tafsir al-Qur’ân di dunia Indonesia-Melayu:
Di pusat wilayah Asia Tenggara, khususnya Semenanjung Melayu, Sumatra, dan Jawa, terdapat banyak bukti tentang islamisasi di kawasan ini yang berlangsung dalam kurun enam abad. Banyak aspek tentang kehidupan keluarga, struktur sosial, hukum, dan sistem pemerintahan terbentuk oleh pengaruh Islam, serta sejumlah kosakata Arab terintrodusir ke dalam beberapa bahasa lokal seperti Melayu dan Jawa. Hingga era modern ini, bentuk adaptasi huruf atau tulisan Arab masih banyak digunakan, baik dalam karya-karya bertema agama maupun yang bertema sekuler. Selain itu, banyak karya sastra dan keagamaan yang berasal dari bahasa Arab atau terinspirasi oleh sumber-sumber berbahasa Arab, dan sedikit pengaruh Persia.
Selama satu milenium, bahasa Melayu menjadi bahasa yang paling banyak digunakan di kawasan ini, dan sejak awal abad XV, bahasa ini memiliki peran khusus dalam dakwah Islam. Peran ini terdokumentasi dalam beberapa manuskrip Melayu yang terpelihara dalam perpustakaan lokal, museum, koleksi keluarga, serta beberapa lembaga di Eropa. Banyak di antaranya yang muncul sebelum akhir abad XVI dan tidak memberi gambaran yang lengkap tentang transmisi dan perkembangan disiplin keilmuan tradisional yang menjadi dasar kehidupan umat Islam, seperti tafsir, Hadis, dan fikih. Banyak karya yang terkait dengan disiplin tersebut ditemukan di pusat-pusat kota yang biasanya merupakan kota pelabuhan di sepanjang nusantara. Karya-karya ini tidak mencapai jumlah yang signifikan, yang diharapkan dapat menarik perhatian para peneliti, atau menjadi standar riset tentang Islam di kawasan tersebut.
Sumber-sumber seperti itu sulit dimengerti dan tidak lengkap. Kesulitan ini semakin menjadi dengan adanya fakta bahwa kelangsungan hidup manuskrip di daerah tropis, atau di kawasan yang politiknya tidak stabil, hanya merupakan masalah kesempatan saja. Kesempatanlah yang menjaga karya-karya sehingga masih bertahan atau telah dikopi di kawasan itu, dan kesempatanlah yang membuat karya-karya itu dikoleksi dan dibawa ke Eropa dan akhirnya tersebar ke berbagai perpustakaan dan museum, ketika kapal-kapal Eropa pertama memasuki kawasan tersebut pada akhir abad XVI. Jadi, sumber-sumber primer yang tersedia tidak representatif untuk penyebaran berbagai mazhab dan aliran. Sumber-sumber primer ini juga sangat mendalam. Seolah-olah ini tidak problematik, pengatalogan manuskrip-manuskrip ini tidak dapat diandalkan.[1]
Hal ini berhubungan khusus dengan minimnya manuskrip, tetapi ini dapat direfleksikan dalam keadaan yang lain. Bahasa Arab merupakan bahasa teks dasar yang digunakan untuk perintah-perintah agama: terjemahan dan tafsir atas teks ini dilakukan secara oral di dunia Melayu dan sangat jarang ditulis. Jadi, proses islamisasi memunculkan sebuah bentuk diglossia. Bahasa Arab, sebagai bahasa wahyu, memiliki posisi khusus. Ini membuat bahasa Arab memiliki otoritas terus-menerus dalam beberapa hal, yaitu: agama, intelektual, dan kehidupan sosial di semua bahasa lokal di kawasan itu. Semua ini terus memainkan perannya dalam masyarakat, sehingga dalam beberapa tahun bahasa-bahasa lokal itu menyerap berbagai kata Arab. Bahasa Arab kemudian menjadi bahasa pembelajaran yang otoritatif, dan bahasa Melayu menjadi bahasa populer. Lama setelah itu, vernakularisasi terjadi, dan sejak pertengahan abad XVI, terdapat sejumlah terjemahan karya-karya berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu dan sejumlah karya asli berbahasa Melayu yang masih bertahan.
Dalam mengupayakan sebuah pendekatan sejarah terhadap tafsir di dunia Melayu, artikel ini tidak lebih dari membuat profil perkembangan disiplin ini berdasarkan beberapa karya-karya yang masih bertahan. Pendekatan saya kemudian menjadi eklektik. Artikel ini mengambil starting point dari sejumlah perspektif, tetapi tidak mampu menjelaskan seluruhnya. Namun, ada satu premis dasar yang mesti diterima, terlepas dari pendekatan apa pun yang digunakan atau bidang kajian Islam mana pun yang diteliti. Studi Islam di kawasan yang sekarang mencakup Indonesia itu pertama-tama mesti terkait dengan pendudukan kota dan negara-negara (kota pelabuhan) yang dulunya merupakan pusat pertama terbentuknya studi Islam dan penyebaran agama itu. Ini semua merupakan tempat-tempat inti studi Islam diajarkan dan dipelajari pertama kali, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Islam yang sedang berkembang. Di antara disiplin itu adalah tafsir al-Qur’ân yang menempati posisi penting.
Entitas politik Islam terawal di kawasan Melayu terdapat di kawasan pantai Utara dan Timur Sumatra. Eksistensi dan nama-nama penguasanya dibuktikan dengan batu nisan, tetapi hanya sedikit bukti sejarah, ekonomi, intelektual, dan kehidupan beragama yang bertahan. Kita berada dalam posisi yang lebih baik dari Kerajaan Malaka (1400-1511). Ada banyak bukti tentang para rajanya, kekuasaan geopolitik-nya, dan kekayaan budaya lainnya yang dapat dirujuk pada sejarah anekdot, yaitu sejarah Melayu.[2] Akan tetapi, tidak ada manuskrip yang bertahan hidup dari periode ini. Resensi tertua sejarah Melayu ditulis pada 1612, dan manuskrip tertua yang bertahan hidup adalah sebuah salinan yang dilakukan oleh Raffles pada tahun-tahun awal abad XIX.
Sebuah kerajaan lokal muncul dengan sejarah yang sama dengan Aceh, dan berlokasi di sebelah utara ujung Sumatra sepanjang abad XVI. Kita patut bersyukur dengan tersedianya banyak sumber, baik berbahasa lokal maupun Eropa. Kita memiliki dasar yang lebih kuat tentang Aceh daripada Malaka, meskipun ini masih bersifat relatif. Kita misalnya dapat mengidentifikasi seorang penulis, Hamzah Fansuri, yang hidup antara tahun 1550-1599,[3] atau kemungkinan, menurut penemuan mutakhir meninggal di Mekkah tahun 1527.[4] Beberapa data menunjukkan gambaran kehidupannya: misalnya beliau belajar di Barus dan Pasai, dan kemungkinan beberapa tahun di Shahr al-Nawi di Thailand, mengunjungi Bagdad dan Madinah, berhaji, dan boleh jadi menghembuskan napas terakhirnya di Mekkah. Tak kalah pentingnya adalah sejumlah karya tulisnya yang membuktikan bahwa ia adalah seorang penyair ulung. Karya tulisnya itu termasuk lebih dari tiga puluh syair yang bertema tasawuf dan sejumlah karya prosa bertema filsafat-tasawuf yang ditulis dalam bahasa Melayu yang menyusun strukturnya. Tidak ada karya tafsir seperti itu yang diidentikkan kepadanya. Namun, dalam karya prosa dan puisinya, beliau menerjemahkan sejumlah ayat al-Qur’ân ke dalam bahasa Melayu yang indah—kebanyakan ayat yang terkait dengan tasawuf—di mana ia menjelaskan interpretasi sufistik dalam tradisi Ibn ‘Arabî. Ia menyatukannya ke dalam syair-syair dan mencampur bahasa Arab dan Melayu dengan kelihaian yang luar biasa.
Salah satu contoh yang sangat indah dari salah satu sajak empat barisnya (quatrains) terhadap Q.S. al-Ikhlâsh [112]:
laut itulah yang bernama ahad
terlalu lengkap pada asy’us-samad
olehnya itulah lam yalid wa lam yulad
wa lam yakun lahu kufu’an ahad[5]
Untaian kata dan frasa Arab-Melayu terasa sangat fasih, serta penjelasan yang bernuansa mistik dan teosofinya amat jelas. Semuanya menggambarkan kejeniusan penulisnya. Tulisan-tulisan Hamzah merupakan hasil pergulatan panjang dari penyatuan dua bahasa yang telah ditanamkan akarnya oleh Islam di kawasan tersebut. Kemampuan yang ia tunjukkan dan kecenderungan religius yang ia ekspresikan memiliki karakter kesusastraan yang sangat besar. Terjemahan pertama al-Qur’ân ke bahasa Melayu, dan selanjutnya akar-akar tradisi tafsir, dapat ditemukan dalam karya-karyanya.
Banyak alasan keberlangsungan syair-syair tersebut. Syair-syair tersebut ditulis oleh seorang sufi besar tentang spiritual yang sangat bernilai bagi mereka. Ini juga disebabkan oleh nilai tinggi yang ada dalam syair yang dilestarikan tersebut, meskipun ada persaingan mazhab yang menyebabkan kehancurannya. Hal ini terlepas dari fakta bahwa beberapa di antaranya menemukan jalan kembali ke Belanda. Meskipun tulisan-tulisannya bukan tafsir, karya tesebut merupakan bukti—meski tidak sepenuhnya—adanya tradisi tafsir di Aceh saat ini.
Bukti selanjutnya adalah sebuah penggalan karya tafsir. Ini adalah sebuah manuskrip tertanggal sebelum tahun 1620 yang dibawa ke Belanda oleh sebuah armada Belanda. Manuskrip ini terdiri dari terjemahan Melayu dan tafsir Q.S. al-Kahf [18].[6] Bahasanya sangat fasih dan idiomatis. Jelasnya, karya tersebut termasuk kajian al-Qur’ân yang telah terbangun dengan baik, dan yang—tidak kalah dari terjemahan Hamzah—telah mencapai standar yang tinggi. Meskipun tidak ada pengarang yang terindikasi, dapat dipastikan bahwa karya tersebut adalah terjemahan tafsir al-Khâzin[7] (w. 1340) atas surah al-Kahf [18]. Karya ini merefleksikan perbedaan penafsiran atas surah itu dan mazhab tasawuf yang berbeda dengan Hamzah Fansuri. Selain itu, karya tersebut disiapkan bagi pelajar di berbagai tingkatan. Karya ini juga menunjukkan tradisi studi Islam yang beragam, yang berasal dari guru dan mazhab yang berbeda.
Dalam kesusastraan, Hamzah dikenal memiliki sejumlah pengikut. Diduga di antara mereka adalah seorang rekan sesama warga Aceh, Syamsuddin,[8] yang muncul sebagai ulama terkemuka di Istana Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh 1605-1636. Di awal abad tersebut, Aceh telah menjadi sebuah kekuatan di kancah internasional. Iskandar Muda menjalin hubungan erat dengan Dinasti Utsmani dan Mughal sebagai penguasa kerajaan besar Muslim di kawasan tersebut dan menerima misi dagang dari Eropa. Banyak pengunjung asing ke Aceh ketika istana merayakan dua hari besar dalam penanggalan Islam, penghujung bulan suci Ramadan dan hari Kurban di bulan Haji. Kawasan tersebut dikunjungi oleh ulama-ulama dari Asia Selatan dan Timur Tengah, serta memiliki reputasi di seantero nusantara sebagai pintu gerbang menuju Mekkah.[9] Bukti tersebut menunjukkan bahwa madrasah yang merepresentasikan tradisi studi Islam yang berbeda berkembang di kawasan tersebut.
Di masa kesultanan Iskandar Muda, Syamsuddin memangku tiga peran sekaligus, yaitu: ulama, menteri luar negeri, dan penasihat pribadi raja. Beliau seorang pengikut Naqsyabandi dan menggiring sang Sultan ke tarekat tersebut. Dalam banyak karya, ia disebut sebagai Syaikh al-Islâm. Sejumlah tulisannya yang bertema tasawuf telah dipublikasi. Seperti halnya Hamzah Fansuri, ia termasuk pengikut Ibn ‘Arabi, tetapi dalam tulisan-tulisannya terdapat bentuk teosofi Ibn ‘Arabi yang berasal dari sufi India Utara, Muhammad b. Fadhl Allâh, yang menjadi populer sepeninggal Hamzah. Selain itu, beliau adalah penulis pertama Melayu yang kita kenal menulis dalam bahasa Arab.[10] Fakta bahwa ia menulis dalam bahasa Arab dan Melayu—karya ilmiahnya lebih banyak dalam bahasa Arab, sedangkan karya eksposisinya (syarh) yang terkait dengan teosofi ditulis dalam bahasa Melayu—merupakan gambaran lebih jauh tentang tradisi diglossia telah hadir lebih awal.
Tidak ada karya Syamsuddin yang bertahan, termasuk tafsir al-Qur’ân. Namun, sebagaimana kasus Hamzah, karya-karyanya bertaburan dengan ayat-ayat dan frasa dari al-Qur’ân. Kebanyakan dari ayat-ayat itu dibubuhi bahasan tasawuf dan diterjemah ke dalam bahasa Melayu dengan makna tasawuf tersebut.
Periode 1607 dan 1636 merupakan salah satu era kreativitas dan prestasi gemilang dalam kehidupan intelektual umat Islam di Aceh. Namun, sepeninggal Sultan Iskandar Muda tahun 1636, perjuangan memperoleh kekuasaan memuncak oleh representasi dua rivalitas pemikiran Islam, yang turut dipicu oleh kedatangan ulama Gujarat, Nur al-Din al-Raniri ke Aceh, yang kemudian meraih posisi penting dalam Istana Sultan Iskandar II, penerus Iskandar Muda. Dengan penuh semangat, al-Raniri menyerang tradisi mistik Syamsuddin dan Hamzah Fansuri. Kebanyakan kitab-kitabnya dibakar dan pengikutnya dieksekusi. Al-Raniri memangku jabatannya hingga tahun 1642, yang sepeninggal Sultan Iskandar II tahun 1641 dan naiknya Sultanah Safiyat al-Din yang berkuasa hingga tahun 1675, ia menghilang dari sejarah orang-orang Aceh. Berapa banyak kitab yang terbakar tidak diketahui pasti jumlahnya. Boleh jadi kitab-kitab yang terbakar itu termasuk karya-karya tafsir.
Sultanah Safiyat al-Din memainkan peran penting dalam pengembangan tafsir di Aceh.[11] Setahun sebelum pengangkatan Sultanah, ‘Abd al-Ra’uf Singkel (1615-90) meninggalkan Aceh dan menghabiskan dua puluh satu tahun di Tanah Suci. Beliaulah ulama Sumatra pertama yang mengecap pendidikan di Madinah dan beberapa kota di Saudi Arabia dalam jangka waktu yang cukup lama. Lain halnya dengan Hamzah Fansuri yang hanya dikenal pernah berhaji ke Mekkah, ‘Abd al-Ra’uf Singkel kembali ke Aceh pada tahun 1661 dengan menggendong ijazah untuk menyebarkan Tarekat Syattariyah di Aceh, yang kemudian menyebar luas sepanjang kepulauan nusantara. Sultanah Safiyat al-Din menjadi pelindung dan penyokong ‘Abd al-Ra’uf Singkel. Di masa kekuasaan Sultanah itulah ia menyiapkan sebuah tafsir untuk keseluruhan ayat al-Qur’ân dalam bahasa Melayu yang dinamai Tarjumân al-Mustafîd.[12] Sejumlah manuskrip kitab ini masih dapat dijumpai, tetapi semuanya tidak sempurna. Kitab tersebut diterbitkan di Istanbul tahun 1880-an dan secara berkala dicetak ulang di Singapura, Indonesia, dan Malaysia, tempat kitab tersebut masih banyak digunakan.
Hingga belakangan, kitab ini tidak dikaji lebih jauh dalam dunia akademik karena dianggap hanya sebagai terjemahan bahasa Melayu dari kitab Anwâr al-Tanzîl karya al-Baydhâwî (w. 1286). Hal tersebut dilatari oleh halaman buku paling depan yang tidak tercetak (fly-leaf) memuat pernyataan tiga ulama Mekkah bahwa karya tersebut tidak menambah, mengurangi, maupun mengubah terjemahan sedikit pun dari teks al-Baydhâwî. Berdasar keterangan tersebut, Snouck Hurgronje menyebutnya sebagai terjemahan Melayu dari Anwâr al-Tanzîl. Meskipun demikian, penelitian Peter Riddel membuktikan bahwa kesimpulan seperti itu keliru, keterangan tiga ulama Mekkah tersebut tidak dapat diterima, dan bahwa pernyataan Snouck Hurgronje disebabkan oleh pembacaan yang tergesa-gesa terhadap naskah kitab tersebut. Sejatinya, kitab tersebut merupakan terjemahan Melayu kitab Tafsîr al-Jalâlayn, dilengkapi beberapa kutipan dari al-Baydhâwî, dan uraian yang agak luas dari al-Khâzin terhadap surah al-Kahf ke dalam bahasa Melayu, terutama cerita-cerita tentang asbâb al-nuzûl, serta beberapa anotasi tentang qirâ’ât yang diperoleh dari Tafsîr al-Jalâlayn ataupun al-Baydhâwî.[13]
Identifikasi itu sangat penting karena beberapa alasan. Salah satunya adalah gaya dan pendekatan karya itu jauh dari tradisi tafsir sufi sebagaimana yang digandrungi Hamzah dan Syamsuddin. Mungkin yang lebih penting lagi adalah bukti bahwa ‘Abd al-Ra’uf diam-diam setuju dengan karya tersebut. Tafsîr al-Jalâlayn 'karya bersama' Jalâl al-Dîn al-Mahallî (w. 1459) dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî (w. 1505) acapkali disebut hanya memberi sedikit kontribusi dalam pengembangan tradisi tafsir. Kitab ini adalah penafsiran kata per kata terhadap al-Qur’ân yang jelas dan ringkas, termasuk asbâb al-nuzûl terkait, serta qirâ’ât dan beberapa persoalan terkait. Sebagai sarana pendukung dalam kajian teks al-Qur’ân, kitab ini bernilai besar. Terjemahan ‘Abd al-Ra’uf itu merupakan kredit baginya sebagai seorang guru, sekaligus membuktikan kesederhanaan dan dedikasinya. Alasan yang lebih jelas lainnya adalah bahwa karya seperti al-Baydhâwî dengan penyajian yang padat dan sering bergaya eliptis akan tidak sesuai dengan sasaran ‘Abd al-Ra’uf.
Pentingnya karya ‘Abd al-Ra’uf Singkel akan lebih banyak disorot ketika dilihat dalam konteks daftar manuskrip Arab di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Daftar tersebut memuat banyak manuskrip Tafsîr al-Jalâlayn yang menunjukkan bahwa kitab itu merupakan karya terpopuler dalam bidang tafsir[14] di Hindia di masa pra-modern. Tidak banyak manuskrip Arab yang usianya melebihi abad XVIII, dan tafsir sangat sedikit ditampilkan di antara manuskrip tersebut. Meskipun begitu, terdapat salinan karya al-Bayhaqî (w. 1101) Kitâb al-Tahdzîb fi Tafsîr al-Qur’ân tahun 1652 (tahun ini menjadi penting ketika dicermati bahwa kita tidak hanya mengkaji karya tafsir di kawasan tersebut, tetapi juga karya tafsir yang dikenal di sana), demikian pula dengan penggalan tafsir sufistik tanpa tahun, Tashdîq al-Ma‘ârif.
Setidaknya, popularitas Tafsîr al-Jalâlayn tidak diragukan lagi. Nampaknya, kitab ini telah dikenal luas sebelum ‘Abd al-Ra’uf menulis Tarjumân al-Mustafîd, dan ia menulisnya sebagai jawaban atas sebuah kebutuhan. Patut dicatat bahwa tafsir secara mendasar bukanlah disiplin keilmuan teoretis, melainkan pedagogis yang terinspirasi oleh keinginan besar untuk menjelaskan wahyu secara jelas dan akurat.
Poin penting lainnya adalah bahwa terjemahan ‘Abd al-Ra’uf merupakan sebuah contoh klasik bentuk terjemahan di sela-sela baris teks yang serupa dengan teks aslinya (interlinear calque translation). Dalam hal ini, karya tersebut berbeda dengan terjemahan ayat per ayat oleh Hamzah Fansuri dan terjemahan anonim terhadap penafsiran al-Khâzin atas Q.S. al-Kahf [18]. Bahasa Melayu ‘Abd al-Ra’uf tidak selalu mudah untuk dimengerti pada saat pertama kali dibaca. Namun, karya tersebut menyajikan bahasa Melayu yang unik, yaitu yang konsisten secara internal sekaligus mudah dimengerti bagi pembaca yang akrab dengan keunikan itu. Intonasi kata yang dituturkan dalam banyak hal menjadikannya mudah dimengerti yang boleh jadi sebelumnya tampak samar. Dalam beberapa hal, ada sejumlah prosedur yang solutif, sebagaimana sebuah terjemahan disertai penjelasan atas terjemahan tersebut, diikuti dengan sinonim atas setiap kata atau frasa yang ingin dijelaskan. Hasilnya, ini kemudian menggiring orang pada Tafsîr al-Jalâlayn, sebuah karya yang sebagai alat bantu, yang bagi penutur bahasa Melayu, menjadi batu loncatan yang bermanfaat dalam memahami teks Arab, sebagaimana seorang murid yang mencapai kemajuan dalam bidang bahasa Arab. Karya tersebut tidak pernah diulangi lagi, karena—sebagaimana tujuan awalnya—ia sulit dikembangkan kemudian. Ini menjadikannya terus populer di sekolah-sekolah agama lokal. Fakta bahwa terjemahan itu mengikuti teks aslinya menjadikannya referensi yang mudah dalam bahasa Arab. Dengan demikian, karya ini sangat bermanfaat untuk tujuan pengajaran.
Sangat jelas bahwa peran Tafsîr al-Jalâlayn terus bertahan di berbagai madrasah hingga kini. Seorang ahli pendidikan Islam Indonesia, Abdul Kahar Muzakkir, yang mengecap pendidikan di Kairo selama sebelas tahun antara 1925-1935, yang di antara guru-gurunya terdapat Rasyîd Ridhâ dan al-Marâghî, pada tahun 1959 mencatat bahwa kajian al-Qur’ân di madrasah-madrasah Muhammadiyah, sebuah sekolah Islam terbesar dan terorganisasi paling baik di negeri ini, mengacu pada Tafsîr al-Jalâlayn.[15]
Dalam beberapa hal, karya terjemahan ‘Abd al-Ra’uf merupakan momen penting sejarah studi Islam di Melayu. Ini merupakan prestasi besar seorang ulama sekaliber ‘Abd al-Ra’uf. Lebih dari itu, karya ini adalah terjemahan lengkap, bahkan merupakan vernakularisasi (pembumian melalui bahasa lokal) al-Qur’ân yang melekat dalam sebuah karya tafsir otoritatif. Selain itu,—terima kasih atas informasi insidental yang ada dalam karya itu—terjemahan ini telah meletakkan fondasi penghubung antara terjemahan (tarjamah) dan tafsir (tafsîr) dalam bahasa-bahasa lokal. Karya tersebut tidak diikuti karya sejenis, tetapi telah memosisikan diri sebagai sebuah referensi, jika enggan menyebutnya sebuah tradisi. Selayaknya karya tersebut tidak boleh dipandang sebagai eksistensi dalam keterasingan. Patut ditekankan juga bahwa karya tulis seperti ini dalam bahasa Melayu, khususnya di kawasan dan sepanjang periode ini, adalah tidak biasa. Pada masa itu juga, tradisi lisan pengajaran al-Qur’ân amat dominan dan terus tumbuh, begitu pula dengan perkembangan tafsir, bentuk dan penekanan yang ditempuh, berasal dari sebuah tradisi pengajaran yang bukti dokumentasinya tidak selalu survive.[16]
Dari abad XVII dan setelahnya, karya-karya lokal tertulis kian bertambah, baik yang berbahasa Melayu maupun Arab, dan turut berkontribusi terhadap kekayaan dan keragaman diskursus Islam di dunia Melayu. Penggerak utama penyuburan ini adalah the Jâwîs (Jâwî menjadi term yang digunakan dalam bahasa Arab untuk menyebut jemaah haji atau pelajar yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara Melayu) yang bermukim selama beberapa tahun (sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd al-Ra’uf), atau secara permanen, di Hijaz, yang mengajar dan menulis dalam bahasa Arab dan Melayu bagi penduduk di kawasan tersebut, dan tetap mengadakan hubungan dengan kerabat dan koleganya melalui jemaah haji yang kembali yang membawa berita keluarga dan kabar baru, baik secara lisan maupun melalui surat dan manuskrip yang mereka bawa.
Salah satu hal penting dari proses ini adalah terjemahan bahasa Melayu―yang ditulis pada abad XVIII―kitab Lubâb Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, ringkasan karya besar al-Ghazâlî (w. 1111) yang kemungkinan ditulis oleh saudaranya, Ahmad. Terjemahan ini ditulis oleh ‘Abd al-Shamad Palembang di Thaif antara tahun 1760-1780 dan menjudulinya Sayr al-Sâlikîn.[17] ‘Abd al-Shamad mengikuti model ‘Abd al-Ra’uf dan selainnya sebagai guru yang sederhana dan berdedikasi. Beliau tidak berkontribusi langsung dalam bidang tafsir, tetapi banyak kutipan al-Qur’ân dan Hadis termaktub dalam karya ini. Dengan demikian, penelitian terhadap sesuatu yang disebut tafsir sekunder (secondary tafsir) dalam karyanya ini, terjemahan dan tafsirnya terhadap ayat-ayat al-Qur’ân yang dijadikan sebagai dalil, tentu menambah pengetahuan kita tentang bentuk tafsir yang masyhur saat itu, karena karya ‘Abd al-Shamad, selain isinya sebagai terjemahan karya al-Ghazâlî, mengandung banyak kutipan dari berbagai karya. Perlu dicatat juga bahwa meskipun tidak berada di kampung halamannya, terdapat bukti tentang perhatian ‘Abd al-Shamad dalam bidang politik terkait dengan kekuasaan Belanda di sana.
Sebelum seperempat akhir abad XIX, kita menemukan kontribusi lainnya di bidang tafsir dari seorang Jâwî, yang sama nilainya dengan kontribusi ‘Abd al-Ra’uf. Ini adalah karya tebal dua volume berbahasa Arab yang ditulis di Mekkah oleh seorang yang bernama al-Nawawî (1815-1898) dari sebuah kampung Tanara di Banten, Jawa Barat, yang telah menetap secara permanen di Mekkah setelah tahun 1835.[18] Karya yang ditulis dalam bahasa Arab ini sekali lagi menunjukkan eksistensi tradisi diglossia dalam studi Islam di dunia Melayu. Karya tersebut memiliki arti penting tersendiri, bukan hanya karena dicetak di Timur Tengah, melainkan juga karena menjadi sebuah karya dasar (basic work) tafsir, bahkan di Timur Tengah, dan kemungkinan satu-satunya karya berbahasa Arab yang ditulis oleh seorang Jâwî. Karya tersebut masih dicetak ulang di Kairo, dan beredar luas sebagai kitab tingkat menengah (mutawassith) di Malaysia dan Indonesia, dua negara yang mencetak ulang kitab tersebut.
Latar belakang al-Nawawî adalah tipikal dari banyak ulama Jâwî yang tidak dikenal, meskipun tidak banyak yang menyamai kedalaman pengetahuannya. Kita beruntung karena Snouck Hurgronje bertemu dengannya di Mekkah tahun 1884, dan pada volume kedua karyanya Mekka in the Latter Part of the Nineteenth Century, ia memberi sketsa pendek yang sangat indah (an exquisite thumbnail) tentang kepribadian al-Nawawî.[19] Hurgronje menyebut bahwa ketika mereka berjumpa, al-Nawawî adalah pemimpin yang diakui oleh masyarakat Jâwî, dan telah belajar dan mengajar di Mekkah selama tiga puluh tahun. Di lima belas tahun pertama, ia menarik diri dari aktivitas mengajar dan mengalokasikan waktunya untuk menulis. Hurgronje menambahkan bahwa al-Nawawî menginspirasi banyak orang Melayu, Jawa, dan Sunda untuk mendalami Islam. Ketika Hurgronje menemuinya (dan berbincang lama dengannya), al-Nawawî telah menulis banyak buku, yang kebanyakan diterbitkan oleh penerbit Kairo, antara tahun 1880-1886, termasuk, pada tahun 1881, Fath al-Majîd, sebuah anotasi (syarh) karya salah satu gurunya, al-Nahrâwî, yang berjudul al-Durr al-Farîd. Pada tahun yang sama, ia menulis anotasi kitab Âjurûmiyyah (buku tata bahasa Arab), Lubâb al-Bayân, dan pada tahun 1886, Dzarî‘ah al-Yaqîn, sebuah anotasi terhadap karya al-Sanûsî (w. 1486) yang sangat terkenal.
Yang paling penting buat kita adalah pernyataan Hurgronje bahwa al-Nawawî telah menulis sebuah tafsir utuh atas al-Qur’ân yang kemudian diterbitkan oleh penerbit Mekkah.[20] Sekiranya al-Nawawî mengirimnya ke penerbit sekitar tahun 1884 dan telah meluangkan waktu untuk menulisnya sekitar lima belas tahun lebih awal, kita dapat menduga bahwa ia mulai menulisnya menjelang akhir 1860-an. Ia kemudian dicetak ulang oleh penerbit al-Halabî di Kairo dalam dua volume yang masing-masing terdiri dari 500 halaman, dengan karya al-Wâhidî (w. 1076) Kitâb al-Wajîz fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîz di garis pinggir (margin/hâsyiyah).[21]
Al-Nawawî menamai karyanya dengan Marâh Labîd. Dalam kata pengantarnya, ia mengutarakan alasan konvensional untuk memulai karyanya, yaitu bahwa beberapa koleganya meminta untuk itu. Ia juga memberi beberapa alasan keragu-raguannya―lantaran Hadis yang mengecam orang yang menafsirkan al-Qur’ân sesuai pendapat pribadinya. Oleh karena itu, ia mengikuti model pendahulunya untuk melestarikan pengetahuan, bukan untuk memberi tambahan terhadapnya. Ia menunjukkan bahwa setiap zaman butuh penyegaran pengetahuan (renewal of knowledge), dan menutup karyanya dengan berkata, “Semoga usaha (dalam menghasilkan) karya ini dapat membantu saya, dan kepada semua yang awam pengetahuannya seperti saya.” Terkait dengan otoritas yang telah dimilikinya, ia membuat daftar kitab al-Futûhât al-Ilâhiyyah,[22] Mafâtîh al-Ghayb (yang lebih dikenal dengan al-Tafsîr al-Kabîr) karya Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 1209), al-Sirâj al-Munîr,[23] Tanwîr al-Miqbâs, dan Tafsîr Abî al-Su‘ûd.[24] Semua manuskrip kitab tersebut terdapat di Kairo dan di beberapa kota di Timur Tengah, yang kemungkinan termasuk di Mekkah dan Madinah. Tak pelak lagi, al-Nawawî memiliki akses terhadap kitab-kitab itu.
Pada tataran ini, tidak mungkin membuat sebuah analisis yang cermat terhadap penafsiran al-Nawawî secara keseluruhan untuk menilai lingkup dan karakter tafsirnya, dan tidak ada jaminan bahwa contoh random penafsiran sebuah surah akan mendatangkan kesimpulan yang benar terhadap al-Qur’ân secara keseluruhan. Namun, jelas bahwa al-Tafsîr al-Kabîr karya al-Râzî memainkan peran besar—jika enggan menyebutnya peran sentral—terhadap karya al-Nawawî. Ini adalah contoh kasus penafsirannya atas Q.S. Shâd [38].[25] Hal ini dengan sangat mencolok karena pada kesimpulan tafsirnya terhadap surah itu, ia mengetengahkan banyak kutipan dari al-Râzî kata demi kata (verbatim), yang diawali dengan, “Ini, yang saya mengajakmu, bukanlah sebuah agama yang butuh banyak kewajiban hukum untuk membuktikan autentisitasnya, melainkan sebuah agama, autentisitas yang dibuktikan dengan rasio.”[26] Oleh karena itu, mengikuti al-Râzî, ia berpandangan bahwa logika atau rasio berfungsi sebagai dasar keyakinan terhadap hari akhirat, sebagai penguat bahwa penciptaan itu punya tujuan, dan menegaskan pentingnya keadilan untuk melindungi tatanan dunia. Tak kalah pentingnya, ia mengikuti peran penting al-Râzî yang secara tersirat diperoleh dari penjelasannya, di mana al-Râzî menolak banyak kisah, yang kemudian ditolak oleh Ibn Katsîr sebagai isrâ’îliyyât. Penggunaannya terhadap otoritas lain secara umum tidak lebih dari sekadar penggunaan terjemahan kata atau frasa, dan biasanya alat-alat kepustakaan.[27]
Penafsiran al-Râzî terhadap surah itu sekurang-kurangnya lima kali lebih panjang dari penafsiran al-Nawawî, dan isinya sangat bervariasi, yang tidak praktis memberi sebuah catatan utuh atas karya al-Nawawî. Sebagai contoh, ia menghilangkan beberapa penjelasan teologis dan hukum yang dikembangkan al-Râzî secara meluas. Meskipun begitu, karya tersebut jelas dan terang merefleksikan personalitas yang dilekatkan Snouck Hurgronje kepada al-Nawawî.
Sepintas terlihat bahwa ada sedikit daya tarik tersendiri dari karya tersebut. Hanya saja, al-Nawawî adalah seorang guru yang berdedikasi untuk kepentingan orang-orang senegaranya: ia memahami kebutuhan mereka ketika datang ke Mekkah dalam rangka studi, dan ia menulis dengan cara yang mudah mereka pahami. Ia menyiapkan karyanya dengan cara seperti itu agar mereka mampu memperoleh kemampuan dan kepercayaan diri untuk mengkaji karya-karya yang lebih rumit. Karya ini menjadi dasar studi atas berbagai karya otoritatif lainnya dan mengembangkan kemampuan untuk belajar dari salah seorang di antara mereka dan orang lain.
Akan tetapi, ini bukanlah sasaran akhir atau prestasi akhir al-Nawawî. Ia juga tidak membatasi sumbernya pada karya-karya yang disebutkan dengan nama atau penulis dalam pengantarnya. Pada bagian hâmisy (catatan pinggir) edisi al-Halabî kitab Marâh Labîd tercetak Kitâb al-Wajîz karya al-Wâhidî yang sering diparafrasa atau dikutip dalam karya al-Nawawî sendiri. Kajian kontekstual yang disajikan oleh karya-karya asbâb al-nuzûl seringkali membantu memberi gambaran khusus tentang kerangka kemanusiaan dan untuk menonjolkan dimensi kemanusiaan Muhammad. Al-Nawawî meningkatkan sebuah kesadaran bahwa kata-kata, khususnya partikel, memiliki sebuah makna yang ditentukan oleh konteks.
Walaupun sulit menemukan segala sesuatu yang menunjukkan karakter Indonesia dalam karya ini, tafsir ini secara jelas merefleksikan asumsi kuat bahwa karya ini dianggap sebagai karya normatif bagi pelajar-pelajar dan jemaah haji dari India yang datang kepadanya. Tafsir ini juga menyajikan sebuah elaborasi dan pengayaan tradisi Tafsîr al-Jalâlayn yang oleh Abdul Kahar Muzakkir sebut sebagai tafsir paling dominan di tahun 1959.[28] Ia juga dipersembahkan untuk mengurangi pengaruh tradisi penafsiran Ibn ‘Arabi di kawasan tersebut. Lebih dari itu, karya tersebut cocok untuk dijelaskan secara lisan dalam bahasa Melayu. Ia juga menyiapkan dasar studi terhadap karya al-Râzî dan beberapa karya yang lebih maju lagi.
Paradoksnya adalah bahwa meskipun dalam banyak hal, tafsir karya al-Nawawî itu termasuk tradisional, untuk tidak menyebutnya model lama, karya tersebut mengadopsi astronomi Ptolemaik; misalnya, pendekatannya konsisten dengan ide-ide para Reformis. Bahkan, karya ini turut membuka jalan bagi mereka yang ditandai dengan tiga untai rasionalisme; acapkali merujuk ke kehidupan Muhammad sebagai makhluk termulia dalam uraian tentang teks al-Qur’ân; mistisisme ‘sederhana’ atau spiritualitas yang tertanam dalam karya-karyanya yang lain; dan membuang jauh-jauh isrâîliyyât.
Singkatnya, karya al-Nawawî memberi ringkasan yang baik sekali atas pemahaman klasik terhadap al-Qur’ân dan mengantarnya ke suatu fokus tentang tafsir al-Qur’ân akhir abad pertengahan yang tidak diketahui umum. Pada saat yang sama, terima kasih atas elemen rasional tafsir karya al-Nawawî ini yang diambil dari tradisi al-Râzî (untuk tidak dicampuradukkan―ini mesti ditekankan―dengan Rasionalisme Pencerahan). Karya al-Nawawî ini ada sepanjang bangkitnya sebuah orde baru, yang dirintis oleh Muhammad ‘Abduh dan Jamâl al-Dîn al-Afghânî (1838-1897).
Orang Melayu (Jâwîs) di Kairo turut serta secara antusias dalam gerakan para reformis, yang tentu saja dikobarkan oleh dimensi politik, pendidikan, maupun agama, dan gerakan ini telah ada sejak dini di dunia Melayu. Kenyataannya, surah-surah yang tertulis dalam bahasa Arab dari Jawa, Sumatra, Singapura, dan Kalimantan mulai muncul dalam jurnal yang diasuh Muhammad ‘Abduh, al-Manâr, sejak edisi-edisi tahun pertama, 1898.[29]
Respon terhadap gerakan tersebut sangat luas. Banyak mahasiswa dari berbagai daerah jajahan Inggris dan Belanda di kawasan Asia Tenggara yang sedang menimba ilmu di Timur Tengah terinspirasi oleh gerakan baru tersebut, dan mulai memperlihatkan pengaruhnya ketika mereka pulang, dengan menjadikan al-Qur’ân dan Sunnah sebagai dasar legitimasi kemerdekaan, mereformasi sistem pendidikan di sekolah-sekolah agama dari bentuk halaqah menjadi metode shaff, dan menyiapkan buku teks yang berjenjang dalam pengajaran agama. Terjadi pergeseran metode untuk menyederhanakan penjelasan atas al-Qur’ân, termasuk mereduksi muatan isrâ’îliyyât yang berlebihan, dan sejumlah qirâ’ât yang dalam banyak hal kurang signifikan sesuai kesepakatan yang meluas terhadap qirâ’ah Hafsh, yang memuncak pada edisi resmi al-Qur’ân Mesir tahun 1929. Selain itu, ada titik tekan terhadap asbâb al-nuzûl, Hadis, Sîrah Nabawiyah Muhammad, dan al-Qur’ân itu sendiri dalam menafsirkan al-Qur’ân. Terdapat juga pembaruan penekanan terhadap Islam sebagai agama akal, seiring dengan desakan penggunaan akal yang disebutkan dalam al-Qur’ân yang dimanfaatkan untuk meyakinkan kaum Yahudi dan Musyrik Mekkah tentang kebenaran klaim Muhammad sebagai nabi.
Terlepas dari semua aktivitas tersebut, dokumentasi perkembangan tafsir belumlah memadai. Meski demikian, Abdul Kahar Muzakkir, dalam karya yang disebutkan sebelumnya, memberi gambaran yang baik tentang para mufasir Mesir abad XX yang karyanya terkenal di Hindia Belanda (Indonesia). Ia menempatkan Muhammad ‘Abduh dan Rasyîd Ridhâ di bagian terdepan. Ia menambahkan bahwa Thanthâwî Jawharî (w. 1940) memiliki minat yang serius atas Islam di Indonesia, dan bahwa ‘Abd al-‘Azîz Jâwis (w. 1928) memiliki perhatian yang sama, dan ini sangat instrumental membuka pintu sekolah-sekolah negeri di Mesir bagi pelajar-pelajar dari Indonesia (termasuk dirinya). Ia juga mencatat bahwa ia sendiri merupakan seorang murid dari al-Marâghî (w. 1945) selama dua tahun di Dâr al-‘Ulûm selama masa karya Tafsîr al-Marâghî dicetak.[30]
Peran yang dimainkan oleh para penduduk berdarah Arab di Indonesia cukup terabaikan dan sulit diukur komponennya dalam perkembangan tafsir di negeri ini. Dengan kelebihan memiliki leluhur Arab, dalam beberapa hal, mampu menjalankan kepemimpinan, dan memberi kontribusi bagi kehidupan Islam dengan upaya-upaya perintis dalam membangun sekolah-sekolah, menulis, dan memberi kuliah di berbagai studi klub dan organisasi dalam bahasa Arab dengan bantuan para juru bahasa. Bahkan pada titik ini, diglossia masih memainkan peran penting.
Representasi yang penting dari kelompok ini adalah Ahmad Soorkatie yang menempatkan dirinya sebagai seorang guru di Batavia tahun 1908. Ia merupakan elemen penting dalam pendirian sekolah-sekolah, perintis ide-ide reformasi Muhammad ‘Abduh. Meskipun seorang sayyid, ia menulis dengan penuh antusias menentang klaim bahwa para sayyid dominan di kawasan tersebut. Ia mengajarkan berbagai hal dengan menggunakan bahasa Arab dibantu oleh seorang juru bahasa. Kebanyakan dari kuliah-kuliah yang ia sampaikan direkam oleh saudaranya dan ditulis dalam sebuah manuskrip yang terdiri dari beberapa ratus halaman, yang kebanyakan di antaranya berkarakter biografis.[31] Manuskrip ini mencakup satu seri kuliah tentang al-Qur’ân berbentuk tafsir. Penafsirannya atas surah pertama al-Qur’ân, al-Fâtihah, dalam sebuah kuliah pada 25 Juli 1937 pada kelompok Jam‘iyyah di Batavia, memberi bukti atas keterampilan tafsirnya, maupun salah satu aspek kehidupan intelektual Islam di Indonesia sepanjang tahun 1930-an.
Meskipun gaya penyajiannya berbentuk ceramah, tetapi prinsip dasarnya jelas, yaitu adanya keseragaman, bahkan keinginan besar dalam mengorganisasi bahan yang merujuk ke ‘Abduh: yaitu pernyataan bahwa Tuhan menurunkan al-Qur’ân sebagai sebuah kehendak, bukan karena sifat dasar-Nya untuk berbuat demikian. Pernyataan ini merefleksikan tipe pencerahan dari rasionalisme yang terdapat dalam tradisi para reformis. Soorkatie menyerukan peran akal dalam agama. Menurutnya, al-Qur’ân menyediakan sarana intelektual bagi manusia untuk menemukan Tuhan melalui penggunaan akal. Setiap tahap argumentasinya hanya didukung oleh kutipan dari al-Qur’ân. Dalam hal ini, ia tidak menafsirkan al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, tetapi lebih menggiring al-Qur’ân untuk mendukung ide dan ajaran yang diusung oleh tradisi para reformis yang sejalan dengan keinginannya.
Sejak akhir tahun 1920-an dan seterusnya, sejumlah terjemahan al-Qur’ân dalam bentuk juz per juz, bahkan seluruh isi al-Qur’ân, mulai bermunculan.[32] Usaha ini didukung oleh kondisi di bulan Oktober 1928 saat itu, ketika gerakan nasional yang baru jadi di Indonesia membentuk sebuah bahasa nasional. Kongres Pemuda Indonesia yang diadakan di Batavia memberi resolusi yang menyatakan bahwa mereka satu bangsa dan mengakui satu tanah air dan satu bahasa. Bahasa tersebut adalah bahasa Melayu di bawah sebuah nama baru dan dengan persona baru, yaitu bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan nasional di kawasan tersebut yang memiliki lebih dari 300 bahasa dan kelompok etnis. Karena usaha tersebut dilakukan untuk mengembangkan bahasa Indonesia menjadi kendaraan tetap (stable vehicle) wacana sekuler dari sebuah negara-bangsa yang modern dan budaya literal, demikian pula untuk memperkaya nuansa keagamaan dari bahasa tersebut, yang selanjutnya melengkapi kelanjutan memasyarakatkan pengajaran Islam dalam bahasa lokal, maka dasarnya telah diciptakan.
Pada tahun 1938, Mahmud Yunus menerbitkan Tarjamat al-Qur’an al-Karim, yang telah dimulai pada tahun 1924. Ini merupakan karya pertama yang dapat diakses dalam bahasa Melayu untuk keseluruhan ayat al-Qur’ân sejak karya ‘Abd al-Ra’uf, Tarjumân al-Mustafîd, yang muncul sekitar tiga abad sebelumnya. Selain itu, dalam konteks reformasi agama, karya ini cukup berbeda, karena meskipun disertai teks Arab, penjelasan dan tafsirnya juga dijelaskan lagi dalam catatan kaki. Dengan kata lain, terjemahan al-Qur’ân dengan memuat seluruh ayatnya bersifat independen. Ini merupakan prestasi yang luar biasa, dan Riddell mengatakan bahwa karya tersebut telah dicetak sebanyak dua puluh tiga kali, daftar yang terbaru adalah pada tahun 1977.[33]
Proses tersebut semakin cepat setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Ada beberapa terjemahan al-Qur’ân, tetapi dua di antaranya telah ada. Salah satunya adalah al-Qur’an dan Terjemahnya.[34] Dicetak pertama kali tahun 1970, karya ini telah mengalami sekian kali cetak ulang, termasuk perubahan dalam ejaan bahasa Indonesia. Teks Arab dan terjemahan Indonesia dicetak berdampingan, sementara penjelasan dan catatan ditulis dalam catatan kaki. Setelah didukung oleh Menteri Agama RI, di Arab Saudi karya tersebut memiliki status de facto sebagai terjemahan al-Qur’ân berbahasa Indonesia. The King Fahd Complex for the Printing of the Holy Qur’ân mencetak ulang terjemahan itu dalam format yang indah, dan diberikan kepada para jemaah haji Indonesia dan segenap pengunjung Tanah Haram.
Terjemahan lain dengan karakter yang berbeda dilakukan oleh kritikus sastra, H.B. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, yang dicetak pertama kali tahun 1977.[35] Karya ini juga disertai teks Arab, tetapi aslinya dalam dua bentuk, yaitu: Pertama, terjemahan Indonesia-nya bertujuan menunjukkan unit makna, struktur dialog, dan menerangkan poin-poin penekanan retorik. Untuk alasan inilah, Jassin menyebutnya sebagai terjemahan ‘puitis’. Kedua, karya ini tidak memiliki catatan atau penjelasan sehingga arus bahasan al-Qur’ân dapat memberi pengaruh langsung terhadap pembaca.
Karya-karya tafsir yang lengkap dengan makna kata masih terbilang sedikit, meskipun banyak tafsir atas beberapa surah, khususnya karya-karya yang menjelaskan surah-surah penting tertentu seperti Yâsin [36] dan juz terakhir al-Qur’ân, Juz' ‘Amma [Q.S. 78-114]. Federspiel melakukan sebuah survei dan membuat periodisasi aktivitas tafsir di Indonesia antara 1900 dan 1994, yang menunjukkan bahwa saat penulisan karya tersebut, telah ada sepuluh tafsir al-Qur’ân lengkap di Indonesia.[36] Meskipun penelitian demikian membutuhkan riset tersendiri, patut dicatat juga bahwa terjemahan Indonesia atas karya para perintis dan ideolog tradisi radikal Islam seperti al-Mawdûdî (1903-1979) dan Sayyid Quthb (1906-1960) telah bercampur, beberapa di antaranya dengan karya-karya dalam tafsîr ‘ilmî, beberapa di antaranya terinspirasi oleh karya-karya yang diterbitkan di Timur Tengah dan selainnya menjadikan karya Bucaille, The Bible, the Qur’an and Science sebagai titik awal. Ada sebuah karya dalam sepuluh volume yang diterbitkan atas bantuan Departemen Agama,[37] dan sebuah lagi karya ulama terkenal, Hamka (w. 1981) yang dari 1976 hingga wafatnya 1981 menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Di antara karya yang disebutkan Federspiel, ada dua yang penting dibahas. Salah satunya adalah karya sarjana Aceh, Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an al-Madjied ‘an-Nûr’.[38] Karya ini dicetak juz per juz dan diterbitkan secara terpisah. Contoh metodologinya dapat diambil dari Juz ‘Amma. Ia menyajikan pengantar umum bagi setiap surah, dengan mengemukakan hal-hal yang menghubungkan sebuah surah dengan surah sebelumnya. Selanjutnya, ia menjadikan surah itu bagian demi bagian menurut pemahamannya terhadap unit-unit maknanya. Ia melakukan terjemahan harfiah atas ayat-ayat di setiap bagian, disertai dengan banyak parafrasa. Ia akhirnya memberi kesimpulan maknanya, sehingga pelajaran yang ditarik menjadi jelas. Selanjutnya, ia menyimpulkan Q.S. ‘Abasa [80]: 1-10:
Dalam ayat-ayat ini, Allah SWT. menegur Nabi saw. karena memalingkan mukanya dari Ibn Ummi Maktûm ketika sedang berbincang dengan pemuka-pemuka Quraish yang diharap akan memeluk Islam. Allah menjelaskan bahwa Ibn Ummi Maktûm telah siap memeluk Islam. Sementara itu, pemuka Quraish akan menolak ajakan tersebut, apa pun usaha yang dilakukan Nabi.
Tafsir karya Hamka dinamai Tafsîr al-Azhar. Judul kitab tersebut adalah simbol keharuman sebagaimana nama Universitas al-Azhar di Kairo, meskipun kata azhar juga berarti ‘paling bersinar’ atau ‘paling terang’. Berbeda dengan karya ash-Shiddieqy yang berbentuk prosa, Hamka adalah seorang orator dan novelis. Ia memiliki gaya penulisan yang kaya, mengobarkan semangat, dan menarik hati. Tafsir ini mulai ditulis ketika ia masih dalam tahanan di tahun-tahun akhir kekuasaan Sukarno, dan diterbitkan pertama kali tahun 1967. Edisi tebalnya muncul pada 1970 dan edisi terbaru hadir pada 1992.[39] Feener, dalam Studia Islamika,[40] menggambarkannya—dengan gaya hiperbolis—sebagai ‘salah satu usaha terpenting (the most enterprising endeavor) dalam penafsiran al-Qur’ân modern, tidak hanya di Asia Tenggara, tetapi juga di dunia Islam secara umum’.[41]
Seperti halnya dengan karya ash-Shiddieqy, Tafsîr al-Azhar awalnya diterbitkan dalam bentuk per juz. Namun, tidak seperti karya ash-Shiddieqy, karya ini diharapkan menjadi karya ensiklopedis. Sebagai pedoman bagi para pembaca, ia menyebut sumber-sumber yang ia rujuk: karya-karya tafsir berbahasa Arab dari al-Thabarî hingga Sayyid Quthb, karya-karya berbahasa Melayu, demikian halnya koleksi dan syarah kitab-kitab Hadis, dan karya-karya standar dalam fikih maupun tasawuf. Atas dasar ini, dengan ditulis selama beberapa tahun sebagai ‘âlim, dan sebagaimana yang ia kembangkan di setiap juz, ia mengangkat beragam isu setelah memberi terjemahan Indonesia terhadap kelompok ayat tertentu. Thus, karya tersebut merupakan karya tafsir secara terminologi, dan mencakup diskursus yang terkait dengan fikih, refleksi spiritual, cerita-cerita, khotbah, dan persoalan polemis dalam isu-isu politik kontemporer. Di dalamnya, kita dapat melihat dan mendengar Hamka sebagai seorang ‘âlim, penceramah, pemikir, penulis, reformis dan tradisionalis (saat itu masih dalam artian sempit), dan orang yang memiliki wawasan, pengetahuan, serta pernyataan yang tegas.
Secara keseluruhan, karya tersebut menunjukkan keterlibatan dirinya dengan teks al-Qur’ân dalam kerangka luas ide-ide reformis sebagaimana terefleksikan dalam karya Rasyîd Ridhâ. Ia mempertahankan sebuah keyakinan bahwa al-Qur’ân diturunkan kepada Nabi secara verbal; ia menolak teosofi di balik banyaknya interpretasi sufistik atas ayat-ayat al-Qur’ân, demikian halnya dengan fantasi tafsîr ‘ilmî dengan menyatakan bahwa meskipun al-Qur’ân tidak berisi penemuan ilmiah modern, secara tersirat al-Qur’ân mendesak pembacanya untuk melakukan penemuan ilmiah. Dalam kerangka kebangkitan Rasyîd Ridhâ juga, ia menolak isrâ’îliyyât, cerita yang dibawa oleh orang Yahudi yang masuk Islam untuk menafsirkan al-Qur’ân dan untuk menggambarkan kehidupan nabi-nabi sebelum Muhammad. Secara filosofis, ia menawarkan penerimaan yang bersyarat terhadap konsep kebebasan berkehendak (free will) dan tanggung jawab manusia tanpa menjadi seorang neo-Muktazilah.[42]
Meskipun demikian, ada sedikit hal yang terbilang radikal dalam tafsirnya. Ia adalah seorang yang unggul di masa dan generasinya, dan tidak beranjak jauh melampaui pemikiran Rasyîd Ridhâ. Ia tidak memanfaatkan pertimbangan teoretis Fazlur Rahman, peletak kaidah penafsiran kontekstual al-Qur’ân, dan yang meninggal sebelum karya Abû Zayd mencapai kemasyhurannya. Namun demikian, gaya penafsirannya sekarang sudah ketinggalan.
Boleh jadi, bentuk tafsir ini sesuai zamannya. Dalam beberapa hal, ini sangat penting untuk menegaskan bahwa tafsir merupakan sebuah disiplin keilmuan yang berkembang secara konstan. Perubahan dan gerakan baru dalam kehidupan budaya dan politik Indonesia saat ini sedang menciptakan arus dan penekanan segar dalam tafsir. Jadi, ada beberapa pendekatan baru yang berasal dari refleksi yang terus berlanjut terhadap hakikat dan fungsi ilham. Seorang perlu merujuk tidak hanya pada pendekatan logika al-Qur’ân yang digagas oleh ulama' tafsir, tetapi juga pada pendekatan segar yang dirintis oleh Ulama' dalam karyanya seperti Membumikan al-Qur’an dan, lebih khusus lagi, dalam karyanya untuk mengembangkan metode al-tafsîr al-mawdhû‘î (tafsir tematik) di Indonesia dengan bukunya Wawasan al-Qur’an. Dalam kejelasan dan fokusnya, karya ini menawarkan jalan untuk meraih cakrawala baru.
*Di-Indonesia-kan oleh Syahrullah Iskandar dari Anthony H. Johns, “Qur’anic Exegesis in the Malay-Indonesian World: An Introduction Survey” dalam Abdullah Saeed (ed.), Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia, (New York: Oxford University Press, 2006), h. 17-36.
[1]G.W.J. Drewes, dalam Directions for Travellers on the Mystic Path, (The Hague, 1977), h. 198, menjelaskan bahwa Van Ronkel, salah satu kurator penting manuskrip-manuskrip asal Melayu, tidak menganggap persoalan asal-usul sebagai persoalan penting.
[2]C.C. Brown, “Sejarah Melayu” atau “Malay Annals”: A Translation of Raffles MS 18’, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society (JMBRAS) 25 (1952), h. 55-171.
[3]G.W.J. Drewes and L.F. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri, (Dordrecht-Holland, Cinnaminson-USA, 1986).
[4]Claude Guillot and Ludvik Kalus ‘La Stèle funéraire de Hamzah Fansuri’, Archipel 60 (2000), h. 3-24.
[5]Drewes, Hamzah Fansuri, h. 54.
[6]P.S. Van Ronkel, ‘An Account of Six Malay Manuscripts of the Cambridge University Library’, Bijdragen tot tie koninklijk instituut voor taal-land-en volkenkunde 46 (1896), 2 ff. Gambaran lebih detail tentang penggalan tafsir dari koleksi ini, lihat Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, (London, 2001), h. 150-151.
[7]‘Alâ’ al-Dîn ‘Alî b. Muhammad b. Ibrâhîm al-Baghdâdî al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma‘ânî al-Tanzîl, (Beirut, t.th.)
[8]Catatan lengkap tentang tulisan tokoh ini serta latar belakangnya disajikan oleh C.A.O. van Nieuwenhuize, Syamsu’l-Din van Vasai, Bijdrage tot de kennis der Sumatraansche Mystiek, (Leiden, 1945).
[9]Snouck Hurgronje, The Achehnese, (Leiden, 1996), terj. A.W.S. O’Sullivan. Lihat vol II, h. 1-4.
[10]Sebuah edisi karya berbahasa Arab-nya yang utama, Jawhar al-Haqâ’iq, termaktub dalam karya van Nieuwenhuize, Samsu’l-Din, h. 245-266.
[11]Lihat P. Voohoeve, ‘‘Abd al-Ra’uf b. ‘Alî al-Djâwî al-Fansûrî al-Sinkilî’, Encyclopaedia of Islam, ed. H.A.R. Gibb et. al., (Leiden, 1960-2004), vol. I, h. 88.
[12]‘Abd al-Ra’uf al-Singkeli, Tarjumân al-Mustafîd, (Singapore, 1370/1951).
[13]Peter G. Riddel, Transferring a Tradition: ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili’s Rendering into Malay of the Jalâlayn Commentary, (California, 1990).
[14]P.S. van Ronkel, Supplement to the Catalogue of the Arabic Manuscripts Preserved in the Museum Batavia Society of Arts and Sciences, (Batavia, 1913), h. 17-29.
[15]Mustafa Baisa, al-Abroor – Tafsir Djuz’ ‘Amma, (Surabaya, t.th.), h. 9.
[16]Diskusi tentang ini dan yang terkait dengan permasalahan di atas, lihat A.H. Johns, “The Qur’an in the Malay World: Reflections on ‘Abd al-Ra’uf of Singkel (1615-1693)”, Journal of Islamic Studies 9:2 (1998), h. 120-145.
[17]Drewes, Direction for Travellers on the Mystic Path, h. 222.
[18]A.H. Johns, “Islam in he Malay World: An Exploratory Survey with Some Reference to Quranic Exegesis” dalam A.H. Johns dan R. Israeli, Islam in Asia, vol. II: Southeast and East Asia, (Jerussalem, 1984), h. 131-132.
[19]Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the Nineteenth Century, (Leiden, 1931), h. 268-272.
[20]Snouck Hurgronje, Mekka, h. 271.
[21]Al-Nawawî, Marâh Labîd: Tafsîr al-Nawawî, (Kairo, t.th.)
[22]Judul lengkap buku ini adalah al-Futûhât al-Ilâhiyyah bi-Tawdhîh Tafsîr al-Jalâlayn li al-Daqâ’îq al-Khafiyyah yang ditulis oleh Sulaymân b. ‘Umar al-‘Ujaylî al-Azharî (w. 1790). Diterbitkan pertama kali oleh Bulaq tahun 1275/1858 yang edisinya terdiri dari empat volume, Kairo, 1318/1900. Brockelmann (Geschichte der arabischen Litteratur (GAL), vol. II, h. 353) seringkali merujuk pada al-Jamal dan karyanya, yang menggambarkannya sebagai seorang tradisionalis dan anggota sebuah kelompok yang mengembangkan penggunaan Sunnah untuk menjawab penggunaan pendapat pribadi dalam urusan agama. Informasi selanjutnya, ia merujuk pada al-Jabartî, yang mencatat bahwa ia sangat terkenal karena kesalehan dan asketismenya (ia tetap membujang), yang menjadi Khalifah Tarekat Khalwatiyah, mengajarkan tafsir, Hadis, dan fikih di sekolah-sekolah Ashrafiyah yang terkenal itu, yang didirikan oleh Sultan al-Malik al-Ashraf Barsbay pada tahun 1423.
[23]Judul lengkap buku ini adalah al-Sirâj al-Munîr fî al-I‘ânah ‘alâ al-Ma‘ârif ba‘d Ma‘ânî Kalâm Rabbinâ al-Hakîm al-Khabîr yang ditulis oleh Muhammad b. Muhammad al-Khatîb al-Syirbînî (w. 1570). Paling tidak, ada dua edisi cetaknya yang masing-masing terdiri dari empat volume: al-Khayriyyah, Kairo 1311/1893, dan Bulaq, 1285/1868. Informasi biografis tentangnya tidak banyak. Terdapat beberapa catatan dari Brockelmann (GAL, vol. II, h. 320; GAL Supplement, vol. II, h. 441) dan sebuah paragraf dalam catatan al-Dzahabî terhadap karyanya dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, 2 volume, (Kairo, 1976), vol. I, h. 338-345.
[24]Al-Nawawî, Marâh Labîd, h. 2. Nama lengkapnya adalah Abû al-Su‘ûd Muhammad b. Muhammad al-Amadî (1492-1544). Menurut al-Dzahabî (al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. I, h. 345), ia memiliki reputasi yang sangat tinggi. Lihat juga Brockelmann, GAL, vol. II, h. 438. Tafsirnya ini diterbitkan pertama kali oleh Bulaq tahun 1275/1858 dalam lima volume cetakan, Kairo, 1347/1928.
[25]Lihat A.H. Johns, “On Qur’an Exegetes and Exegesis: A Case Study in the Transmission of Islamic Learning” dalam Peter G. Riddel dan Tony Street, Islam: Essays on Scriptures, Thought and Society, (Leiden dan New York, 1997), h. 3-49.
[26]A.H. Johns, “On Qur’an Exegetes and Exegesis”, h. 39.
[27]A.H. Johns, “On Qur’an Exegetes and Exegesis”, h. 41.
[28]Baisa, al-Abroor, h. 9.
[29]J. Bluhm, "A Preliminary Statement on the Dialogue Established between the Reform Magazine al-Manar and the Malayo-Indonesian World", Indonesia Circle, (Nov, 1983), h. 35-42.
[30]Baisa, al-Abroor, h. 13-15.
[31]Miss Bluhm (lihat footnote no. 29), yang menulis disertasi tentang kontak antara kelompok al-Manâr dan ulama Indonesia, mengungkap materi ini dalam riset lapangannya di Jakarta pada 1983 ketika ia menemui anggota keluarga Soorkatie. Ia memberi materi ini kepada saya secara personal, dan saya sangat berterima kasih kepadanya.
[32]Karya awal tentang ini adalah yang dibuat oleh Mahmud Yunus, Tafsîr Qur’ân Karîm, (Jakarta: dimulai tahun 1922 dan dicetak pertama kalinya secara keseluruhan tahun 1938).
[33]Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, h. 267.
[34]Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta, 1980)
[35]H.B. Jassin, al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, Edisi II (Jakarta, 1982)
[36]H.M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an, (Ithaca, NY), h. 130 & 72.
[37]Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta, 1975), diterbitkan oleh Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, Departemen Agama Republik Indonesia.
[38]Diterbitkan oleh Bulan Bintang, (Jakarta, 1964).
[39]Versi terbaik dari edisi sepuluh volume diterbitkan oleh Pustaka Nasional Singapura tahun 1992. Edisi terbaru dicetak ulang tahun 2001.
[40]R.M. Feener, “Notes Towards the History of Qur’anic Exegesis in South-East Asia”, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 5:3, (1998), h. 47-76.
[41]Dikutip oleh Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, h. 266.
[42]Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, h. 275-276.