Apa Kabar Dunia

Mari Belajar bersama

Kamis, 19 April 2012

MACAM - MACAM IJTIHAD


secara tertulis itu ada 3 macam 
 ijtihad kepada tiga macam :

1. Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i.

2. Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.

3. Al Ijtihadul Isthishlaakhi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar ro`yu yang disandarkan atas isthishlah.

Sedangkan menurut pandangan Ulama' ada yang membagi ijtihad menjadi dua, yaitu `aqli dan syar`i.
1. Ijtihad `aqli : Apabila hujjahnya hanya akal saja dan tidak menerima untuk dijadikan sebagai syar`i yaitu hal-hal yang semata-mata `aqli aturan-aturan yang biasanya untuk menolak kemudlorotan (bahaya) dan lain-lain. Sedangkan yang
2. Syar`i : Ijtihad yang memerlukan kehujjahan yaitu sebagian dari hujjah-hujjah syar`i di dalam kelompok ini termasuk ijma`, qiyas, istihsan, ishtishlah, `urf, istishab dan lain-lain.



USHUL BELAJAR HUKUM USHUL FIQH/FIQH IJTIHAD, TAQLID, ITTIBA`, TALFIQ,


USHUL FIQH/FIQH FIiI IJTIHAD, TAQLID, ITTIBA`, TALFIQ, HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH`I



 IJTIHAD

1. Pengertian

Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada, yang berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh.

Menurut alfaqir, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at.

Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at”. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.


2. Mujtahid dan Syarat-Syaratnya

Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Membicarakan syarat-syarat mujtahid berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad.

Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat :

Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang dzonni di dalam hal-hal yang syara' dan mendahulukan yang wajib.

Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).

Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat :

Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh.

Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut.

Menurut Al-faqir mujtahid mempunyai dua syarat, yaitu :

Mengetahui apa yang ada pada Tuhan, mengetahui/percaya adanya Rasul dan apa yang dibawanya, juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat-Nya.

Hendaknya seorang yang pandai (`alim) dan bijaksana (arif) tentang keseluruhan hukum-hukum syari`at dan pembagian-pembagiannya, jalan-jalan menetapkannya, segi-segi dalil atas yang didalilinya, perbedaan-perbedaan tingkatnya, syarat-syarat yang tepat untuk itu dan tahu arah pentarjihannya ketika terdapat kontradiksi di dalamnya dan tahu pula cara menghasilkan daripadanya, mampu pula membebaskan maupun menetapkan dan tahu pula memisahkan keberatan-keberatan yang terdapat di dalamnya. Hafal al Qur`an dan Sunnah yang diperlukan.

Mengetahui nasih dan mansuh, baik yang terdapat dalam al Qur`an maupun Sunnah, agar tidak keliru berpegang kepada yang mansuh yang sudah ditinggalkan padahal ada nasihnya, sehingga menyebabkan ijtihadnya batal.

Mengetahui masalah-masalah ijma` dan kedudukan-kedudukannya, sehingga fatwanya tidak bertentangan dengan ijma` & qiyas itu.

Mengetahui segi-segi dan syarat qiyas yang mutabaroh dan `illat hukum serta jalan istimbath qiyas terhadap nash-nash, kemaslahatan-kemaslahatan manusia, dan pokok-pokok syari`at yang umum, menyeluruh, sebab qiyas itu kaidah ijtihad dan di dalamnya banyak terdiri dari hukum-hukum tafsili (terperinci).

Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, nahwu, shorof, ma`ani, bayan, dan uslub-uslub.

Alim dalam ilmu ushul fiqh.

Memahami tujuan-tujuan syari`at yang umum dalam meletakkan hukum-hukum, sebab memahami nash-nash dan menerapkannya kepada peristiwa-peristiwa tertentu tergantung kepada pemahaman terhadap tujuan-tujuan ini.


3. Tingkatan Mujtahidin

1. Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contohnya Maliki, Hambali, Syafi`i, Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-lain.

2. Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut.

SEJARAH SINGKAT THORIQOH

Awal mula Thareqat Naqsyabandiah adalah ilmu rahasia Allah yang amat suci yang kemudian Allah menyuruh malaikat Jibril untuk memberikan ilmu rahasia yang sangat halus dan suci itu kepada satu-satunya hambanya yang sangat dikasihi dan sangat disucikan ruhaninya, hamba yang menjadi pilihannya, yang menjadi junjungan para nabi, rasul, para khalifah Allah Ta’ala, para waliyullah dan manusia seluruhnya, yaitu Nabi Muhammad Saw.

Ilmu rahasia ini selanjutnya oleh ulama sufi disebut dengan ilmu tasawuf atau ilmu thareqat. Dan nama-namanya mengikuti guru-guru yang mengembangkannya dari zaman Rasulullah sampai zaman sekarang ini. Tetapi agaknya dari zaman Baha’udin sampai saat ini, thareqat ini tidak banyak mengalami perubahan nama, yaitu Naqsyabandi. Yang ada setelah Baha’uddin hanya nama tambahan, seperti al Mujaddidi, al Kholidi, al Madhari, al Haqqani, dan al Amini. Bahkan ada yang menamai Thareqat Jabal Abu Qubais, sebagai tanda silsilahnya masih bersambung terus sampai Rasulullah.

Thareqat Jabal Hindi, untuk nama Thareqat Naqsyabandi yang terputus silsilahnya, atau thareqat yang mursyidnya mengangkat sendiri, bukan diangkat oleh guru

 Thareqat Pada Zaman Rasulullah (571-632 M)
Semasa Nabi masih hidup, belum dikenal bentuk perkumpulan yang didefinisikan dan dinamai Thareqat tetapi keberadaannya berbentuk sebuah kegiatan rutin, khusus, halus, dan tersembunyi berupa kegiatan dzikir-dzikir untuk Tazqiyatun Nafs dan Tazqiyatul Qolb, {pembersihan jiwa dan hati}, karena halusnya maka dinamai thareqatus Sirriyah. Kemudian dari padanya ilmu rahasia ini diwariskan kepada Abu Bakar as Shiddik.

 Thareqat Pada Zaman Khalifah-Khalifah
1. Abu Bakar as Shiddiq
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar as Shiddiq, kegiatan rutin dan halus itu dinamai Thareqatul Ubudiyah, karena wujud gambaran tingginya dan totalitas pengabdian Abu Bakar kepada Nabi Muhammad, dalam rangka mengabdi kepada Allah Swt. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

2. Salman al Farisi
Kesempurnaan Sayyidina Abu Bakar as Siddiq dalam pengabdiannya dan perjuangannya melaksanakan seluruh perintah dan amalan Nabi Muhammad, termasuk kegiatan dzikir-dzikir secara terus-menerus. Dikembangkan dan diamalkan dzikir-dzikir khusus dan halus tersebut. Kemudian dinamai dengan Thareqatus Siddiqiyyah. Thareqat ini namanya populer sampai pada masa Abu Yazid al Bustami. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

3. Qasim ibn Muhammad ibn ‘Abi Bakar al Shiddiq.
Qutubul Aulia’, Imam Thareqatus Siddiqiyah. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

4. Ja’far as Shidiq (w.148/765).
Sayyidina Ja’far as Shiddiq ra cucu Sayyidina Qasim ra dari Ibundanya. Diangkat menjadi Imam Syiah ke-6 menggantikan ayahandanya Muhammad Baqir sebagai Imam Syiah ke-5, cucu Sayyidina Ali ra. selama proses belajar. Pengaruh Ibundanya paling merasuk pada ilmunya. Yang bernasabkan pada kakeknya Sayyidina Qasim, dan secara politis mengikuti jejak ayahandanya konsekuensi putra seorang Imam syiah. Khalifah-khalifah Ja’far ash Soddiq yang mengemban Thareqat ash Shiddiqiyah dan menjadi penyambung antara Imam Ja’far dan Abu Yazid al Busthami adalah Sayyidina Imam Musa al Qadim, Sayyidina Imam Ali Ridho dan Syaikh Ma’ruf al Kharhi. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan secara barzakhi kepada :

5. Abu Yazid Thaifur al Bisthami (w.260/874).
Auliya’ Akbar, al Qutub. Karya-karyanya yang dieksplorasi dari pengalaman ruhaninya, merupakan salah satu dasar doktrin Wahdatul al Wujud, Wahdatul al syuhud, Ana al Haq dan Rabbani. Doktrin ini juga dianut oleh Abu Hafas al Naisabur, Abu Sa’id al Harraz, Junaid al Baghdadi, at Thusi, al Kalabasi, al Hallaj, Ibnu Arabi, Suhrawardi dan Maulana Rummi sedangkan Wahdatul al syuhud dianut oleh sufi al Makki, Muhasibi al Sulami, Hujwiri, al Qusyairi dan al Ghazali serta Abdul Qadir Jilani dan Ahmad Rifa’i. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan secara barzakhi kepada :


6. Abul Hasan al Kharaqani (w.425/1034).
Inisiasi atau bai’at Abu Yazid kepada Abu Hasan dilakukan secara gaib atau melalui Nabi Hidir yang dikenal dengan istilah bai’at uwaisi. Status kemursyidannya diperoleh langsung dari Nasabut Thareqatut Thaifuriyah. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

7. Abu ‘Ali al Farmadzi (w.535/1084),
Quthubul Auliya, ahli fiqih dan ahli haditas. Di Nesafur fatwa-fatwanya senantiasa menjadi rujukan-rujukan para juru da’wah (da’i). Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

8. ‘Abu Ya’kub Yusuf al Hamadani (w.535/1140)
8 Dasar Thareqat diperkenalkan sebagai bentuk doktrin penyempurnaan, (1) Husy dar dam, (2) nazhar bar qadam, (3) safar dar watan, (4) khalwat dar anjuman, (5) yadkard, (6) bazgasyt, (7) nigah dast, dan (8) yads dast Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada:

9. ‘Abd al Khalik al Ghujdawani (w.617/1220).
Syaikh Abdul Khalik al Fajduani nasabnya sampai kepada al Imam Malik bin Anas RA. Abdul Khalik pernah diajari praktek pelaksanaan Nafi-Isbat di laut oleh Nabi Hidir. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

10. ‘Arif al Riwgari (w. 657/1259).
Al Qutub dan ahli tafsir. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

11. Mahmud Anjir Faghnawi (w.643/1245 atau 670/1272). Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada:

12. ‘Azizan ‘Ali al Ramitani (w.705/1306 atau 721/1321). Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

13. Muhammad Baba al Sammasi (w.740/1340 atau 721/1321).
Sufi besar penganut doktrin Wahdatul al Syuhud dan Wahdatul al Wujud. Ahli Fiqih dan Tafsir al Qur’an. Ilmu agama (Fiqih, Hadits serta Tafsir al Qur’an) Baha’uddin diperolehnya atas bimbingannya. Baba Samasi orang Cina yang bermukim di Sammas dekat Tasken perbatasan dengan Cina. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

14. Amir Sayyid Kulal al Bukhari (w.772/1371).
Sufi besar, seorang ahli Fikih dan Ilmu Kalam, Wali al Qutub serta ahli tembikar terkenal yang produksinya tersebar ke Asia (Cina) dan Eropa. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

15. Muhammad Baha’ al Din Naqsyaband (717-791/1318-1389).
Auliya Allah yang Qutub, Penasehat Utama Sultan Khalil di Samarqand, fatwa-fatwanya menjadi rujukan Hakim-Hakim Agung dalam memutuskan perkara. Karena kebesaran namanya, Thareqat yang di pimpinnya tersebar dengan cepat dan termasyhur serta memiliki pengikut yang sangat banyak dan tersebar ke seluruh dunia. Kemudian darinya diwariskan kepada :

16. Maulana Syaikh Muhammad al Bukhari al Khawarizumi QS.
Penghulu di Bhukara’ tempat kelahiran seorang perawi hadits Bukhari Muslim. beliau adalah al Qutub. Pengajar Hadits di beberapa sekolah. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

17. Maulana Syaikh Ya’kub al Jarkhi al Hasyary QS.
Wali Qutub dan ahli Tafsir al Qur’an. Bersama Kwaja Muhammad Parsa yang juga murid Baha’uddin Naqsyabandi telah membuat Tafsir Qur’an. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

18. Syaikh Nasiruddin Ubaidullah al Ahrary as Samarqandi
Salah satu Wali Qutub yang amat kaya. Kekayaannya pernah menutup hutang-hutang kerajaan Samarqan, membantu kerajaan Mugol India keluar dari krisis keuangan. Setiap tahun berzakat 60.000 ton gandum. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

19. Maulana Syaikh Muhammad az Zahid QS. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

20. Maulana Syaikh Darwisy Muhammad as Samarqandi QS.
Anak saudara perempuan Syaikh Muhammad az Zahid QS. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

21. Maulana Syaikh Muhammad al Khawajiki al Amkany as Samarqandi QS.
Putra Syaikh Darwisi Muhammad as Samarqandi QS. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

22. Syaikh Muayyiduddin Muhammad al Baqibillah QS.
Al Qutub. Asal Turki yang kemudian bermukim di India. Membangun Madrasah termegah dan terbesar di masanya. Kemudaian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :

23. Syaikh Akhmad al Faruqi as Sirhindi QS.
Murid kesayangan Baqibillah. Ketika al Faruqi mulai belajar kepadanya dan berbaiat, baqibillah telah berfatwa al Faruqi adalah orang yang akan menggantikan dirinya. Menjelang kematiannya, Baqibillah memohon untuk menunda ruhnya dicabut sampai menunjuk al Faruqi sebagai penggantinya, ketika al Faruqi sedang bepergian jauh. Ia seorang yang ahli Fiqih dan hafal al Qur’an. ia adalah Mujadid Millenium ke dua. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada :


SEJARAH TASWWUF III

Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam bersabda dalam suatu hadits, “Tidak ada perbedaan antara Arab dan non-Arab kecuali dalam hal kebajikan.” Tempat ini membuat orang dari berbagai ras dan bangsa berkumpul bersama. Sufi memegang teguh Sunnah dan Syari’ah. Sejarah mereka penuh dengan keberanian dan perjuangan di jalan Allah, jihad fi-sabiil-illah, meninggalkan negeri mereka untuk menyebarkan Islam dengan satu metode, yaitu cinta.

Mereka mengajarkan manusia untuk mencintai sesamanya tanpa perbedaan ras, usia dan gender. Mereka memandang setiap orang berhak untuk dihormati terutama wanita, orang yang teraniaya, dan fakir miskin. Sufi bagaikan bintang yang terang yang menyinari seluruh dunia, memberi semangat kepada semua orang untuk berjihad fi sabiil-illah, berjuang di jalan Allah, menyebarkan Islam, menolong fakir miskin, tuna wisma, dan mereka yang membutuhkan pertolongan baik jauh maupun dekat. Dengan Imannya, mereka bisa mencapai Asia Tengah sampai India, Pakistan, Tashkent, Bukhara, Daghestan, dan daerah-daerah lain seperti Cina, Malaysia, Indonesia dan lain-lain. Orang-orang Sufi sejati tidak pernah menyimpang dari Syari’ah dan Sunnah Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam serta al-Qur’an.

Dua sumber utama Tasawwuf adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam, sebagaimana yang disampaikan lewat pemahaman Islam Sayyidina Abu Bakar radhiy-Allahu ‘anhu dan Sayyidina ‘Ali karram-Allahu wajhahu yang dianggap sebagai dua guru utama seluruh aliran Sufi. Sayyidina Abu Bakar radiy-Allahu ‘anhu mewakili satu aliran Tasawwuf. Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam bersabda mengenai beliau, “Apa yang Allah tuangkan ke dalam hatiku, aku tuangkan pula ke dalam hati Abu Bakar.”

“ma sab-Allahu fee sadrii syayan illa wa sabatuhu fii sadrii Abi Bakrin.” (Hadiqa Nadiah, diterbitkan di Kairo, 1313 H. hal.9). Allah berfirman dalam al-Qur’an (9:40), “…sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengeluarkannya (dari Makkah), dia tidak mempunyai siapa-siapa kecuali seorang teman dan keduanya berada dalam gua.” Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam bersabda dalam hadits lain, “Matahari tidak pernah bersinar lebih cerah pada orang-orang selain Abu Bakar radiy-Allahu ‘anhu, kecuali pada para Nabi.” (lihat Suyuti, Sejarah para Kalifah, Kairo, 1952. Hal. 46). Banyak hadits lain yang menerangkan posisi Abu Bakar as-Siddiq radiy-Allahu ‘anhu. Aliran lain dalam Tasawwuf berasal dari Sayyidina ‘Ali karram-Allahu wajhahu, mengenai beliau banyak sekali hadits yang bila dipaparkan akan memakan banyak halaman.

Sunnah Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam dan Syari’ah yang melambangkan kewajiban, serta Ihsan yang melambangkan perilaku baik, semuanya melekat menjadi karakter para ulama Sufi, mulai dari Sayyidina Abu Bakar radiy-Allahu ‘anhu yang menjadi kalifah Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam pertama, sampai sekarang.
Pada abad ke-13 Hijriah (± 19 M) sebuah madzhab yang dipengaruhi oleh ajaran dua ulama Islam dari abad ke-7 Hijriah (± 14 M) muncul.

Madzhab ini adalah madzhab baru dalam Islam, yang walaupun mempunyai dasar madzhab Hanbali tetapi ternyata terdapat perbedaan ‘aqidah. Walaupun madzhab ini juga menerima Tasawwuf, tetapi dia lebih banyak mempunyai batasan dan mempunyai interpretasi yang sempit tentang apa yang dibolehkan dalam Islam dibandingkan dengan keempat madzhab yang pertama. Akhir-akhir ini para pengikut madzhab ini melakukan penyimpangan terhadap ajaran asli dari sang pendiri madzhab dan sering membesar-besarkan secara ekstrim dan membuat tuduhan kepada ummat Muslim berdasarkan fatwa dari ulama-ulama modern yang hanya memiliki pemahaman Islam secara harfiah dengan sudut pandang yang terbatas, namun menjadi penentang bagi kelompok mayoritas Muslim. Keyakinan baru ini sekarang berkembang dengan pesat dengan dukungan minoritas Muslim yang mempunyai keyakinan sendiri dan interpretasi sendiri terhadap al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam. Orang-orang ini sekarang menentang Tasawwuf dan mencoba untuk meremehkan semangat dan usaha keras para Sufi sejati dalam menyebarkan Islam ke seluruh dunia selama kurun waktu 1300 tahun ke belakang.

Sebagai ummat Muslim, Kami menghormati semua madzhab dalam Islam tanpa diskriminasi. Tetapi sebaliknya Kami tidak menerima orang yang memaksakan ide-idenya kepada Kami, karena Kami mengikuti keyakinan yang telah diterima oleh mayoritas Muslim, yang menerima Tasawwuf.
Di Amerika, Kami terkejut melihat sejarah dan kebudayaan Islam selama 1400 tahun disangkal dan ditolak oleh sebagian kecil ulama dengan cara pandang mereka sendiri, seolah-olah selama 1400 tahun para ulama pengikut Sufi dan keempat madzhab tidak ada dan tidak pernah ada.

Sebagai informasi bagi saudara-saudari, Kami sampaikan beberapa nama dari sekian nama ulama modern yang mengikuti aliran Sufi dan keempat madzhab, yang mewakili mayoritas Muslim di seluruh dunia. Mereka adalah:
Mufti Mesir, Hassanain Muhammad al-Mukhloof, anggota Liga Muslim Dunia,

Muhammad at-Tayib an-Najjar, Presiden Sunnah dan Syari’ah Internasional dan Rektor Universitas al-Azhar,
Syaikh ‘Abdallah Qanun al-Hassani, ketua Majelis Ulama Maroko dan Deputi Liga Muslim Dunia,
Dr. Hussaini Hashim, Deputi Universitas al-Azhar Mesir dan Sekjen Institut Penelitian Makkah,
as-Sayyid Hashim al-Rifai, mantan Menteri Agama Kuwait,
as-Syaikh Sayyid Ahmad al-Awad, Mufti Sudan,
asy-Syaikh Malik al-Kandhalawi, Presiden Liga Muslim Pakistan dan Rektor Universitas Asyrafiya,
Ustaz Abdul Ghafoor al-Attar, Presiden Komunitas Penulis Sudi Arabia,

Qadi Yusuf bin Ahmad as-Siddiqui, Jaksa Pengadilan Tinggi Bahrain,
Muhammad Khazraji, Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Zabara, Mufti Yaman,
asy-Syaikh Muhammad asy-Syadili an-Nivar, Rektor Universitas Syari’ah Tunisia,
asy-Syaikh Khal al-Banani, Presiden Liga Muslim Mauritania,
Syaikh Muhammad Abdul Wahid Ahmad, Menteri Agama Mesir,

Syaikh Muhammad bin Ali Habasyi, Ketua Liga Muslim Indonesia,
Syaikh Ahmad Kuftaro, GrandMufti Syria,
Syaikh Abu Saleh Mohammad al-Fattih al-Maliki, Ondurman, Sudan,
Syaikh Muhammad Rasyid Kabbani, Mufti Libanon,
asy-Syaikh as-Sayyid Muhammad al-Maliki al-Hassani, Professor Syari’ah dan guru di dua Masjid Suci, Makkah dan Madinah,

dan masih banyak lagi yang berada di sekitar Arab dan negeri-negeri Muslim lainnya.
Wahai saudara-saudariku yang tercinta, juga ayah, ibu, dan anak-anak sekalian, Islam bersifat toleran (hilm), Islam adalah cinta, Islam adalah Kedamaian, Islam adalah rendah hati, Islam adalah kesempurnaan, Islam adalah zuhud, Islam adalah Ihsan. Islam berarti hubungan antar sesama, Islam berarti keluarga, Islam adalah persaudaraan, Islam berarti persamaan, Islam adalah satu tubuh, Islam adalah ilmu pengetahuan, Islam adalah spiritualitas. Islam mempunyai pengetahuan eksternal dan internal yang sama baiknya. ISLAM ADALAH TASAWWUF, TASAWWUF ADALAH ISLAM.

Terakhir, Islam adalah Cahaya yang diturunkan Allah melalui utusan-Nya, Rasulullah Muhammad r, yang merupakan simbol kebenaran Allah. Tanpa keraguan, beliau adalah perantara bagi semua orang, dan ini telah disebutkan dalam semua buku fiqih.
Semoga Allah mengampuni Kami atas kesalahan dan kekurangan dalam presentasi ini.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Yang terlemah di hadapan Allah, hamba yang melaksanakan Sunnah Rasulullah salla-Allahu ‘alayhi wasallam,

Syaikh Muhammad Hisham Kabbani:
Presiden As-Sunna Foundation of America
607 A West Dana
Mountain View,

SEJARAH TASWWUF II

Semua pengadilan dan universitas di negri-negri Muslim menerapkan ajaran dari keempat Imam tersebut hingga sekarang. Misalnya: Mesir, Libanon, Yordania, Yaman, Djibouti, dan beberapa negara lain mengikuti madzhab Syafi’i. Sudan, Maroko, Tunisia, Aljazair, Mauritania, Libya dan Somalia mengikuti madzhab Maliki. Saudi Arabia, Qatar, Kuwait, Oman dan beberapa negara lain mengikuti madzhab Hanbali. Turki, Pakistan, India, Myanmar dan beberapa republik di Rusia mengikuti madzhab Hanafi. Negeri-negeri Muslim di Timur Jauh mengikuti madzhab Syafi’i. Sebagian besar pengadilan di negara-negara Muslim bergantung kepada fatwa-fatwa dari keempat madzhab ini dan keempatnya diterima. Imam Malik dalam ucapannya yang terkenal mengatakan, “man tasawaffa wa lam yatafaqa faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatasawaf faqad tafasaq, wa man tasawaffa wa tafaqaha faqad tahaqaq.” Yang artinya, “Barang siapa yang mempelajari Tasawwuf tanpa Fiqih, dia adalah seorang kafir zindik (heretic), dan barang siapa yang mempelajari Fiqih tanpa Tasawwuf, dia adalah seorang yang fasik (korup), dan barang siapa yang mempelajari Tasawwuf dan Fiqih, dia akan menemukan Kebenaran dan Realitas dalam Islam.”

Ketika sarana transportasi masih sulit, Islam dapat tersebar dengan cepat melalui usaha yang tulus dari para musafir Sufi yang telah terdidik dengan baik sekali dalam disiplin zuhud yang tinggi (zuhud ad-dunya) yang memang diperlukan oleh mereka yang telah dipilih Allah untuk melaksanakan tugas suci itu. Hidup mereka adalah dakwah dan mereka bertahan hidup hanya dengan roti dan air. Dengan cara hidup seperti itu mereka mampu mencapai Barat dan Timur Jauh dengan keberkahan Islam.

Di abad 6 dan 7 Hijriah, Tasawwuf berkembang dengan pesat karena diiringi kemajuan dan usaha yang keras dari para guru Sufi. Setiap kelompok dinamai menurut nama gurunya, untuk membedakan dengan kelompok yang lain. Sama halnya dengan sekarang, setiap orang memegang gelar dari universitas di mana dia menjadi lulusannya. Walau demikian tentu saja Islam tetap sama, tidak pernah berubah dari satu guru Sufi ke guru Sufi yang lain, seperti halnya Islam tidak pernah berubah dari satu universitas ke universitas yang lain.

Namun demikian di masa lalu murid sangat dipengaruhi oleh perilaku dan moral yang baik dari guru-guru mereka. Oleh sebab itu mereka mempunyai sifat tulus dan loyal. Tetapi sekarang para ulama kita ‘kering’ dan Islam diajarkan kepada mereka di universitas non-Muslim oleh para professor non-Muslim (Jika kalian pandai, kalian bisa mengerti).

Guru-guru Sufi meminta muridnya untuk menerima Allah sebagai Pencipta mereka dan Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam sebagai hamba dan utusan-Nya, menyembah Allah pada saat sendirian, meninggalkan kebiasaan menyembah berhala, bertaubat kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam, memurnikan hati mereka, membersihkan ego mereka dari kesalahan dan untuk memperbaiki aqidah mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mereka juga mengajarinya untuk bersifat jujur dan dapat dipercaya dalam segala hal yang mereka lakukan, bersabar dan takut kepada Allah, mencintai sesama, bergantung kepada Allah, dan segala sifat atau perilaku terpuji lainnya yang dianjurkan dalam Islam.

Untuk mencapai seluruh tingkatan yang tulus dan murni, mereka memberi murid-muridnya do’a yang berbeda-beda seperti yang dilakukan oleh Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam, para sahabat, dan para Tabi’iin. Mereka mengajarkan Dzikir-Allah, mengingat Allah dengan membaca al-Qur’an, do’a-do’a dan tasbiih dari Hadits serta dengan membaca Nama-Nama Allah dan sifat-sifatnya yang terdapat dalam tahlil, tahmiid, takbiir, tamjiid, tasbiih menurut ayat-ayat dan Hadits Rasulullah r mengenai dzikir (ini dapat ditemukan pada semua buku Hadits termasuk Bukhari, Muslim, Tabarani, Ibnu Majah, Abu Dawud dan lain-lain di bagian ‘Dzikir dalam Islam’ di mana setiap orang dapat merujuk ke sana).

Guru Sufi ini (ulama sejati) menolak ketenaran, jabatan tinggi, uang, dan kehidupan yang materialistik, tidak seperti ulama sekarang yang mengejar ketenaran dan uang. Mereka bersifat zahid dan hanya bergantung kepada Allah, tunduk kepada firman-Nya, “ma khalaqtul Jinni wal Insi illa li ya’ buduun.” “Kami tidak menciptakan Jinn dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Sebagai hasil dari perilakunya yang baik dan sifat zuhudnya itu, mereka mampu meyakinkan orang-orang kaya untuk membangun masjid dan panti (khaniqah, zawiyyah) untuk seluruh ummat Islam, juga membagikan makanan gratis dan penginapan gratis. Dengan demikian Islam dapat tersebar dengan cepat dari suatu negara ke negara yang lain melalui khaniqah dan masjid tersebut. Tempat seperti itu, di mana setiap orang miskin dapat makan dan menginap serta para tuna wisma dapat berteduh merupakan tempat pembersihan hati bagi orang miskin dan merupakan tempat terjalinnya hubungan antara yang kaya dengan yang miskin, antara yang hitam dengan yang kuning, merah, putih, Arab dan non-Arab.

Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam bersabda dalam suatu hadits, “Tidak ada perbedaan antara Arab dan non-Arab kecuali dalam hal kebajikan.” Tempat ini membuat orang dari berbagai ras dan bangsa berkumpul bersama. Sufi memegang teguh Sunnah dan Syari’ah. Sejarah mereka penuh dengan keberanian dan perjuangan di jalan Allah, jihad fi-sabiil-illah, meninggalkan negeri mereka untuk menyebarkan Islam dengan satu metode, yaitu cinta. Mereka mengajarkan manusia untuk mencintai sesamanya tanpa perbedaan ras, usia dan gender. Mereka memandang setiap orang berhak untuk dihormati terutama wanita, orang yang teraniaya, dan fakir miskin. Sufi bagaikan bintang yang terang yang menyinari seluruh dunia, memberi semangat kepada semua orang untuk berjihad fi sabiil-illah, berjuang di jalan Allah, menyebarkan Islam, menolong fakir miskin, tuna wisma, dan mereka yang membutuhkan pertolongan baik jauh maupun dekat. Dengan Imannya, mereka bisa mencapai Asia Tengah sampai India, Pakistan, Tashkent, Bukhara, Daghestan, dan daerah-daerah lain seperti Cina, Malaysia, Indonesia dan lain-lain. Orang-orang Sufi sejati tidak pernah menyimpang dari Syari’ah dan Sunnah Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam serta al-Qur’an.

MENGENAL SEJARAH TASAWWUF I

“Di masa Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam Tasawwuf adalah sebuah realitas tanpa nama, sekarang Tasawwuf adalah sebuah nama, tetapi hanya sedikit yang mengetahui realitasnya.”

Ummat Islam sekarang membutuhkan ulama-ulama salih yang melaksanakan ajaran Islam dengan benar (‘alimun ‘aamil), mencoba dengan segala kemampuannya untuk mengembalikan apa yang telah rusak dalam agama Islam selama bertahun-tahun ke belakang dan mereka yang mampu membedakan antara yang benar dan salah, halal dan haram, yang percaya kepada yang haqq dan melawan kebatilan, serta tidak menakut-nakuti siapa pun yang berada di jalan Allah.

Ummat Muslim sekarang tidak mempunyai orang yang bisa memberi nasihat atau membimbing mereka dalam mempelajari agama dan perilaku atau kebiasaan yang terpuji yang diajarkan dalam Islam. Sebaliknya, kita hanya melihat para ulama yang pura-pura mengetahui sesuatu, lalu berusaha menerapkan ide-ide dan aqidah Islam yang telah mereka kotori kepada setiap orang. Pada berbagai kesempatan konferensi misalnya, mereka memberikan ceramah mengenai Islam dari perspektif yang sangat sempit dan terbatas, tidak berdasarkan bimbingan para sahabat Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam atau para Imam besar Islam dan tidak pula berdasarkan konsensus sebagian besar para ulama Islam.

Jika para ulama itu mau mendengar nuraninya lebih dalam dan kembali kepada loyalitas dan kejujuran dalam Islam tanpa campur tangan pemerintah atau kekuatan lain yang mengontrol negara-negara Muslim dengan uang mereka, mengabdikan dirinya hanya untuk berdakwah dan irsyad (memberi petunjuk ke jalan yang lurus) dan berdzikir kepada Allah dan Rasulullah r, barulah situasi dalam dunia Islam akan berubah dan kehidupan Muslim akan meningkat dengan pesat. Harapan kita pada tahun 1416 H ini, Muslim di Amerika dan di seluruh dunia akan bersatu kembali, saling berhubungan dalam satu tali, yaitu

Tali Allah untuk memantapkan sunnah dan syari’ah Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam.
Jika orang-orang ingin meninjau sejarah lebih dalam lagi, mereka akan menemukan bahwa setelah perjuangan para sahabat yang gagah berani, Islam tersebar ke seluruh penjuru Timur dan Barat serta Timur Jauh melalui dakwah dan irsyad para ulama dan para pengikut Tasawwuf (Sufisme). Mereka mengikuti jejak yang benar dari para Khalifah Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam, radi-Allahu ‘anhum. Mereka adalah para ulama Sufi yang sejati, yang menopang pengajaran al-Qur’an dan Sunnah dan tidak pernah menyimpang dari keduanya.

Sifat zuhud dalam Islam (asceticism) berkembang pada abad pertama Hijriah dan dikembangkan dalam sekolah-sekolah yang mempunyai fondasi yang kuat dan menjadikan al-Qur’an dan syari’ah sebagai dasar pengajarannya, dan dijalankan oleh para ulama zahid yang dikenal sebagai Sufi. Mereka di antaranya adalah keempat Imam pertama, yaitu Imam Malik, Imam Abu Hanifa, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, begitu pula al-Imam Abi ‘Abdallah Muhammad AL-BUKHARI, Abul Husain MUSLIM bin al-Hajjaj, Abu ‘Isa TIRMIDZI. Yang lainnya di antaranya Hasan al-Basri, al-Junaid, Imam Awzai’ termasuk at-Tabarani, Imam Jalaluddin as-Suyuti, Ibnu Hajar al-Haythami, al-Jardani, Ibnu Qayyim al-Jawzi, Imam Muhyiddin bin Syaraf bin Mari bin Hassan bin Husain bin Hazam bin NAWAWI, Imam Abu Hamid GHAZALI, Sayyid Ahmad al-Farouqi as- Sirhindi. Dunia Muslim telah mengenal Islam melalui usaha para ulama zahid ini yang dikenal sebagai Sufi karena loyalitas mereka, ketulusan dan kemurnian hatinya.
Kita tidak menyembunyikan fakta bahwa pada saat itu, beberapa musuh Islam datang dan mengadakan pendekatan yang ekstrim, menggunakan nama Sufisme dan berpura-pura menjadi seorang Sufi pada saat menyebarkan ide-ide anehnya dengan tujuan untuk memusnahkan ajaran Sufi yang sejati dan meracuni pikiran Muslim mengenai Tasawwuf yang telah dianut mayoritas Muslim. Tasawwuf sejati berlandaskan zuhud dan ihsan (kemurnian hati). Imam-Imam besar ummat Muslim yang ajarannya diikuti di semua negeri Muslim, dikenal mempunyai guru-guru Sufi. Imam Malik, Imam Abu Hanifa (berguru kepada Ja’far as-Sadiq as), Imam Syafi’i (yang mengikuti Syayban ar-Rai’ ) dan Imam Ibnu Hanbal (gurunya adalah Bisyr al-Hafi ) yang semuanya menganut Tasawwuf.

APAKAH THORIQOH ITU TERMASUK SUNNAH ROSULULLOH

Tanya : Bagaimana hukumnya orang yang melarang orang masuk Thariqah Mu’tabarah seperti Thariqah Naqsyabandiyah khalidiyyah, Qadiriyah, syathariyyah dan sebagainya, dan dia berkata bahwa Thariqah tersebut tidak termasuk sunah Rasulullah Saw.?


Jawab : Kalau tujuan melarang itu ingkar kepada thariqah maka orang itu menjadi kufur.




Keterangan dari kitab:
Jaami’u al-ushuuli al-auliyaa’,hal. 136: Jauhilah ucapan, “Thariqah orang-orang sufi itu tidak diajarkan dalam Al-Quran dan hadis”, karena orang yang berkata seperti itu adalah kafir. Semua thariqah orang-orang sufi itu sesuai dengan akhlak dan perilaku Nabi Muhammad Saw.serta ajaran Allah.


Demikian jawaban yang kami berikan atas pertanyaannya, Jawaban yang kami kutip langsung dari buku ini mudah-mudahan bisa menjawab beberapa pertanyaan yang pernah diajukan oleh pengunjung, pada kesempatan lain akan kami lanjutkan lagi tanya jawabnya, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi

Nur Muhammad, Antara Makhluk dan Sang Khaliq

Hubungan yang ada antara nur Muhammad dan Allah SWT bersifat vertikal. Nur Muhammad berada pada sisi yang diciptakan, sementara Allah SWT berada pada sisi lain, yaitu sebagai Pencipta-nya.

Nur adalah cahaya. Sementara An-Nur adalah Sang Cahaya, salah satu Asmaul Husna, nama-nama Allah yang indah. Nur adalah cahaya ciptaan yang memancar dari Cahaya Allah. Nur Muhammad adalah cahaya Muhammad. Terkadang ia juga disebutkan sebagai Haqiqah Muhammadiyah, artinya sebuah realitas Muhammad atau realitas kemuhammadan yang diciptakan sebelum penciptaan alam. Nur Muhammad inilah yang pertama kali diciptakan Allah. Dan dari nur Muhammad inilah kemudian Allah Ta’ala menciptakan alam semesta dan isinya.


Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, dalam kitab Maulid-nya, Simthud Durar, menuliskan perihal nur Muhammad, “Telah sampai kepada kami dalam hadits-hadits yang termasyhur bahwa sesuatu yang awal mula diciptakan Allah SWT adalah cahaya yang tersimpan dalam pribadi agung (Muhammad SAW) ini. Maka cahaya manusia inilah makhluk pertama yang muncul dalam penciptaann-Nya. Darinya berasal seluruh wujud alam ini yang baru datang ataupun yang sebelumnya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrazaq dengan sanadnya yang bersambung sampai kepada sahabat Jabir bin Abdullah Al-Anshari, ia pernah bertanya, ‘Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang diciptakan Allah sebelum makhluk lainnya.’


Rasulullah menjawab, ‘Wahai Jabir, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan cahaya nabimu dari cahaya-Nya sebelum menciptakan yang lain.’ Dan telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Nabi Muhammad SAW telah bersabda: Aku adalah yang pertama di antara para nabi dalam penciptaan, tapi yang terakhir dalam kerasulan’.”

Yang Pertama Tercipta
Konsep nur Muhammad, bila memperhatikan hadits yang dikutip oleh Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi di atas, telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup. Dalam riwayat yang lainnya, Rasulullah juga mengatakan kepada Jabir terkait dengan hal itu, “Nur nabimu, wahai Jabir, kemudian Allah SWT menciptakan segala kebaikan dari nurku.”


Nur Muhammad itulah yang menjadikan sebagian manusia menjadi insan kamil. Namun demikian, insan kamil yang muncul di setiap zaman semenjak zaman Nabi Adam hingga akhir zaman nanti, tidak dapat melebihi keutamaan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diungkap dalam surah Al-Qalam ayat 4, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah pribadi yang agung.” Sementara sebuah hadits menyebutkan. “Aku adalah penghulu anak-cucu Adam.” Dan dalam redaksi hadits lainnya disebutkan, “Aku telah menjadi nabi dan Adam masih berada antara air dan tanah, antara ruh dan jasad.”


Redaksi kedua hadits di atas menunjukkan bahwa hubungan yang ada antara nur Muhammad dan Allah SWT bersifat vertikal, yaitu jalinan antara makhluk dengan Khalik-nya. Nur Muhammad berada pada sisi yang diciptakan, sementara Allah SWT berada pada sisi lain, yaitu sebagai Penciptanya.
Baik nur Muhammad maupun Nabi Muhammad SAW, keduanya adalah ciptaan Allah SWT. Hanya saja, yang menghubungkan keduanya adalah penghubung yang tak terpisahkan. Nur Muhammad sebagai awal penciptaan tidak dapat dipisahkan dari Nabi Muhammad SAW, yakni Muhammad yang mempunyai nur. Allah menciptakan nur Muhammad agar dari sana makhluk dan alam tercipta secara zhahir.
Secara lahiriah, nur Muhammad adalah cahaya Allah, dalam arti bahwa nur Muhammad identik dengan kesempurnaan, keutamaan, dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah Ta’ala. Sebagai pribadi, pribadi Rasulullah SAW adalah pribadi yang dapat memberi contoh dalam mewujudkan sifat, nama, dan af’al (perbuatan) Allah SWT.


Adapun secara bathiniah, kedudukan tinggi Nabi Muhammad atau nur Muhammad SAW tersirat dari sebuah hadits Nabi SAW yang maknanya, “Cahaya yang pertama diciptakan Allah adalah cahayaku.” Juga sebuah hadits lainnya, “Sesungguhnya Allah SWT, ketika menciptakan Arasy, menulis padanya La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah dengan cahaya.”
Keterangan yang tersirat dari hadits tersebut menunjukkan, nur Muhammad digambarkan sebagai nur dari Allah sedang Nabi Muhammad SAW berasal dari “nur dzat” semata. Keduanya adalah baharu, ciptaan Allah SWT.

Makna di Balik Ungkapan
Saat digambarkan nur Muhammad sebagai wujud tajalli (penampakan) Allah dan Muhammad sebagai ciptaan Allah, dari sini kelihatan bahwa Allah SWT menempatkan Nabi Muhammad SAW pada martabat yang tinggi, sebagai rasul pembawa risalah, sebagai penerang bagi alam semesta, beroleh pengetahuan akan hal yang ghaib, dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan.
Syaikh Yusuf An-Nabhani mengatakan, sejumlah nama yang ditujukan untuk nur Muhammad sebenarnya bermakna satu, tergantung dari sisi mana kita memandangnya.
Hubungan nur Muhammad dengan Nabi Muhammad SAW yang disebutkan dalam ungkapan yang berbeda tetapi bermakna satu, tampaknya menyalahi kaidah umum. Karena berdasarkan beberapa nash dan teori, Muhammad SAW diangkat oleh Allah SWT menjadi nabi dan rasul dalam usia 40 tahun, sebagai nabi terakhir, dan yang dilahirkan melalui ibu dan ayah. Sementara nur Muhammad adalah nur dari Allah SWT yang pertama kali diciptakan oleh-Nya. Pandangan itu disepakati oleh para ulama tasawuf lewat isyarat Al-Quran dan hadits.


Perbedaan tersebut tampaknya sulit dipertemukan, karena nur Muhammad adalah awal ciptaan Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir. Dalam hal ini An-Nabhani berpendapat bahwa istilah pengucapanlah yang membedakan, namun dalam prinsipnya bermakna satu. Sebagai analoginya, hal ini dapat diamati ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, terkadang Malaikat Jibril berbentuk nur dan terkadang berbentuk sesuai keadaannya.
Selain itu, seandainya syari’at Nabi Muhammad datang bersamaan awal datangnya nur Muhammad, syari’at Nabi Adam AS dan syari’at para nabi dan rasul lainnya tidak akan bermakna dan bermanfaat sebagaimana mestinya, karena tentunya akan tergeser dengan kesempurnaan syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, salah satu hikmah didahulukannya syari’at Nabi Adam AS dan nabi-nabi lainnya dan berakhir dengan syari’at Nabi Muhammad SAW adalah agar syari’at yang Allah turunkan kepada umat manusia dapat berjalan sesuai dengan kondisi dan zaman yang terus berproses sesuai sunnatullah.
Demikian pula diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang terakhir dan berbentuk manusia sebagaimana bentuk manusia lainnya. Hal tersebut dikarenakan obyek dan sasaran dakwahnya adalah juga manusia, yang sama bentuknya, sehingga tugas kenabian dan kerasulan mencapai sasaran karena sifatnya sama. Andai kata Nabi Muhammad SAW datang dalam bentuk nur Muhammad, tugas risalahnya tidak akan tercapai, karena sasaran dakwahnya berbeda bentuk dan sifatnya.


Hal itu juga sebagaimana yang disinggung dalam sebuah ayat Al-Quran, “Sesungguhnya Kami mengutusmu (Muhammad) untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.”
Berkaitan dengan ayat di atas, Syaikh Yusuf An-Nabhani mengatakan bahwa cahaya Rasulullah SAW itu bersinar meliputi seluruh alam semesta. Seperti halnya bila Rasulullah berjalan di jalan raya, maka semerbaklah bau harum darinya, sehingga aroma itu dijumpai pada setiap jalan yang telah dilewatinya.
Masalah nur Muhammad memang masalah hakikat. Masalah abstrak. Ia berada dalam ruang lingkup keimanan. Dalam hal ini, An-Nabhani kemudian merujuk pada beberapa kisah yang diabadikan dalam Al-Quran, seperti Maryam, Nabi Yahya AS, Nabi Isa AS. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang mempunyai hal (keadaan) dan maqam (kedudukan) istimewa, sehingga keadaan yang mereka alami (peroleh) tidak dapat dipahami bila hanya disimak melalui akal pikiran atau melalui pancaindra. Kisah-kisah seperti Maryam yang melahirkan tanpa suami, dan Nabi Isa AS yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, adalah kejadian yang sangat luar biasa, dan hanya dapat dipahami melalui mata hati dan keimanan.

Kesempurnaan Sifat Rasulullah SAW
Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi dalam kitab Simthud Durar-nya kemudian menerangkan proses selanjutnya dari perjalanan nur Muhammad itu, “Dan manakala kebahagiaan abadi menampakkan pengamatannya yang tersembunyi mengkhususkan manusia yang dipilihnya dengan kekhususan yang sempurna, dititipkannya cahaya terang benderang ini pada berbagai sulbi dan rahim yang dimuliakan di antara penghuni jagat raya dan berpindah-pindah dari sulbi Adam, Nuh, dan Ibrahim, sehingga pada akhirnya sampailah ia ke ayahnya yang terpilih menerima kehormatan tiada terhingga, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang bijak dan berwibawa, serta ibundanya Aminah yang mulia, yang selalu merasa aman dan tenteram meskipun di tengah apa saja yang menggelisahkan....”
Setelah kelahirannya, akhlaq mulia Rasulullah SAW mengundang decak kagum setiap mata yang memandangnya dan setiap telinga yang mendengar perangai kebaikannya. Kesemuanya itu tak lain merupakan cerminan dari kesempurnaan sifat yang telah Allah pantulkan dari sifat-sifat-Nya yang sempurna.
Namun secara lahiriah, sebagaimana yang diterangkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, seorang muhaddits kenamaan, kesempurnaan dan keutamaan akhlaq Nabi Muhammad SAW itu lantaran hati yang bersih dan suci yang dimilikinya. Berdasarkan keterangan Al-Maliki, kebersihan dan kesucian hati Nabi Muhammad SAW melalui empat proses pembedahan (pembersihan).


Pertama, ketika Nabi Muhammad SAW masih kecil. Kedua, ketika Nabi Muhammad SAW berusia sepuluh tahun. Hikmah pembedahan hati Nabi Muhammad pada usia ini karena pada usia sepuluh tahun adalah usia mendekati dewasa.
Ketiga, pada saat dada Nabi Muhammad SAW dibelah ketika Malaikat Jibril datang membawa wahyu saat beliau diangkat menjadi nabi. Hikmah pada pembedahan ini adalah menambah kemuliaan padanya, serta kekuatan dan persiapannya menerima dan menyampaikan wahyu yang akan disampaikan kepadanya, agar beliau kuat serta dalam kedudukan yang sempurna dan suci.
Yang terakhir, atau yang keempat, adalah saat dada Nabi Muhammad SAW dibelah pada malam Isra. Hikmah pada pembedahan ini adalah mengangkat derajat kemuliaan Nabi Muhammad SAW serta kesiapannya berada di sisi Allah SWT.

Keterangan Al-Maliki di atas sejalan dengan konsep nur Muhammad yang identik dengan kesempurnaan, kemuliaan, dan keagungan. Dengan demikian, ungkapan nur Muhammad selalu dihubungkan dengan pribadi Nabi Muhammad SAW, karena Nabi Muhammad-lah yang memiliki keadaan dan sifat sempurna tersebut, baik secara jasmaniah maupun ruhaniah.

BENARKAH KITA BAI'AT LANGSUNG KEPADA ALLOH

Benarkah Baiat Langsung Kepada Allah? (Tanpa Melalui Thariqah)

Tanya : Ada seorang kyai yang mengatakan ; “jika kamu sudah punya amalan atau wirid yang sudah bisa kamu lakukan secara istiqamah maka niatlah dalam hati baiat kepada Allah untuk mengamalkan”. Artinya dengan kata lain; baiat itu tidak harus melalui Thariqah”.
Benarkah pernyataan kyai seperti itu? Apa alasannya?

Jawab : Apabila perkataan tersebut ada niat ingkar kepada syarat dan amaliah thariqah terutama bai’ah maka tidak benar dan haram, dan yang mengucapkan terkutuk tidak mendapatkan kebahagiaan selama-lamanya.
Keterangan dari kitab: Taqriib al-Ushuul oleh Syaikh Zaini Dahlan, hal 81.

Syaikh Abu Utsman mengatakan, “Allah melaknat orang yang mengingkari Thariqah. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah mengucapkan “Laknat Allah atas orang yang mengingkari thariqah tersebut”. Syaikh Abu Utsman juga pernah mengatakan,”Siapa yang menentang thariqah maka ia tidak beruntung selamanya.”

Usman bin Affan

Usman bin Affan

Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah SWT), banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara.

Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh diambil oleh kaum muslimin.

Dimasa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta.

Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa usman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur'an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:..."Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya, bahkan tidak mengijinkan orang mendekatinya. Ketika ia rebah berlumur darah, mushaf (kumpulan lembaran) Al-Qur'an itu masih tetap berada ditangannya.

Ali bin Abi Talib

Ali bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus tentang ini dari Nabi SAW. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya:..."dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami." (QS.Al Kahfi:65).

Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri yang menambal pakiannya yang robek.

Suatu waktu ia tengah menjinjing daging di Pasar, lalu orang menyapanya:"Apakah tuan tidak malu memapa daging itu ya Amirulmukminin (Khalifah)?" Kemudian dijawabnya:"Yang saya bawa ini adalah barang halal, kenapa saya harus malu?".

Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali. Katanya:"Di antara para sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin Abi Talib memiliki keistimewahan tersendiri dengan pengertian-pengertiannya yang agung, isyarat-isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal-hal yang luhur, dan sebagainya yang menjadi pegangan serta teladan para sufi.

Kehidupan Para Ahl as-Suffah. Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl as-Suffah. Mereka ini tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara Ahl as-Suffah itu ialah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu'az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu'aim al-Isfahani, penulis tasawuf (w. 430/1038) menggambarkan sifat Ahl as-Suffah di dalam bukunya Hilyat al-Aulia'(Permata para wali) yang artinya: Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju.

Diantara Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai keistimewahan sendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada mereka seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tentang ciri-ciri orang Munafik. Jika ia berbicara tentang orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian Huzaifah tentang ciri-ciri orang munafik.

Adapun Abu Zar al-Giffarri adalah seorang Ahl as-Suffah termasyur yang bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe (tokoh pertama) fakir sejati. Abu Zar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia diberikan sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada para fakir miskin.

Begitu juga Salman Al Farisi salah seorang Ahli Suffah yang hidup sangat sederhana sampai akhir hanyatnya. Beliau merupakan salah satu Ahli Silsilah dari Tarekat Naqsyabandi yang jalur keguruan bersambung kepada Saidina Abu Bakar Siddiq sampai kepada Rasulullah SAW.

Mudah-mudahan tulisan di atas menjadi informasi yang bermanfaat bagi kita semua sehingga tidak ragu dalam berguru mengamalkan ajaran Tasawuf yang merupakan inti sari Islam yang bersumber dari ajaran Rasulullah SAW dan kemudian ajaran mulia ini diteruskan oleh Para Sahabat, Tabi'in, Tabi Tabi'in serta para Guru Mursyid sambung menyambung dengan tetap menjaga kemurniannya sehingga ajara tasawuf zaman Rasulullah SAW sampai kepada kita tetap dalam keadaan murni. Para Guru Mursyid adalah khalifah Rasulullah SAW ulama Warisatul Anbiya yang menjaga amanah Rasulullah SAW, tidak berani menambah dan mengurangi sehingga ilmu Tasawuf itu tetap terjaga sepanjang zaman.

Kehidupan Empat Sahabat Nabi Muhammad SAW.

Sumber lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti kehidupan rohani dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya.

Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW karena mereka menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan oleh Nabi SAW. Oleh karena itu Al-Qur'an memuji mereka: " Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) diantara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". (QS.At Taubah:100).

Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya, Kitab al-Luma', tentang ucapan Abi Utbah al-Hilwani (salah seorang tabiin) tentang kehidupan para sahabat:" Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu kepada Allah lebih mereka sukai dari pada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya pada rezeki Allah SWT."

Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan panutan para sufi secara rinci adalah sbb:

Abu Bakar as-Siddiq.

Pada mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia memberikan harta bendanya dijalan Allah SWT. Abu Bakar lah yang pertama menjawab:"Saya ya Rasulullah." Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta bendanya untuk jalan Allah SWT. Melihat demikian, Nabi SAW bertanya kepada: "Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?" ia menjawab:"Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya."

Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya:"Kenapa anda berdua sudah ada di mesjid?" Kedua sahabat itu menjawab:"Karena menghibur lapar."

Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata:"Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu." Oleh karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai "pakaiannya." Ia menghiasi dirinya dengan sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan zikir.

Umar bin Khattab

Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata:" Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar." Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.

Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal (Pembendaharaan Negara) diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya.

Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan perasaan terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang.

Disebutkan dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan malamnya beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan wajahnya kepada Allah SWT.


(BERSAMBUNG)


Usman bin Affan

Tasawuf adalah Ajaran Rasulullah SAW dan Para Sahabat

Saya pernah menulis tentang dukungan para ulama besar Fiqih pendiri 4 mazhab besar dan juga pendapat ulama besar zaman sekarang seperti Syekh Yusuf Al-Qardawi dalam dua tulisan yaitu PENYAKSIAN ULAMA'FIQH TENTANG PERAN PENTING AJARAN TASAWWUF ...dan khusus pendapat Syekh Yusuf Qardawi terhadap tasawuf bisa di baca di FATWA. AL-QORDLI TENTANG TASAWWUF 



kehidupan Rasulullah dan Para Sahabat yang menjadi sumber ajaran tasawuf untuk meyakinkan kita semua bahwa ajaran tasawuf adalah benar-benar ajaran Rasulullah SAW.



Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan perilaku nabi Muhammad SAW.

Peristiwa dan Perilaku Hidup Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat (mengasingkan diri) di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Pengasingan diri Nabi SAW digua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan Isra Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW telah sampai ke Sidratulmuntaha (tempat terakhir yang dicapai nabi ketika mikraj di langit ke tujuh), bahkan telah sampai kehadiran Ilahi dan sempat berdialog dgn Allah. Dialog ini terjadi berulang kali, dimulai ketika nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. Atas usul nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih yang menumbuhkan sufisme dikemudian hari.

Perikehidupan (sirah) nabi Muhammad SAW juga merupakan benih-benih tasawuf yaitu pribadi nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia. Dalam salah satu Doanya ia memohon: "Wahai Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin" (HR.at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim).

"Pada suatu waktu Nabi SAW datang kerumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan lapar dengan berpuasa" (HR.Abu Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa-i) .

Ibadah Nabi Muhammad SAW. Ibadah nabi SAW juga sebagai cikal bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi SAW mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi SAW demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya: "Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?" nabi SAW menjawab:" Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur" (HR.Bukhari dan Muslim).

Selain banyak salat nabi SAW banyak berzikir. Beliau berkata: "Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali" (HR.at-Tabrani).

Dalam hadis lain dikatakan bahwa Nabi SAW meminta ampun setiap hari sebanyak seratus kali (HR.Muslim). Selain itu nabi SAW banyak pula melakukan iktikaf dalam mesjid terutama dalam bulan Ramadan.

Akhlak Nabi Muhammad SAW. Akhlak nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Akhlak nabi SAW bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya: "Dan sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung".(QS.Al Qalam:4) ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau menjawab: Akhlaknya adalah Al-Qur'an"(HR.Ahmad dan Muslim). Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan Al-Qur'an sepenuhnya.

Dalam diri nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa dalam berusaha.

Oleh karena itu, Nabi SAW merupakan tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah." ......... 




(BERSAMBUNG) 


Kehidupan Empat Sahabat Nabi Muhammad SAW.=========>



KOMENTAR FB