thalib dimakamkan di kota Najaf dekat kota Kufah. Semua pelaksanaan selesai pada malam hari.

Setelah proses penguburan selesai, Sha’sha’ah bin Shuhan berdiri kemudian berpidato memuji Imam Ali bin Abi Thalib. Ia berkata:

‘Wahai Abu Al-Hasan! Engkau sekarang lebih baik. Engkau lahir dengan baik, kesabaranmu kuat, jihad dan perjuanganmu sungguh agung, engkau berhasil dengan pandanganmu, engkau untung dalam perdaganganmu. Engkau menemui penciptamu dan Ia menerimamu dengan kabar gembira-Nya serta engkau diapit oleh para malaikat. Engkau sekarang berada di samping Musthafa Saw dan semoga Allah memuliakanmu berada di samping Muhammad Saw. Engkau telah bergabung sama dengan derajat saudaramu Muhammad Saw. Engkau minum dari gelasnya. Sekarang kau memohon kepada Allah agar memberikan kepada kami agar dapat mengikuti jejakmu. Berbuat sesuai dengan perilakumu. Mengikuti orang yang engkau ikuti. Memusuhi orang yang memusuhimu. Semoga Allah mengumpulkan kami dalam golongan orang-orang yang mencintaimu. Engkau telah meraih sesuatu yang belum pernah diraih oleh seorang pun. Engkau telah merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakan oleh seorang pun. Engkau telah berjuang dengan sungguh-sungguh di samping saudaramu Muhammad Saw. Engkau telah menegakkan agama Allah dengan sunguh-sungguh. Engkau telah menegakkan Sunah Nabi dan menekan dengan keras fitnah sehingga Islam dan iman dapat tegak. Aku mengucapkan salawat dan salam yang paling utama dan terbaik buatmu’.

Ia kemudian melanjutkan, ‘Sesungguhnya Allah telah memuliakan derajatmu. Engkau adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah Saw dari sisi keturunan dan yang paling awal memeluk agama Islam. Orang yang paling dalam keyakinan dan yang hatinya paling kuat imannya. Orang yang paling keras berjuang demi agama Islam. Orang yang paling besar sahamnya dalam kebaikan. Oleh karenanya jangan dicegah pahalanya untuk sampai kepada kami dan kami tidak akan rendah sepeninggalmu. Demi Allah! Kehidupanmu adalah kunci dari pintu-pintu kebaikan dan penutup kejelekan dan kejahatan. Hari ini adalah terbukanya pintu kejelekan dan kejahatan serta tertutupnya pintu-pintu kebaikan. Seandainya manusia sebelumnya menerima pandanganmu niscaya mereka akan cukup segala-galanya. Sayangnya mereka lebih memilih mencintai dunia dari pada akhirat’.

Beberapa kalangan memandang bahwa jalan yang mengarah pada persatuan Islam dan kedekatan di antara mazhab-mazhab dapat dicapai hanya dengan melekatkan diri pada persamaan Islami serta menghilangkan perbedaan sektarian dan asal-usul.

Pada bagian berikutnya, tulisan ini akan menyentuh kemunculan sikap berlebih-lebihan (ghuluw), serta pemalsuan, penyusupan, dan distorsi riwayat (hadis). Artikel ini akan membuahkan kesimpulan yang merujuk pada topik utama dari rangkaian tulisan ini dengan catatan bahwa Ahlul Bait telah memancangkan fondasi yang kokoh untuk membangun persatuan [umat Islam]. Kualitas-kualitas umum dari otoritas spiritual semacam itu dalam perdebatan teologis, sosial, politis, dan hukum mereka merupakan bentuk ketulusan moral dan kasih sayang mereka; sebagaimana tujuan mereka untuk selalu menuntun ke arah kebenaran ultim.

Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian artikel yang akan mengulas sikap para Imam Syiah sekaitan dengan persatuan umat Islam. Artikel ini mengawalinya dengan mendefinisikan makna “Persatuan Umat Islam” dan dilanjutkan dengan menjelaskan sejumlah karakteristik persatuan dimaksud; khususnya sebagaimana dijumpai dalam al-Quran dan Sunah. Kemudian, karya tulis ini memaparkan sejumlah metode praktis untuk mencipta persatuan dan mencegah perpecahan, dengan menyuguhkan teladan dari keluarga suci Nabi Saw.

Makna Persatuan Islam
Dalam penggunaannya secara umum, istilah wahdah dan itihad bermakna “persatuan, kebersamaa, solidaritas, konvergensi, kebulatan suara, unifikasi, satu tujuan, komunitas, dan bersepakat terhadap suatu masalah”. Salah satu karakteristik dari gerakan membangun persatuan adalah bahwa ia bekerja di sepanjang alur atau arah yang tunggal dengan maksud mencapai tujuan yang [juga] tunggal. Kedua istilah tersebut -yakni, wahdah dan itihad- dalam pengertian yang telah disebutkan merupakan antonym (lawan kata) dari istilah semacam “keberagaman”, “penyebaran”, “perselisihan”, “perpecah-belahan”, “sektarianisme”, dan “divergensi”. Karena itu, persatuan mengubah perpecahan menjadi solidaritas, divergensi menjadi konvergensi, penyebaran menjadi pengumpulan, dan opini beragam menjadi opini tunggal; serta spesifikasi dari tujuan umum dan telah disepakati demi menentukan jalan yang membawa ke arahnya.

Seseorang dihadapkan dengan berbagai jalan dan kemungkinan seraya berupaya menggambarkan sebuah model yang dapat diperankan bagi persatuan Islam. Alasannya adalah bahwa kalangan ulama dan reformis modern, serta para pengikutnya dari berbagai mazhab dan teologi keislaman cenderung mengusung pandangan khasnya masing-masing sekaitan dengan konsep ini. Sebagai contoh, banyak ulama pada hari ini yang menganggap persatuan Islam pada satu atau lebih dimensi sosio-politisnya sebagai sebentuk persatuan yang saling menguntungkan satu sama lain. Sebagian lain menekankan pentingnya komunalitas (persamaan) Islami dan mengoreksi kesalahpahaman religius, dan ini disebut dengan “menciptakan kebersamaan di antara mazhab-mazhab pemikiran” (taqrib madhahib), atau dalam istilah yang lebih tepat “menciptakan kebersamaan di antara para pengikut mazhab-mazhab tersebut”.

Pada kenyataannya, jenis persatuan yang benar dan diharapkan adalah yang menerapkan keduanya, baik dimensi sosio-politisnya maupun ideologi keagamaannya. Ini merupakan sebentuk persatuan abadi yang dibangun di atas fondasi yang kokoh berupa pendekatan keimanan dari berbagai mazhab—ini merupakan pendekatan fondasional antara prinsip-prinsip dan pilar-pilar dari mazhab-mazhab tersebut dan bukan sekadar kedangkalan yang melahirkan kebersamaan di antara segelintir ulama dari beberapa mazhab.

Beberapa kalangan memandang bahwa jalan yang mengarah pada persatuan Islam dan kedekatan di antara mazhab-mazhab dapat dicapai hanya dengan melekatkan diri pada persamaan Islami serta menghilangkan perbedaan sektarian dan asal-usul. Sebagian lain berbicara tentang konvergensi mazhab-mazhab atau memilih salah satunya [sebagai titik peleburan]. Namun, sebagian lain menyatakan bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai persatuan adalah dengan kembali ke masa khulafa rasyidin dan para penerusnya (kaum salaf) seraya menghidupkan kembali gaya hidup mereka. Adapun sebagian kelompok lainnya mengungkapkan pandangannya, bahwa Islam semestinya menghapus seluruh mazhab pemikiran tersebut, termasuk pihak-pihak yang berupaya membangun persatuan dengan cara menggiring selainnya memeluk mazhabnya.[1]

Masing-masing ulama tersebut, terlepas dari simpati yang mereka miliki terhadap komunitas Islam sebagai suatu keseluruhan, bersandar pada pandangan religius dan politis yang [hanya] berlaku dalam mazhab pemikiran mereka sendiri. Ini dengan sendirinya menjadi bukti tak terbantah bahwa pandangan-pandangan mereka berikutnya bukan hanya mustahil, melainkan bahkan senyatanya kian mempertajam perbedaan. Setiap mazhab pemikiran Islam berdiri tegak di atas serangkaian prinsip dan derivat keyakinannya (ijtihad); hal yang sama juga berlaku pada setiap ulama fikih atau teologi, dan keinginan untuk mempertahankan mazhabnya, tentu saja, merupakan sesuatu yang sangat wajar. Bagaimana pun, campur tangan dari elemen-elemen sektarian tertentu serta melibatkan mereka dalam perbincangan seputar persatuan tidak akan membawa kita ke mana-mana—semua itu hanya menghasilkan definisi yang keliru mengenai persatuan serta dukungan yang tidak layak ke arahnya.

Bentuk persatuan Islam yang efektif dan benar-benar diharapkan adalah yang menekankan pentingnya manfaat dan tujuan pendekatan antar keyakinan religius dan yang berasal dari kalangan yang memiliki banyak kesamaan ketimbang perbedaan mazhab. Kaum Muslim, misalnya, mengimani Tuhan yang Maha Esa, mengakui utusan-Nya, dan mengusung Kitab samawi yang sama, yang disebut dengan al-Quran. Tujuan utama mereka adalah keberhasilan hidup di dunia dan akhirat, juga kedekatan dengan Allah Swt.

Dengan mengikuti metode yang lebih sesuai dan lebih intelek -yang mengakar di jalan Ahlul Bait dan dibangun di atas sumber-sumber keagamaan yang kongkrit- harapan persatuan niscaya dapat diwujudkan. Karakteristik dari persatuan semacam itu mencakup hal-hal berikut:

1. Persatuan Islam yang didambakan menegaskan bahwa kaum Muslim, terlepas dari ragam ideologi politik, fikih, dan teologisnya, merupakan umat yang satu. Elemen-elemen mendasar dari umat semacam ini adalah penerimaan terhadap prinsip-prinsip umum seperti keesaan Allah Swt, kenabian, kebangkitan, serta keyakinan dan komitmen terhadap rangkaian hukum dan praktik keagamaan yang diakui seluruh Muslim. Berkat penerimaan terhadap prinsip-prinsip tersebut, tak satu pun perbedaan-perbedaan sepele serta ragam pandangan fikih, teologis, dan sejarah yang mampu mengancam kesatuan umat.

Kalangan yang menyimpang dan para pelaku bidah, seperti kaum ghulat (ekstrimis) dan nawashib (musuh-musuh Ahlul Bait) -dengan menyertakan sikap cermat terhadap makna dan contoh dari kedua kelompok tersebut- senantiasa ditolak oleh masyarakat Islam. Mereka telah dipandang keluar dari lingkaran Islam oleh kedua mazhab utama (Sunni dan Syiah) serta dipisahkan dari kaum Muslim lainnya. Karena itu, mazhab pemikiran Islam diperbolehkan untuk melindungi dan membela keunikan mazhab mereka -tentunya, ini hanya jika masing-masing memiliki keunikan legitimate yang dapat dipertahankan dengan keyakinan qurani yang kokoh, yang merupakan bagian dari persamaan-persamaan dan prinsip-prinsip pemikiran Islam yang definitif. Kalangan pendamba persatuan yang sebenarnya harus menarik garis antara elemen-elemen fondasional religius dan kualitas-kualitas kemazhaban, tanpa menghiraukan seberapa kuatnya semua itu dapat dipertahankan. Kekhasan teologis dan yurisprudensial yang unik dari mazhab pemikiran mereka, bahkan jika semua itu menyebabkan kesempurnaan, perluasan, dan peningkatan pemahaman, serta kedekatan terhadap kebenaran, seyogianya tidak dimasukkan dalam prinsip-prinsip agama yang definitif. Ini hanya dikhususkan pada kasus keimanan yang tidak terlalu penting, seperti keabadian al-Quran atau kontroversi sejarah lainnya, termasuk isu-isu seputar takdir, keadilan, dan kekudusan. Mereka yang memfokuskan dirinya pada isu-isu minor tersebut dan saling menolak satu sama lain atau menuduh satu sama lain sebagai kafir agaknya tidak mempertimbangkan apakah mereka sendiri adil atau suci.

2. Persatuan Islam meniscayakan bahwa perdebatan intelektual dengan mazhab pemikiran lain harus mengacu pada tolok ukur perdebatan yang etis, sikap toleran, dan nilai-nilai moral. Masing-masing mazhab, seraya tetap bersikukuh dengan keyakinannya, harus memperlakukan dan berbicara dengan selainnya secara santun. Dalam persatuan semacam itu, alih-alih mencap pihak lain sebagai korup, salah paham terhadap pandangan selainnya, saling menghina satu sama lain, dan meributkan detail masalah-masalah minor, justru yang terjadi adalah [muncul dan menguatnya] sikap menghargai pandangan [pihak lain], menghormati perasaan dan agama, serta kemauan untuk memaafkan selainnya. Tidak ada celah untuk melukai perasaan atau kepercayaan religius seseorang; dan tidak ada celah untuk melemahkan mazhab religius tertentu dalam upaya untuk memaksa para pengikutnya berpindah mazhab -semuanya atas nama mencapai persatuan Islam.

3. Tipe persatuan umat Islam yang sesungguhnya dan benar-benar didamba adalah yang berdasarkan pada sumber-sumber dan prinsip-prinsip religius. Ini seyogianya dipandang sebagai kewajiban agama yang mengakar dalam keinginan individu. Persatuan bersyarat -yakni, persatuan sementara yang menekankan kebutuhan-kebutuhan dalam rentang waktu tertentu atau [dikarenakan] ancaman yang ada atau masih bersifat potensial (yang juga dapat disebut dengan ‘persatuan taktis’ atau ‘persatuan politis’)- hanya akan menempatkan api dalam sekam. Sekalipun individu-individu dari sebuah kelompok tertentu -yang dipandang “musyrik”, “murtad”, “kafir”, “penghuni neraka”, “lebih najis dari anjing”- ditolerir dalam jangka waktu tertentu dikarenakan adanya sejumlah manfaat yang bersyarat, dukungan mereka tetap tidak akan dapat diperoleh. Sebaliknya, mengingat kemunafikan inheren dalam bentuk persatuan ini, kebencian terhadap kelompok lain akan semakin meningkat. Apa yang dibutuhkan adalah sebuah persatuan yang kuat dan permanen, yang ketika para ulama dari pelbagai mazhab Islam secara resmi mengakui pihak lain berada dalam lingkaran Islam -terlepas dari perbedaan-perbedaan dalam tingkatan-tingkatan mereka- sebagai “Muslim”, “mukmin”, dan “kalangan yang selamat”. Mereka jangan sampai memandang bahwa merekalah satu-satunya kalangan yang beriman dan bahwa versi sejarah dan ideologi yang mereka anut menjadi tolok ukur yang memisahkan antara keimanan dan kekafiran. Resistensi dan perbedaan di antara mazhab-mazhab Islam tidak selamanya, dan memang tidak, sebanding dengan resistensi dan perbedaan agama dan aturan-aturan praktis. Terbuka kemungkinan secara intelektual untuk bekerjasama dengan selainnya, menyeru mereka pada kebajikan, serta mencegah mereka dari kemungkaran.

4. Dalam persatuan Islam yang didamba-dambakan, kaum beriman dari suatu kelompok seyogianya tidak sampai menyebabkan pihak tertentu menganggap mereka berpura-pura, bersikap jahat, atau tidak dapat diterima. Tolong camkan persoalan penting ini, bahwa kalangan yang meyakini dirinya mampu melihat Allah Swt pada Hari Pembalasan tidak mesti digolongkan ke dalam mazhab Mujassamah (korporealis) atau Mushabbah (antromorfis). Mereka yang meyakini quiditas dari esensi dan sifat Ilahi tidak mesti digolongkan ke dalam mazhab Mu’aththilah (kalangan yang menolak mengimani Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan). Kalangan yang menolak karakter esensial kebajikan dan keburukan tidak sampai menganggap Allah Swt sebagai sosok sewenang-wenang. Demikian pula, tidaklah adil untuk menyatakan bahwa seseorang yang mengungkapkan perasaan cintanya terhadap keluarga Nabi Saw dengan cara mencium dan menunjukkan penghormatan terhadap makam suci mereka atau yang mengecam keras dan menjauhi musuh-musuhnya, adalah musyrik dan halal dibunuh.

5. Para pendamba persatuan (dan bukan semata-mata persatuan yang superfisial) tidak pernah menghentikan upaya mereka sekaitan dengan pelbagai marabahaya dan kesulitan yang terdapat dan terjadi di tengah masyarakat Islam. Mereka tak kunjung menyurutkan langkah sekaitan dengan keragaman pandangan teologis dan fikih. Sebaliknya, mereka memfokuskan diri pada jenis-jenis opini, konfrontasi, kesalahpahaman, dan baru-baru ini, hasutan untuk merangsang sensitifitas religius. Menurut Syahid Muthahhari ra, ancaman terhadap kaum Muslim yang berasal dari kesalahpahaman yang tidak masuk akal di antara kedua belah pihak jauh lebih berbahaya ketimbang yang berasal dari perbedaan-perbedaan religius yang bersifat aktual. Perbedaan-perbedaan religius di antara kaum Muslim bukanlah faktor yang menghambat persatuan; bukan pula faktor yang mengendala terbangunnya persaudaraan di bawah spirit qurani “orang-orang beriman sungguh bersaudara.” (QS. al-Hujurat [49]: 10) Tuhan yang disembah mereka semua adalah esa dan mereka semua menegaskan hal itu: “Tiada Tuhan selain Allah.” Mereka semua mengimani kenabian Muhammad Saw dan bahwa rantai kenabian berakhir bersamanya. Mereka semua meyakini bahwa agamanya adalah agama terakhir. Mereka semua menjadikan al-Quran sebagai kitab samawinya, membacanya, dan menganggapnya sebagai konstitusinya. Mereka mengerjakan shalat dengan menghadap kiblat yang sama dan mengumandangkan azan. Setiap tahun, mereka semua berpuasa dalam satu bulan tertentu, bulan Ramadhan. Mereka merayakan hari Idul Fitri dan Idul Adha. Mereka melaksanakan ibadah haji dengan cara yang sama serta berkumpul bersama di Rumah Allah. Mereka mencintai dan menyanjung keluarga Nabi Saw. Semua itu sudah cukup untuk menciptakan jalinan kalbu di antara mereka dan mengobarkan rasa persaudaraan Islam dalam diri mereka.

Karenanya, lakukanlah upaya untuk mencegah kemungkinan munculnya kesalahpahaman. Lakukanlah upaya untuk mencegah persepsi-persepsi keliru…. Lakukanlah upaya pencegahan terhadap seluruh faktor yang hanya akan memperburuk hubungan di antara kaum Muslim.[2]

Karena itu, kita harus menahan diri dari mengungkit-ungkit masa lalu yang pahit seraya pada saat yang sama, mencegah tersebarluasnya momen-momen kemunduran tersebut. Sebaliknya, kita harus fokus pada pada titik-titik kekuatan dan ranah budaya Islam yang penuh semangat. Imam Khomeini dengan tegas menyatakan:

“Kaum Muslim diwajibkan untuk memperlakukan satu sama lain dengan rasa hormat dan persahabatan; mereka harus memiliki perasaan cinta terhadap satu sama lain sebagaimana saudara kandungnya sendiri. Jelas sudah bahwasanya cinta dan hasrat meningkatkan sentimen-sentimen tersebut. Adapun yang menghancurkan ikatan persaudaraan dan menyebabkan perpecahan suatu kelompok sangat dibenci Sang Pembuat Hukum dan bertentangan dengan hikmah-Nya yang Maha Agung. Dipahami betul bahwa jika dosa paling besar menjadi lazim dalam kehidupan suatu kelompok, niscaya akan tercipta kebencian, kedengkian, perpecahan, dan permusuhan; ia akan menjadi akar korupsi di tengah komunitas. Pohon kemunafikan akan tercipta dan persatuan masyarakat akan tercabik-cabik; fondasi-fondasi agama akan runtuh seiring meningkatnya korupsi dan kesesatan.”[3]

Al-Quran dan Persatuan Islam
Analisis mendetail terhadap apa yang dinyatakan al-Quran mengenai persatuan Islam -seperti menyebutkan faktor-faktor, sumber-sumber, dan metode-metode persatuan serta pentingnya menahan diri dari membesar-besarkan perbedaan- berada di luar cakupan karya tulis ini serta melampaui kemampuan penulisnya. Jelas bahwa mengenal dan mengetengahkan isu penting semacam itu selayaknya menuntut pemahaman yang utuh seputar konsep yang dikemukakan dalam masing-masing ayat yang menyinggung subjek persoalan ini berikut konteks ayat-ayat tersebut diwahyukan. Lebih penting lagi, kita niscaya membutuhkan keistimewaan untuk memperoleh semangat al-Quran yang mendidik.

Pada saat yang sama, bagaimana pun, pintu-pintu penelitian seyogianya ditutup rapat sekaitan dengan keterbatasan ini, khususnya dikarenakan para Imam memandang al-Quran sebagai poros persatuan paling penting, prinsip-prinsip yang digali dari teks-teks suci ini. Karena itu, sekaitan dengannya, upaya pada tingkat yang paling mungkin mesti dilakukan guna mengetengahkan prinsip-prinsip dari sudut pandang Islam. Semua itu terbagi dalam dua kategori.

A. Menyerukan Persatuan dan Mencegah Perpecahan
Kendati berdasarkan perbandingan secara umum, dapat diklaim bahwa tak satu pun mazhab pemikiran atau agama yang menyerukan persatuan, kerjasama, dan cara-cara mewujudkannya, juga tidak menahan diri dari perbedaan, perpecahan, dan hasil negatif dari semua itu, yang lebih dari Islam. Sangat penting dicamkan kata-kata berikut, “Islam dibangun di atas dua basis; penyembahan terhadap Tuhan yag Maha Esa dan persatuan.” Bangunan persatuan dalam kebudayaan Islam sedemikian tinggi yang beberapa pernyataan seputar kebutuhan terhadapnya disokong oleh al-Quran, kehendak Ilahi yang bersifat umum berikut segenap konsekuensinya.[4] Al-Quran memuji umat Islam sebagai umat yang satu[5] dan yang ditegakkan figur-figur luar biasa yang berperan sebagai suri-teladan umat manusia, yang berkumpul bersama di bawah panji keimanan terhadap Allah Swt.[6] Lebih jauh lagi, seluruh umat manusia, dengan seluruh perbedaan yang ada, dipandang memiliki prinsip umum yang satu. Al-Quran, sebagai tambahan untuk memerintahkan orang-orang untuk menjalin persaudaraan, persatuan, dan kerjasama dalam kebajikan dan ketakwaan, menganggap konsep-konsep tersebut sebagai rahmat yang dianugerahkan kepada umat Islam di masa Rasulullah Saw sekaitan dengan penerimaan mereka terhadap Islam dan kenabiannya.[7] Penegasan dan penekanan al-Quran terhadap persatuan religius dan masyarakat Islam tercatat dalam ungkapan-ungkapan berikut: “berpegang teguh”, “memperbaiki hubungan di antara kalian”, “bekerjasama”, “berdamai”, “memperbarui”, “mendamaikan hubungan di antara kalian”, “[celupan] warna Ilahi”, “cinta”, dan “persaudaraan”.

Demikia pula, al-Quran meletakkan di baris terdepan ajarannya cara mencegah permusuhan, kedengkian, dan kebencian di antara individu dan kelompok, juga penolakan terhadap permusuhan, kontroversi, dan kemunafikan intelektual. Di samping berasal dari al-Quran, persoalan penting ini juga dibahas secara serius dalam riwayat-riwayat keislaman yang akan dikemukakan dalam pembahasan berikutnya.[8] Al-Quran sebagai sumber Islam paling otoritatif, memandang perpecahan dan perselisihan di tengah masyarakat sebagai “langkah-langkah setan” dan faktor utama di balik kehancuran.[9] Perpecahan kaum Muslim menjadi kelompok-kelompok terpisah ditempatkan bersamaan dengan hukuman Ilahi; akibat-akibat yang ditimbulkannya berupa kegetiran perang dan kesulitan.[10]

Al-Quran memandang permusuhan dan kebencian sebagai sikap tidak bersyukur kepada Allah Swt; ia memperhitungkan semua itu sebagai dosa dan perbuatan durhaka. Ia menegaskan bahwa semua itu merupakan perbuatan setan dan karenanya melarang keras kedurhakaan dan permusuhan. Upaya menghilangkan permusuhan ini telah dinyatakan sebagai salah satu tugas penting kenabian. Dalam pandangan kitab samawi yang suci ini, salah satu faktor utama di balik kebinasaan bangsa-bangsa terdahulu adalah perpecahan dan perselisihan di tengah masyarakatnya. Faktor terpenting dari perpecahan di tengah masyarakat adalah perbedaan-perbedaan yang berhubungan dengan agama. Perselisihan dan perpecahan hanya mengakibatkan stagnasi, keterpisahan, dan kerapuhan fondasi kehidupan sosial.[11]

Al-quran mengajarkan kita -melalui ayat-ayatnya yang menekankan pemikiran dan perenungan mendalam seputar agama, serta melalui ayat-ayatnya yang memerintahkan kita mempertimbangkan berbagai pandangan untuk kemudian memilih yang terbaik di antaranya- bahwa kita harus menahan diri dari argumen-argumen yang tidak bermanfaat dan dari argumen-argumen yang menggiring pada permusuhan. Menariknya, seraya menyerukan kasih sayang sosial dan pengurangan perdebatan dan perpecahan sosial, al-Quran memerintakan kaum Muslim untuk menahan diri dari mempersengit perdebatan intelektual dengan kalangan Ahlul Kitab. Ia menegaskan untuk menyerahkan masalah mencari kebenaran kepada Allah Swt dan Hari Pembalasan.[12] Dalam seruan yang dialamatkan kepada Ahlul Kitab, disampaikan sebuah ajakan kepada prinsip-prinsip umum dan bersama-sama menghadapi kaum musyrik dan orang-orang kafir.[13] Seraya memberikan perhatian terhadap pentingnya persatuan dan persaudaraan serta sikap tegas al-Quran dalam melarang kaum Muslim mempersengit perdebatan, menyulut perpecahan, terbagi ke dalam kelompok-kelompok, dan menempuh jalan yang berbeda,[14] dasar-dasar perbedaan dan perpecahan dapat dijejaki pada sejumlah sifat buruk tertentu yang bersifat etis-moral, seperti sikap curiga, fitnah, mencari-cari kesalahan, memata-matai kaum yang beriman, tuduhan, penistaan, tutur kata melecehkan, ejekan, egosentrisme, arogansi (kecongkakan), kebencian, dan memutus tali silaturahmi.[15]

Dengan meneliti pelbagai ayat dan riwayat yang berkenaan dengannya, dapat dinyatakan secara umum bahwa tujuan penting yang ingin diraih al-Quran adalah mempersatukan umat di mana debat kusir, perpecahan, peperangan, dan pertumpahan darah tidak akan pernah terjadi. Orang-orang akan berkumpul dalam suasana yang akrab, penuh kerjasama, persaudaraan, cinta, dan keadilan. Sepanjang artikel ini, kita akan mengetengahkan sekitar 50 ayat yang berhubungan dengan persatuan dan metode untuk mencapainya, termasuk perpecahan berikut faktor-faktor yang melatar-belakanginya. Berikut adalah sejumlah contoh dari ayat yang dimaksud:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran [3]: 103)

Dalam ayat ini, sebagai tambahan dalam mengenalkan poros persatuan sebagai rahmat ilahi, Allah Swt melarang kita dari berpecah belah. Di tempat lain, Dia membenci perbedaan dan perpecahan yang menjadi metode [pergaulan sosial] kaum terdahulu:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيم

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imran [3]: 105)

أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيه

وَمَا تَفَرَّقُوا إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُم

… Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya… dan mereka (ahli Kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka…. (QS. asy-Syura [42]: 13-14)

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون

Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. al-An’am [6]: 153)

مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُون

Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. ar-Rum [30]: 32)

Dalam al-Quran, Allah Swt memandang perpecahan bertolak belakang dengan gaya hidup profetik (kenabian) dan Sunah. Dia memfirmankan dalam al-Quran al-Karim:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُون

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (QS. al-An’am [6]: 159)

Kaum Muslim dilarang terlibat dalam debat kusir. Akibat dari debat kusir disebutkan dalam al-Quran lewat pernyataannya:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِين

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. al-Anfal [8]: 46)

Sebagaimana terlihat, makna eksplisit dari ayat-ayat tersebut menunjukkan larangan untuk berdebat kusir, mempertajam perbedaan, dan berpecah belah dalam agama. Perintah telah diberikan untuk berpegang teguh pada Tali Allah dan perpecahan digambarkan sebagai kebiasaan kaum musyrik dan kalangan yang telah binasa. Kutukan terhadap kaum musyrik dalam beberapa ayat tersebut bukan dikarenakan kemusyrikan mereka, melainkan dikarenakan perbedaan antara ucapan dan perbuatan mereka yang memecah belah agama.[16]

B. Metode Menciptakan Persatuan dan Mencegah Perpecahan
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa semangat umum dari ajaran sosial Islam adalah sebagai berikut: melarang peperangan, permusuhan, perselisihan, membentuk kelompok-kelompok, memecah belah masyarakat yang beriman, rasisme, bersikap curiga terhadap individu maupun kelompok. Dasar-dasar positif dari ajaran sosial Islam adalah persatuan, kerjasama, saling mencintai, berbuat kebajikan antara satu sama lain. Berkenaan dengan perintah dan seruan Islam untuk berperang, dapat dijelaskan bahwa itu dimaksudkan untuk mencegah bencana sosial serta melindungi hak-hak spiritual dan material masyarakat. Barangkali muncul pertanyaan, bagaimana pun, tidakkah cakupan perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut meliputi pula tingkat-tingkat yang berbeda dari pandangan dan pemahaman yang beragam di ranah teologi, fikih dan politik yang telah mengakibatkan terbentuknya mazhab-mazhab pemikiran Islam? Pasalnya, semua itu kiranya mampu mencegah peperangan, debat kusir, dan perselisihan yang tidak bermanfaat, serta mendorong ke arah cinta, kesucian, persaudaraan, dan kerjasama dalam pengertian positif. Namun, apakah aturan-aturan agama menyerukan pula penyeragaman pandangan dan keimanan?

Menjawab pertanyaan ini secara positif akan membawa kita berhadap-hadapan dengan serangkaian pertanyaan lain dan berupaya menjawabnya. Sebagai contoh, mengajak seseorang untuk memikirkan dan merenungkan secara mendalam ihwal agama yang menyatakan secara implisit bahwa berbagai pandangan dan pemahaman secara tak terelakkan bakal terbentuk. Dapatkah dikatakan bahwa Islam memerintahkan sesuatu namun menolak menanggung akibat-akibat alamiahnya dan pada kenyataannya bahkan melarangnya? Jelas terbukti bahwa kita tidak dapat meminta seseorang untuk berpikir mengenai sesuatu dan kemudian melarangnya untuk mengungkapkan kesimpulannya yang berkenaan dengannya.Tentu saja, terdapat kriteria yang diterapkan pada proses menalar. Namun, sekalipun jika dua individu menggunakan kriteria yang sama dalam menalar, tak ada jaminan bahwa kesimpulan-kesimpulan yang mereka hasilkan juga bakal sama.

Perbedaan di antara potensi kognitif seseorang serta kemampuannya untuk memahami dan berintuisi merupakan keniscayaan yang tak dapat disangkal. Pada kenyataannya, sejumlah komentator al-Quran pernah menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk membuktikan bahwa keragaman sudut pandang merupakan hikmah penciptaan.[17] Pada gilirannya, perbedaan-perbedaan tersebut menghasilkan pemahaman intelektual yang beragam, yang dibutuhkan untuk menciptakan keyakinan dan pandangan yang bervariasi. Kebutuhan tersebut hanya dapat dihilangkan jika sumber keragaman dan perbedaan itu dihilangkan. Terbukti dengan sendirinya bahwa penghilangan sumber tersebut adalah mustahil; lantas, bagaimana perbedaan-perbedaan tersebut dapat diatasi tanpa menghilangkan sumbernya?

Karena itu, perbedaan pandangan dan sudut pandang di antara berbagai mazhab teologi, politik dan fikih dalam Islam tidak dapat dihakimi tanpa membedakan kasus-kasusnya dan memahami motif-motifnya.[18] Namun demikian, karakteristik-karakteristik dari perbedaan-perbedaan yang tidak diharapkan harus dibedakan secara kontras dengan perbedaan-perbedaan tersebut berdasarkan sejumlah kriteria tertentu. Dalam budaya qurani dan aturan praktis Islam, ihwal yang dipandang lebih penting ketimbang apapun adalah mengobservasi batas-batas, mengungkapkan criteria-kriteria praktis dan teoretis, serta mengemukakan metode-metode untuk mengklarifikasi perbedaan; bukan mengenyahkan sumber-sumbernya. Artikel ini akan mencukupkan dirinya dengan mengemukakan dua kasus penting yang berkenaan dengannya:

1. Perpecahan: Akibat Mencari Kebenaran atau Pembangkangan
Perbedaan-perbedaan dan perpecahan-perpecahan yang bukan berasal dari renungan terhadap persoalan-persoalan keagamaan dan mencari kebenaran, melainkan dari faktor-faktor politik, sosial, dan pribadi—seperti kecintaan, kebencian, atau kecongkakan individu atau kelompok terhadap selainnya—bukan hanya ditolak, melainkan juga mutlak dilarang. Dari sejumlah ayat al-Quran yang terkait, jelas kiranya bahwa beberapa perbedaan dan perpecahan yang tidak diinginkan berasal dari pembangkangan, kedengkian, dan kesombongan orang-orang yang menyebabkan perpecahan. Salah satu faktor yang paling penting di balik peperangan dan pertumpahan darah di tengah masyarakat manusia adalah keinginan untuk berkuasa dan pandangan tentangnya yang diusung sejumlah kelompok. Dalam kategori ayat-ayat al-Quran yang menyinggung masalah perbedaan dan perpecahan, serangkaian ayat al-Quran menyebutkan tentang bagaimana sejumlah pihak terpecah belah setelah datangnya pengetahuan kepada mereka dan kebenaran menjadi jelas bagi mereka. Al-Quran melarang kaum beriman dari perpecahan semacam itu dan menyatakannya dalam sejumlah ayat:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka…. (QS. Ali Imran [3]: 105)

أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيه

وَمَا تَفَرَّقُوا إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُم

… Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya… dan mereka tidak berpecah belah (ke dalam mazhab-mazhab), kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka…. (QS. asy-Syura [42]: 13-14)

Dalam kesempatan ini, Allah Swt menyatakan bahwa sejumlah bangsa tidak berpecah belah hingga setelah mereka mendapatkan pengetahuan. Dalam ungkapan yang lain, mereka secara sadar dan sengaja berpecah belah, dan ini tidak akan terjadi kecuali dikarenakan adanya elemen-elemen pembangkangan yang mereka perlihatkan satu sama lain. Motif dan semangat yang sama ini juga disebutkan al-Quran dalam kasus-kasus lain.[19] Saat menarasikan perbedaan-perbedaan dan perpecahan-perpecahan tersebut -yang acapkali diatributkan pada bani Israil, khususnya pada kalangan pembesar agamanya- tidak terdapat sebutan yang dikemukakan bahwa mereka mencari kebenaran atau berkeinginan untuk memahaminya, atau sekaitan dengannya, apakah dengannya (perbedaan dan perpecahan) mereka benar-benar menemukan aspek realitas tertentu atau tidak. Alasan di balik semua ini adalah bahwa realitas dari situasi yang ada sudah serba-jelas bagi mereka -setelah pengetahuan datang kepada mereka. Karena itu, dalam terminologi al-Quran, motif di balik perpecahan mereka adalah pembangkangan (pelanggaran, penindasan, atau kedengkian) kalangan pembesar agama mereka. Untuk alasan ini, Allamah Thabathaba’i mengatakan, “Dalam al-Quran, Allah Swt tidak mengutuk perpecahan atau perbedaan kecuali semua itu diiringi hasrat jasmaniah dan bertentangan dengan tuntunan rasional.”[20]

Dalam pelbagai kasus, terlepas dari fakta bahwa al-Quran menegaskan bahwa seseorang tidak akan dikenai hukuman atas kesalahan-kesalahannya dan apa yang telah perbuat jika itu disebabkan kelalaiannya, perhatian yang jauh lebih banyak diarahkan pada kalangan yang menyebabkan perpecahan secara sengaja (ta’ammud) dan yang bersumber dari pembangkangan (bagha). Tindakan-tindakan semacam itu tidak dapat ditoleransi di dunia ini dan akan membuahkan serangkaian akibat yang mengerikan di masa mendatang. Al-Quran membolehkan kita untuk memerangi mereka yang terus menerus memecah belah dan membeda-bedakan serta orang-orang yang berbuat demikian dikarenakan kedurhakaan dan pembangkangan [terhadap kebenaran]. Firman Allah Swt:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah…. (QS. al-Hujurat [49]: 9)

2. Berpegang Teguh pada al-Quran dan Sunah
Merupakan sesuatu yang alamiah jika dalam mencegah perpecahan serta berupaya menciptakan masyarakat yang sama dan sebangun, suatu mazhab pemikiran juga akan mengemukakan metode untuk mencapainya. Karena itu, Allah Swt memperkenalkan dua poros prinsip yang kebal dari serangan: al-Quran dan Sunah. Dia menggambarkan semua itu sebagai fondasi persatuan religius, sarana untuk menuntun umat Islam menempuh jalan yang lurus, dan cara paling efektif untuk menghilangkan atau mengurangi perbedaan-perbedaan dan perpecahan sosial maupun teologis. Al-Quran senantiasa berkorelasi dengan kepatuhan terhadap Allah Swt berikut utusan-Nya. Metode mengatasi perselisihan yang dikemukakan al-Quran adalah berpegang teguh kepada Allah Swt dan Nabi-Nya Saw. Berikut adalah ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengannya:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون

Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. al-An’am [6]: 153)

Menurut ayat ini, “jalan yang lurus” adalah jalan di mana tidak terdapat perpecahan. Jika seseorang atau kelompok menempuh jalan perpecahan dan pemisahan, yang menjauhkannya dari jalan wahyu yang tidak terdapat perbedaan, maka dia berarti telah melangkah keluar dari “jalan yang lurus”. Makna yang nyata dari ayat tersebut menyataka bahwa “jalan yang lurus” adalah jalan Nabi Islam Saw. Di tempat lain, al-Quran memandang “jalan yang lurus” sebagai jalan para nabi, syuhada, orang-orang saleh, dan shiddiqin.[21] Menarik untuk dicatat bahwa dalam ayat yang telah dikemukakan sebelumnya, al-Quran pertama-tama menyebut “jalan yang lurus” dan kebutuhan untuk menempuhnya sebagai prasyarat untuk menghindari terjadinya perpecahan ke dalam beberapa kelompok yang berbeda.[22]

وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيم

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus…. dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…. (QS. Ali Imran [3]: 101 dan 103)

Allamah Thabathaba’i menulis sekaitan dengannya:

“‘Berpegang teguh kepada tali Allah’ adalah memegang teguh ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya (yakni, al-Quran dan Sunah), di mana tuntunan telah dijamin. Berpegang teguh kepada Rasul-Nya adalah, senyatanya, memegang teguh al-Quran; keduanya berasal dari sumber yang satu. Alasannya adalah bahwa dalam al-Quran, Allah memerintahkan kita untuk menaati Nabi Saw. Secara fundamental, menaati Allah tidak dapat dicapai kecuali melalui Rasul-Nya.”[23]

Tali (habl) Allah Swt adalah al-Quran yang diwahyukan-Nya. Ayat-ayat al-Quran tersebut, ibarat tali atau tambang, terikat dan terhubung dengan Allah Swt.[24]

Rasulullah dan Persatuan Islam
Dengan membaca sekilas ajaran-ajaran Nabi Islam Saw dalam bidang teologi dan praktik-praktiknya, akan menjadi jelas bahwa tegaknya umat Islam dibangun di atas persatuan. Tindakan-tindakan dan tujuan kaum beriman—bahkan termasuk sikap murah hati terhadap non-Muslim—terdiri dari substansi dan hasil dari sekumpulan ajaran dan praktik Nabi Saw. Dalam kesempatan ini, kami akan menyuguhkan beberapa ungkapan dan tindakan Nabi Saw yang benar-benar mengharapkan dan jelas-jelas menyebutkan keharusan tegaknya persatuan Islam.

A. Seruan Umum terhadap Solidaritas
Banyak contoh seputar ucapan Nabi Saw mengenai persatuan sosial, pemahaman bersama, dan persaudaraan dalam keimanan di satu sisi, serta larangan berpecah belah di sisi lain. Beliau juga berbicara mengenai sumber-sumber, faktor-faktor, dan dasar-dasar persatuan maupun perpecahan.

Secara esensial, gagasan tentang akhlak yang mulia (makarim al-akhlaq) -yang dalam ungkapan Nabi Saw sendiri merupakan hikmah dari diutusnya beliau oleh Allah Swt- tak lain dari menciptakan masyarakat yang berdasarkan pada persaudaraan, bahasa bersama, sikap saling mencintai, memaafkan, kesucian, kedermawanan, optimisme, keadilan, kasih sayang, dan kesantunan; itu juga bermakna menjauhi peperangan, saling mencela, pesimisme, fitnah, rasisme, tuduhan palsu terhadap kaum Muslim, serta perlakuan tidak etis lainnya. Nasihat etis Nabi Saw dipenuhi frase seperti saling mencintai, saling menolong, konfrontasi positif, ketakwaan, perdamaian, musyawarah, dan sikap memaafkan. Tentu saja menyajikan daftar dari kasus-kasus tersebut berada di luar cakupan dari artikel ini. Karena itu, kiranya sudah mencukupi jika disebutkan beberapa di antaranya:

Nabi Saw menyabdakan bahwa persatuan umat Islam menyebabkan kebaikan dan rahmat, sementara perpecahan merupakan faktor di balik kebinasaan dan siksa. Beliau bersabda, “Berkumpul bersama (bersatu) itu kebaikan (sebuah rahmat) sedangkan perpecahan adalah siksa.”[25] Dalam pandangan Nabi Saw, berkumpul bersama bersifat positif, dan semakin suatu komunitas berkumpul bersama, maka semakin baik.[26] Imbauan Nabi Saw yang terus menerus untuk shalat berjamaah dan hadir di masjid juga diriwayatkan dalam ratusan hadis.[27]

Rasulullah Saw yang agung menyampaikan sejumlah pernyataan di mana memisahkan diri dari kebersamaan Islami dipandang sebagai bentuk meninggalkan barisan Islam dan kembali ke abad Jahiliyah. Beliau menyabdakan, “Simpul Islam telah ditanggalkan dari leher seseorang yang memisahkan dirinya dari komunitas Muslim.” Beliau juga mengatakan, “Barangsiapa yang memisahkan diri dari komunitas Muslim walaupun sejengkal akan mati dalam keadaan jahiliyah.”[28]

Diriwayatkan pula sabda ringkas Nabi Saw lainnya yang terkait dengannya, “Tangan Allah berada di atas/bersama jamaah.”[29] “Bergabunglah dalam jamaah dan berhati-hatilah dengan perpecahan.” “Janganlah berpecah belah karena orang-orang sebelum kalian yang berpecah belah mengalami kebinasaan.” “Janganlah berpecah belah atau hati kalian akan menjadi bercabang.” Dan, “Mereka yang terpecah ke dalam mazhab-mazhab sebelum kalian telah binasa.”[30]

Tentu saja, seseorang tidak dapat meyakini bahwa masing-masing hadis tersebut memang berasal dari Rasulullah Saw. Demikian pula, motif-motif untuk memalsukan hadis-hadis tersebut—khususnya soal penyalahgunaan ungkapan semacam “kebutuhan terhadap sebuah komunitas” dan “menahan diri dari mematahkan tongkat kaum Muslim” oleh para pemimpin bani Umayyah—tidak dapat diabaikan. Namun demikian, penekanan Rasulullah yang berulang kali terhadap persatuan komunitas Muslim, dan lebih penting lagi, tindakan-tindakan beliau yang terkait dengannya, mendukung makna umum dari hadis-hadis tersebut.

Demi memperkuat manifesto “orang beriman adalah saudara dari orang beriman” (orang beriman saling bersaudara)[31], Nabi Saw menuturkan sejumlah hadis, di antaranya:

“Seorang beriman menolong dan ditolong. Tak ada kebaikan dalam diri seseorang yang menolong dan tidak ditolong. Orang-orang terbaik adalah yang bermanfaat bagi selainnya.”[32]

“Kaum mukmin saling bersaudara… Mereka ibarat satu tangan yang mengepal ke arah orang-orang yang berhadap-hadapan dengan mereka.”[33]

“Kaum beriman ibarat sebuah bangunan; masing-masing bagian saling menguatkan satu sama lain.”[34]

“Kaum beriman dalam hal persahabatan, kasih sayang, dan cinta ibarat satu tubuh; jika salah satu organnya merasakan sakit, maka seluruh organ tubuh lainnya juga akan merasakan sakit bersamanya sepanjang malam dan mengalami demam.”[35]

Beliau juga menyabdakan, “Temuilah saudaramu dengan wajah ceria. Menjadikan saudaramu tersenyum merupakan amal kebajikan bagimu. Ampunan dianugerahkan kepada seseorang yang tidak memendam kebencian terhadap saudaranya. Tidak pantas bagi seorang mukmin untuk mengkhianati saudaranya. Layak bagi Allah untuk menjauhkan api neraka dari setiap Muslim yang membela kehormatan saudaranya.”

Nabi Saw sangat menganjurkan untuk saling memberi salam satu sama lain, seraya menyebutnya sebagai salah satu perbuatan yang disaksikan para malaikat. Beliau melarang keras seorang Muslim tetap marah dan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari serta memerintahkan untuk mendamaikan mereka. Seseorang yang memberi dan menerima hadiah -tanpa memandang nilai hadiah tersebut- demi mempererat hubungan persahabatan dan memperkuat ikatan persaudaraan serta persatuan (di tengah perpecahan antar kelompok-kelompok dan elemen-elemen egosime dalam masyarakat), akan diberi ganjaran yang sama dengan yang diterima seseorang yang berjihad di jalan Allah Swt. Karena itu, dalam tubuh masyarakat di mana Rasulullah Saw menjadi suri-teladan dan saksinya, manfaat seorang individu menggantikan kecenderungan pada kelompok, serta kasih sayang dan intelektualisme mengatasi kekerasaan dan sensitivitas [emosional].[36]

Sebagai tambahan, Rasulullah Saw menggambarkan kaum Muslim sebagai susunan gigi -semuanya sama dan sederajat. Beliau menyabdakan, “Kaum Muslim sama dengan gigi (dalam mulut seseorang).” Beliau juga bersabda, “Tak satupun dari kalian menjadi bagian dari kaum Muslim kecuali kalian mencintai untuk saudara kalian apa-apa yang kalian cintai untuk diri sendiri.”

Dalam menegaskan kesetaraan dan persaudaraan Islam, Rasulullah Saw bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya.Mereka tidak saling menzalimi satu sama lain, tidak saling berbohong satu sama lain, tidak menahan diri dari saling menolong satu sama lain, dan tidak saling menista satu sama lain. Tingkat kekuatan yang memadai untuk berbuat kejahatan diciptakan seseorang manakala dirinya mengolok-olok saudaranya sendiri. Seluruh milik seorang Muslim -hidup, harta, dan orang-orang yang dicintainya- haram bagi Muslim lainnya.

Rasulullah Saw memandang hal berikut sebagai salah satu tanda dan karakter seorang Muslim, “Seorang Muslim adalah sosok yang menjadikan Muslim lainnya merasa aman dari ucapan dan perbuatannya. Terdapat tiga hal di mana tak ada apapun selain keikhlasan merasuk ke dalam hati seorang beriman (maksudnya, mustahil baginya untuk mengkhianati mereka)… Ketiga, masalah persatuan di antara kaum Muslim. Ini artinya, ia tidak akan menjadi seorang munafik, tidak akan mematahkan tongkat kaum Muslim, dan tidak akan memecah belah komunitas Muslim.”[37]

B. Gaya Hidup Praktis
Tuntunan universal yang diberikan Rasulullah Saw sepanjang penunaikan tugasnya sebagai seorang nabi adalah membangun masyarakat monoteistik (tauhidi) yang berpijak di atas nilai-nilai adiluhung seperti keimanan, kepemimpinan Ilahi, ketakwaan, persatuan, dan persaudaraan religius. Sangat jelas bahwa mencapai tujuan semacam itu di tengah masyarakat yang seluruh keimanan dan struktur sosialnya dibelenggu nilai-nilai jahiliyah, rasisme, dan tribalisme (semangat kesukuan) bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah; sebaliknya, semua itu menuntut kemampuan yang jauh lebih besar dari apa yang dimiliki rata-rata umat manusia. Rasulullah Saw tak punya pilihan lain kecuali memperkokoh ikatan masyarakat Muslim. Melalui pertolongan Ilahi yang bersifat khusus, beliau menggunakan metode terbaik dalam mengelola perselisihan. Terdapat banyak contoh seputar tindakan Rasulullah Saw sekaitan dengannya sepanjang periode beliau tinggal di Mekah; namun contoh-contoh paling menonjol dapat dijumpai pada periode pembentukan pemerintahan Islam pertama di Madinah. Dalam rentang waktu ini, terbuka peluang lebih besar ke arah perpecahan, baik secara internal maupun eksternal.[38]

Rasulullah Saw tidak hanya mencukupkan dirinya dengan menyeru dan berbuat; namun, gayahidup beliau juga dibentuk di atas fondasi untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berikut adalah daftar upaya-upaya dan metode-metode Nabi Saw yang mulia dalam menciptakan persatuan di antara para sahabatnya:

1. Mendirikan masjid dan menyerukan kaum Muslim untuk berkumpul di situ demi melaksanakan shalat Jumat dan shalat berjamaah.

2. Membangun persatuan umat yang satu.

3. Menciptakan ikatan persaudaraan religius di antara individu dan kelompok.

4. Menciptakan persatuan nasional dan perjanjian-perjanjian bersama di antara warga.

5. Mengkhususkan Rasulullah Saw yang mulia sebagai pusat rujukan hukum dalam menyelesaikan perselisihan.

6. Peperangan masuk akal melawan kebiasaan dan sikap intoleran abad Jahiliyah.

Menjalankan masing-masing poin tersebut serta menempatkan segenap upaya Rasulullah Saw di balik pembentukan umat yang bersatu, yang berkumpul di dekat Allah Swt dan Rasulullah Saw merupakan keagungan tersendiri. Semua itu dapat menjadi model dan teladan praktis bagi seluruh Muslim. Di sini, kami hanya akan meninjau beberapa di antara kasus-kasus tersebut.

Di antara faktor terpenting di balik perpecahan individual maupun kelompok sosial adalah sikap intoleran (tidak toleran), sektarianisme, dan tribalisme keagamaan. Klaim ini dapat dijelaskan dengan meninjau kembali perpecahan-perpecahan yang ada dalam masyarakat Islam. Salah satu kawasan utama dari upaya Rasulullah Saw adalah pencegahan atau pengaturan bentuk-bentuk intoleransi tersebut. Berkenaan dengannya, beliau bersabda, “Allah akan mengumpulkan seseorang yang di hatinya terdapat setitik intoleransi (‘ashabiyyah)[39] dengan bangsa Arab Jahiliyah.” Beliau juga mengatakan, “Seseorang yang mengajak orang-orang ke arah intoleransi akan memperoleh [hukuman] membunuh sebagaimana pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di zaman Jahiliyah.”[40] Beliau memberlakukan pelbagai undang-undang di Madinah dengan tujuan untuk menghilangkan perselisihan dan persaingan antar-suku, sekaligus mengatur dan membimbing mereka. Manakala Rasulullah Saw memasuki kota ini dan mengetahui bahwa dua rival bebuyutan, yakni suku Aus dan Khazraj, saling bersaing untuk mendapat kehormatan menjamu Rasulullah Saw, beliau dengan bijak bersabda, “Aku akan singgah di rumah tempat untaku berhenti [melangkah].” Beliau juga menggunakan taktik menggerakan prajurit-prajuritnya dengan cepat untuk memadamkan perselisihan yang muncul di tengah para sahabatnya dalam peperangan bani Mushthalaq.

Bagaimana pun, dengan [menimbang] terlembaganya sedemikian rupa hubungan antara abad Jahiliyah dengan kecenderungan ke arah tribalisme, kondisi-kondisi semacam itu tidak sepenuhnya tumbang di masa kehidupan Rasulullah Saw. Adakalanya intoleransi dan kebencian internal antara kaum Muhajirin dan Anshar tidak hanya mengakibatkan mereka saling berhadap-hadapan satu sama lain, melainkan juga menyebabkan mereka berhadap-hadapan dengan Rasulullah Saw. Sebagai contoh, Zubair ibn Awwam yang merupakan seorang Muhajirin, terlibat dalam pertikaian dengan seorang Anshar seputar pengairan (irigasi). Rasulullah Saw mengakhiri pertikaian itu dengan menyatakan bahwa orang Anshar tersebut akan mendapat jatah irigasi setelah Zubair. Mendengar itu, orang Anshar tersebut kontan menilai keputusan Rasulullah Saw dengan menggunakan kriteria intoleran dan kesukuan warisan zaman Jahiliyah. Ia berkata pada Rasulullah Saw, “Keputusanmu memihak sepupumu.”[41]

Berkenaan dengan sikap moderat beliau sewaktu berinteraksi dengan kalangan yang menentangnya, terdapat banyak bukti al-Quran, juga yang berasal dari riwayat, yang menunjukkan bahwa beliau senantiasa berusaha mencegah pelbagai kesalahpahaman, tudingan tidak berdasar, dan pandangan menghina terhadap mereka (kalangan penentang beliau -penerj.). Jelas dipahami dari contoh-contoh tersebut, serta ratusan contoh lain yang maktub dalam buku-buku sejarah dan hadis, bahwa Rasulullah Saw, selain menyerukan dan menekankan soal masyarakat yang bersatu, juga menaruh perhatian pada pelbagai metode untuk mencapainya. Rasulullah Saw berupaya keras dengan berbagai cara untuk mengenyahkan sebab-sebab perselisihan yang muncul di tengah umat Islam, bahkan setelah wafatnya. Menentukan karakter paling penting dari al-Quran dan Sunah, termasuk menunjuk Ahlul Bait untuk menempati posisi rujukan politik dan keagamaan, merupakan keseluruhan contoh dari upaya-upaya tersebut. Karena itu, tugas penting yang harus dipikul pemimpin politik, intelektual, dan sosial adalah mengadopsi metode yang sama dengan yang digunakan Rasulullah Saw sekaligus menjadikan beliau sebagai suri-teladan

KOMENTAR FB