Apa Kabar Dunia

Mari Belajar bersama

Selasa, 31 Juli 2012

RISALAH SAHABAT ABU AYYUB AL-ANSHORIY .. kakek Al-hallaj

Dimakamkan di bawah pilar kota Konstantinopel)
Sahabat yang mulia ini bernama :KHALID BIN ZAID BIN KULAIB dari Bani Najjar. Gelarnya Abu Ayyuh, dan golongan Anshar. Siapakah di antara kaum muslimin yang belum mengenal Abu Ayyub Al-Anshary?

Nama dan derajatnya dimuliakan Allah di kalangan makhluk, baik di Timur mahupun di Barat. Kerana Allah telah memilih rumahnya di antara sekalian rumah kaum muslimin, untuk tempat tinggal Nabi-Nya yang mulia, ketika beliau baru tiba di Madinah sebagai Muhajir. Hal ini cukup membanggakan bagi Ayu Ayyub.
Bertempatnya Rasulullah di rumah Abu Ayyub merupakan kisah manis untuk diulang-ulang dan enak untuk dikenang-kenang.

Setibanya Rasulullah di Madinah, beliau disambut dengan hati terbuka oleh seluruh penduduk, beliau dielu-elukan dengan kemuliaan yang belum pernah diterima se orang tamu atau utusan manapun. Seluruh mata tertuju kepada beliau memancarkan kerinduan seorang kekasih kepada kekasihnya yang baru tiba. Mereka membuka hati lebar-lebar untuk menerima kasih sayang Rasulullah. Mereka buka pula pintu rumah masing-masing, supaya kekasih mulia yang drindukan itu sudi bertempat tinggal di rumah mereka.

Sebelum sampai di kota Madinah, beliau berhenti lebih dahulu di Quba selama beberapa hari. Di kampung itu beliau membangun masjid yang pertama-tama didirikan atas dasar taqwa. Sesudah itu beliau meneruskan perjalanan ke kota Yatsrib mengendarai unta. Para pemimpin Yatsrib berdiri sepanjang jalan yang akan dilalui beliau untuk kedatangannya. Masing-masing berebut meminta Rasulullah tinggal di rumahnya. Kerana itu Sayyid demi Sayyid menghadang dan memegang tali untuk beliau untuk membawanya ke rumah mereka.
“Ya, Rasulullah! Sudilah Anda tinggal di rumah saya selama Anda menghendaki. Akomodasi. dan keamanan Anda terjamin sepenuhnya.” kata mereka berharap.

Jawab Rasulullah, “Biàrkanlah unta itu berjalan ke mana dia mahu, kerana dia sudah mendapat perintah.”
Unta Rasulullah terus berjalan diikuti semua mata, dan diharap-harapkan seluruh hati. Bila untuk melewati sebuah rumah, terdengar keluhan putus asa pemiliknya, kerana apa yang diangan-angankannya ternyata hampa.

Unta terus berjalan melenggang seenaknya. Orang banyak mengiringi di belakang. Mereka ingin tahu siapa yang beruntung rumahnya ditempati tamu dan kekasih yang mulia ini.
Sampai di sebuah lapangan, iaitu di muka halaman rumah Abu Ayyub Al-Anshary unta itu berlutut. Rasulullah tidak segera turun dan punggung unta. Unta itu disu ruhnya berdiri dan berjalan kembali. Tetapi setelah berkeliling-keliling, untuk berlutut kembali di tempat semula.

 Abu Ayyub mengucapkan takbir karena sangat gembira. Dia segera mendekati Rasulullah dan melapangkan jalan bagi beliau. Diangkatnya barang-barang beliau dengan kedua tangannya, bagaikan mengangkat seluruh perbendaharaan dunia. Lalu dibawanya ke rumahnya

 Rumah Abu Ayyub bertingkat tingkat atas dikosongkan dan dibersihkannya untuk tempat tinggal Rasulullah. Tetapi Rasuluulah lebih suka tinggal di bawab. Abu Ayyub menurut saja di mana beliau senang. Setelah malam tiba, Rasulullah masuk ke kamar tidur.


Abu Ayyub dan istrinya naik ke tingkat atas. Ketika suami isteri itu menutupkan pintu, Abu Ayyub berkata kepada isterinya, “Celaka….! Mengapa kita sebodoh ini. Pantaskah Rasulullab bertempat di bawah, sedangkan kita berada lebib tinggi dari beliau” Pantaskah kita berjalan di atas beliau? Pantaskah kita mengalingi antara Nabi dan Wahyu? Niscaya kita celaka!”

 Kedua suami isteri itu bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat Tidak berapa lama berdiam diri, akhirnya mereka memilih kamar yang tidak setentang dengan kamar Rasulullah Mereka berjalan benjingkit-jingkit untuk menghindarkan suara telapak kaki mereka. Setelah hari Subuh, Abu Ayyub berkata kepada Rasulullah kami tidak mahu terpejam sepicing pun malam ini. Baik aku maupun ibu Ayyub”

“Mengapa begitu?” tanya Rasulullah

“Aku ingat, kami berada di atas sedangkan Rasulullah Yang kami muliakan berada di bawah. Apabila bergerak sedikit saja, abu berjatuhan mengenai Rasulullah.
Di samping itu kami mengalingi Rasulullah dengan wahyu,” kata Abu Ayyub menjelaskan “Tenang sajalah, hai Abu Ayyub. Saya lebih suka bertempat tinggal di bawah, karena akan banyak tamu yang datang berkunjung.”

 Kata Abu Ayyub, “Akhirnya saya mengikuti kemauan Rasulullah. Pada suatu malam yang dingin, bejana kami pecah di tingkat atas, sehingga airnya tumpah. Kain lap hanya ada sehelai, karena itu air yang kami keringkan dengan baju, kami sangat kuatir kalau air mengalir ke tempat Rasulullah.
Saya dan Ibu Ayyub bekerja keras mengeringkan air sampai habis. Setelah hari Subuh saya pergi menemui Rasulullah. Saya berkata kepada beliau, “Sungguh mati, saya segan bertempat tinggal di atas, sedangkan Rasulullah tinggal di bawah”.

 Kemudian Abu Ayyub menceritakan kepada beliau perihal bejana yang pecah itu. Karena itu Rasulullah memperkenankan kami pindah ke bawah dan beliau pindah ke atas.
Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub kurang lebih tujuh bulan.
Setelah masjid Rasulullah selesai dibangun, beliau pindah ke kamar-kamar yang dibuatkan untuk beliau dan para isteri beliau sekitar masjid.


Sejak pindah dari rumah Abu , Rasulullah menjadi tetangga dekat bagi Abu Ayyub. Rasulullah sangat menghargai Abu Ayyub suami isteri sebagai tetangga yang baik.
Abu Ayyub mencintai Rasulullah sepenuh hati.


Sebaliknya beliau mencintainya pula, sehingga mereka saling membantu setiap kesusahan masing-masing. Rasulullah memandang rumah Abu Ayyub seperti rumah sendiri.Ibnu ‘Abbas pernah bercerita sebagai berikut:
Pada suatu hari di tengah hari yang amat panas,
Abu Bakar pergi ke masjid, lalu bertemu dengan ‘Umar ra.
“Hai, Abu Bakar! Mengapa Anda keluar di saat panas begini?”, tanya Umar.

Jawab Abu Bakar, “Saya lapar!”
Kata ‘Umar, “Demi Allah! Saya juga lapar.”
Ketika mereka sedang berbincang begitu, tiba-tiba Rasuluflah muncul.
Tanya Rasulullah, “Hendak kemana kalian di saat panas begini?”

 Jawab mereka, ‘Demi Allah! Kami mencari makanan karena lapar.”
Kata Rasulullah, ‘Demi Allah yang jiwaku di tangan Nya! Saya juga lapar.
Nah! Marilah ikut saya.”Mereka bertiga berjalan bersama-sama ke rumah Abu Ayyub Al-Anshary.


Biasanya Abu Ayyub selalu menyediakan makanan setiap hari untuk Rasulullah.
Bila beliau terlambat atau tidak datang, makanan itu dihabiskan oleh keluarga Abu Ayyub.
Setelah mereka tiba di pintu, Ibu Ayyub keluar menyongsonu mereka.
 ‘Selamat datang, ya Nabiyalloh dan kawan-kawan!” kata Ibu Ayyub.
“Kemana Abu Ayyub?” tanya Rasulullah.
Ketika itu Abu Ayyub sedang bekerja di kebun kurma dekat rumah.
Mendengar suara Rasulullah, dia bergegas menemui beliau.

“Selamat datang, ya Nabiyallah dan kawan-kawan!” kata Abu Ayyub.
 Abu Ayyub langsung menyambung bicaranya, “Ya, Nabiyalloh! Tidak biasanya Anda datang pada waktu seperti sekarang.
Jawab Rasulullah “Betul. hai Abu Ayyub!

Abu Ayyub pergi ke kebun, lalu dipotongnya setandan kurma.
Dalam setandan itu terdapat kurma yang sudah kering, yang basah, dan yang setengah masak.
Kata Rasulullah, “Saya tidak menghendaki engkau memotong kurma setandan begini. Alangkah baiknya jika engkau petik saja yang sudah kering.”

 Jawab Abu Ayyub, “Ya, Rasulullah! Saya senang jika Anda suka mencicipi buah kering, yang basah, dan yang setengah masak. Sementara itu saya sembelih kambing untuk.Anda bertiga.”
Kata Rasulullah, “Jika engkau menyembelih, jangan disembelih kambing yang sedang menyusui.”
“Abu Ayyub menangkap seekor kambing, lalu disembelihnya. Dia berkata kepada Ibu Ayyub, “Buat adonan roti. Engkau lebih pintar membuat roti.”

Abu Ayyub membagi dua sembelihannya.
Separuh digulainya dan separuh lagi dipanggangnya Setelah masak, maka dihidangkannya ke hadapan Rasulullah dan sahabat beliau. Rasulullah mengambil sepotong gulai kambing, kemudian diletakkannya di atas sebuah roti yang belum dipotong.
Kata beliau, “Hai Abu Ayyub! Tolong antarkan ini kepada Fatimah. Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat makanan seperti ini.”

Selesai makan, Rasulullah berkata, “Roti, daging, kurma kering, kurma basah, dan kurma setengah masak.”— Air mata beliau mengalir ke pipinya.
Kemudian beliau bersabda ‘Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya!
SesungguhnYa beginilah ni’mat yang kalian minta nanti di hari kiamat.
Maka apabila kalian memperoleh yang seperti in bacalah “Basmalah”
lebih dahulu sebelum kalian makan. Bila sudah kenyang, baca tahmid:
“Segala puji bagi Allah yang telah mengenyang kan kami dan memberi kami ni’mat.”
Kemudian Rasulullah saw. bangkit hendak pulang.
Beliau berkata kepada Abu Ayyub, ‘Datanglah besok ke rumah kami!”
Sudah menjadi kebiasaan bagi Rasulullah, apabila Seseorang berbuat baik kepadanya, beliau segera membalas dengan yang lebih baik.


Tetapi Abu Ayyub tidak mendengar perkataan Rasulullah kepadanya.
Lalu dikata oleh ‘Umar, “Rasulullah menyuruh Anda datang besok ke rumahnya.”
Kata Abu Ayyub, “Ya, saya patuhi setiap perintah Rasulullah.”
Keesokan harinya Abu Ayyub datang ke rumah Ra sulullah.
Beliau memberi Abu Ayyub seorang gadis kecil untuk pembantu rumah tangga.
Kata Rasulullah, ‘Perlakukanlah anak ini dengan baik, hai Abu Ayyub!
Selama dia di tangan kami, saya lihat anak ini baik.”

Abu Ayyub pulang ke rumahnya membawa seorang gadis kecil.
“Untuk siapa ini, Pak Ayyub?” tanya Ibu Ayyub.

“Untuk kita. Anak kita diberikan Rasulullah kepada kita,”jawab Abu Ayyub.
“Hargailah pemberian Rasulullah. Perlakukan anak ini lebih daripada sekedar suatu pemberian’ “ kata Ibu Ayyub.

“Memang! Rasulullah berpesan supaya kita bersikap baik terhadap anak ini,” kata Abu Ayyub
. “Bagaimana selayaknya sikap kita terhadap anak ini, supaya pesan beliau terlaksana?” tanya Ibu Ayyub.
“Demi Allah! Saya tidak melihat sikap yang lebih baik, melainkan memerdekakannya,” jawab Abu Ayyub.
“Kakanda benar-benar mendapat hidayah Allah. Jika kakanda setuju begitu, baiklah kita merdekakan dia,” kata Ibu Ayyub menyetujui.

Lalu gadis kecil itu mereka merdekakan.
ltulah sebagian bentuk nyata celah-celah kehidupan Abu Ayyub setelah dia masuk Islam.
Kalau dipaparkan celah-celah kehidupannya dalam peperangan, kita akan tercengang dibuatnya.
Sepanjang hayatnya Abu Ayyub hidup dalam peperangan.


Sehingga dikatakan orang, “Abu Ayyub tidak pernah absen
dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum muslimin sejak masa Rasulullah
sampai dia wafat di masa pemerintahan Mu ‘awiyah. 
Kecuali bila dia sedang bertugas dengan suatu tugas penting yang lain.’’
Peperangan terakhir yang ikutinya, ialah ketika Mu awiyah mengerahkan tentara muslimin merebut kota Konstantinopel.


Abu Ayyub seorang prajurit yang patuh dan setia.
Ketika itu dia telah berusia lebih delapan puluh tahun.
Suatu usia yang boleh dikatakan usia akhir tua.
Tetapi usia tidak menghalanginya untuk bergabung dengan tentara muslimin
di bawah bendera Yazid bin Mu’awiyah. Dia tidak menolak mengharungi laut,
membelah ombak untuk berperang fi sabilillah.
Tetapi belum berapa lama dia berada di medan tempur menghadapi musuh,
Abu Ayyub jatuh sakit. Abu Ayyub terpaksa istirahat di perkemahan,
tidak dapat melanjutkan peperangan kerana fisiknya sudah lemah.
Ketika Yazid mengunjungi Abu Ayyub yang sakit, panglima ini bertanya,


“Adakah sesuatu yang Anda kehendaki, hai Abu Ayyub?”
Jawab Abu Ayyub, ‘Tolong sampaikan salam saya kepada seluruh tentara muslimin.


Katakan kepada mereka, Abu Ayyub berpesan supaya kalian semuanya terus maju sampai ke jantung daerah musuh. Bawalah saya beserta kalian. Kalau saya mati, kuburkan saya dekat pilar kota Konstantinopel!”

Tidak lama sesudah ia berkata demikian, Abu Ayyub menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Dia wafat menemui Tuhannya di tengah-tengah kancah pertempuran.
Tentara muslimin memperkenankan keinginan sahabat Rasulullah yang mulia ini.
Mereka berperang dengan gigih, menghalau musuh dari satu medan ke medan tempur yang lain.
Sehingga akhirnya mereka berhasil mencapai pilar-pilar kota Konstantinopel, sambil membawa jenazah Abu Ayyub.

Dekat sebuah pilar kota Konstantinopel niereka menggali kuburuan,
lalu mereka makamkan jenazah Abu Ayyub di sana, sesuai dengan pesan Abu Ayyub.

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Ayyub. Dia tidak ingin mati kecuali dalam barisan termpur yang sedang berperang fi sabillah. Sedangkan usianya telah mencapai delapan puluh tahun. Radhiyallahu ‘anhu. Amin!!!

RISALAH AL-HALLAJ / Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidhawi


                                                                          
Dalam dunia Tasawwuf terdapat banyak ajaran-ajaran beserta pencetus ajaran tersebut. Dalam ajaran-ajaran mereka banyak terjadi controversial ditengah-tengah masyarakat, khususnya dikalangan ulama fiqih.
Setiap manusia pasti memiliki watak, pribadi serta pola pikir yang berbeda, karena itu pasti setiap orang punya cara tersendiri untuk mendekatkan diri kepada sang Khaliq. Apalagi orang-orang tertentu yang memiliki keinginan sangat kuat serta menginginkan hubungan yang sangat khusus terhadap Allah SWT yaitu orang-orang yang mengikuti ajaran Tasawwuf. Karena itulah banyak ajaran-ajaran Tasawwuf yang berkembang yang menimbulkan controversial.



Ajaran-ajaran mereka banyak ditentang oleh kalangan pemerintahan, dengan alasan ajaran mereka menyesatkan ummat. Tetapi karena keteguhan mereka sangat kuat terhadap ajarannya, mereka tidak memperdulikan orang-orang yang menentangnya, bahkan walaupun mereka harus tebunuh atau dibunuh akibat ajaran-ajaran mereka yang dianggap menyesatkan.

Pada kesempatan kali ini kami ingin sedikit membahas salah satu ajaran Tasawwuf yaitu Hulul, ajaran ini berasal dari seorang ulama Tasawwuf yang diberi julukan Al-Hallaj. Semoga makalah kami yang ringkas ini dapat membantu kita semua dalam memahami ajaran Hulul, yang dibawa oleh Al-Hallaj, serta dapat mengambil hikmh dan pelajaran-pelajaran yang tersirat dalam kisah dan perjalanan beliau.
                                                                       



1. Riwayat Hidup Al-Hallaj



Nama lengkap al- Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidhawi (244-309 H / 857-922 M). al-hallaj yang berarti pemintal benang, lahir di Thur, sebelah timur laut Baidha’, Persia ( Iran ). Al-Hallaj adalah cucu dari seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Ayyub.
Sebelum berusia 12 tahun ia belajar menghafal Al-Quran dan menjadi seorang hafizh (Al-Quran). Ia berusaha mencari makna batiniah dari surat-surat Al-Quran dan menerjunkan diri ke dalam tasawwuf di madrasah Sahl at-Tustari menuju Basrah. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negeri Ahwaz.

Selanjutnya ia pergi ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi benama Amr Al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia juga pernah menunaikan ibadah haji di Makkah sebanyak tiga kali. Al-Hallaj menikah dengan Umm al-Husain, puteri Abu Ayyub al-Aqtha’.



  Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fiqih. Pandangan-pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan dikemukakan dibawah ini menyebabkan seorang ulama fiqih bernama Ibn daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan membrantas pahamnya. Al-Isfahani dikenal sebagai ulama fiqih penganut madzhab Dzohiri, suatu madzhab yang hanya mementingkan dzohir nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadap diri al-Hallaj, sehingga al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seoarang sifir penjara.

Dari Baghdad atas saran al-junaid ia pergi ke makkah. Disana ia menjalankan hajinya yang pertama dan menyelesaikan umrahnya selama satu tahun di halaman Masjid al-haram sambil berpuasa san berdzikir. Dalam suasana seperti ini, al-Hallaj berusaha dengan caranya sendiri menyatu dengan Allah dan mulai menyerukan penyatuan itu.

Setelah kembali ke Khuzistan, al-Hallaj mulai menanggalkan baju gamis panjang kesufiannya dan kemudian memakai jubah agar dapat berbicara dan berdakwah secara lebih leluasa. Inilah permulaan kewaliannya, dimana tujuan utamanya adalah membuat setiap orang dapat menemukan Allah di dalam hatinya sendiri. Karenanya, al-Hallaj diberi julukan Hallaj al-Asrar (pemintal hati nurani)yang membuatnya dicurigai dan di benci serta dijadikan bahan polemic di antara para sufi.

  Beberapa kaum Sunni dan sebagian orang Kristen yang menjadi pejabat Negara di Baghdad menjadi pengikutnya. Teapi kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah yang menjadi pejabat Negara menuduhnya sebagai penipu dan menentangnya. Lalu Al-Hallaj pergi ke khurasan untuk melanjutkan dakwahnya di antara koloni-koloni arab di sebelah Timur Iran dan menetap disana selama lima tahun. Kemudian Al-Hallaj kembali ke daerah Tustar, dan melalui bantuan Sekretaris Negara, Hamid Kunna’I, ia berhasil membawa keluarganya menetap di Baghdad .

  Kemudian Al-Hallaj melakukan Ibadah Hajinya yang kedua bersama 400 orang pengikutnya,tetapi beberapa kawan lamanya dari kalangan sufi menuduhnya menggunakan magic dan ilmu sihir serta membuat perjanjian dengan jin. Setelah haji keduanya ini, ia melakukan perjalanan panjang ke India dan Turkistan . Di India ia berhasil menyebarkan Islam dan mengembangkan pengaruhnya di sana .


Buktinya, sebagian kasta yang ditarik ke dalam Islam sampai sekarang masih disebut sebagai Mansuri (yang ditolong), dan sebuah makam yang diyakini sebagai makamnya di Baghdad masih didatangi oleh orang-orang Gujarat, India .

Sekitar tahun 290 H/902 M, al-Hallaj kembali ke Makkah untuk menjalankan ibadah haji yang ketiga kalinya sekaligus yang terakhir. Ia kembali ke sana dengan mengenakan muraqqa’ah ( sehelai kain tambalan yang menutupi bahunya) dan futha (sejenis kain celana India ) yang melingkar di pinggangnya.


Ketika wukuf di Arafah, al-Hallaj berdoa agar Allah menguranginya menjadi tiada, menjadikan dirinya direndahkan dan ditolak, sehingga hanya Allah yang ada dalam jiwa dan bibirnya. Setelah kembali kepada keluarganya di Baghdad al-Hallaj membangun sebuah model Ka’bah di dalam rumahnya dan berdo’a di tengah malam di samping makam, dan pada siang hari ia mengumandangkan jalan atau mabuk cintanya kepada Allah dan keinginannya untuk meninggal secara terhina demi kaumnya.

  “Wahai kaum muslim, selamatkan aku dari Allah, “Allah telah membuat darahku menjadi halal untuk engkau, maka bunuhlah aku,” seru Al-Hallaj. Seruan ini memunculkan emosi dan memicu kecemasan di kalangan kaum terdidik. Seorang dzohirin, Muhammad ibn dawud, marah ketika al-hallaj mengumumkan penyatuan mistiknya dengan Allah, ia meminta agar al-Hallaj diseret ke pengadilan dengan melakukan provokasi agar al-Hallaj dihukum mati. Tetapi ahli fiqih Syafi’I, Ibn Suraij, menyatakan bahwa inspirasi mistik itu diluar ketentuan fiqih.

Pada tahun 296 H/908 M beberapa aktivis reformasi sunni (di bawah pengaruh seorang penganut aliran Hanbali, Barbahari) melakukan perebutan kekuasaan dan mengangkat Ibn al-Mu’taz sebagai Khalifah. Tetapi usaha mereka gagal, dan Khalifah al-Muqtadir memulihkan kembali pejabat finansialnya yang Syi’ah, Ibn Furat. Akibatnya al-hallaj menerima perlakuan represif dari orang-orang yang bersikap anti Hanbali, tetapi ia berhasil menyelamatkan diri menuju Sus di Ahwaz, walaupun empat pengikutnya ditahan.
Tiga tahun kemudian al-Hallaj sendiri ditahan dan dibawa ke Baghdad sebagai korban kebencian hamid, seorang pengikut Sunni, Al-Hallaj lalu dimasukkan ke dalam penjara selama sembilan tahun.


Pada tahun 301 H/913 M, Menteri Ibn ‘Isa, saudara sepupu dari salah seorang pengikut al-Hallaj mengakhiriperadilan terhadap al-Hallaj dan pengikut-pegikutnya yang meringkuk dalam penjara dengan tuntunan dibebaskan.

Sayangnya, karena provokasi represif dari musuh-musuh al-Hallaj dengan dukungan kepala polisi yang juga lawan menteri Ibn ‘Isa, al-Hallaj dihukum tiga hari, dan di atas kepalanya dipasang plakat bertuliskan “Agen Qarmathiyah”.

Al-Hallaj kemudian dibawa ke suatu tempat di mana ia sempat memberi ceramah kepada kalangan narapidana lainnya. Pada tahun 303 H/915 M, al-Hallaj merawat khalifah yang sakit demam, dan pada tahun 305 H ia “menghidupkan kembali” pangeran putera mahkota itu. Kaum Mu’tazilah lantas mengumumkan ajaran pedukunan al-Hallaj.


Pada tahun 304-306 H, menteri Ibn ‘Isa yang mengagumi al-Hallaj digantikan oleh Ibn Furat yang anti al-Hallaj. Namun pengaruh sang Ratu mencegah menteri baru itu untuk membuka kembali peradilan terhadap al-Hallaj. Pada periode ini muncul dua karya utama al-Hallaj, yaitu Thasin al-Azal, sebuah perenungan tentang Iblis, sang monoteis yang tidak patuh, dan karya pendeknya yang berjudul Mi’raj Nabi Muhammad, yang berhenti di Sirat al-Muntaha.

Peradilan terhadap al-Hallaj dibuka kembali pada tahun 308-309/921-922 M. Latar belakang peradilan ini adalah adanya spekulasi keuangan Hamid yang ditentang oleh Ibn Isa. Untuk menghancurkan pengaruh Ibn ‘Isa, Hamid membuka kembali peradilan terhadap al-Hallaj.


Kali ini ia dibantu oleh Ibnu Mujahid, pemimpin terkemuka dari kumpulan qurra sekaligus sahabat sufi Ibn Salim dan Asy-Syibli, tetapi menentang Al-Hallaj.
Dan akhirnya pada tanggal 18 zulqa’dah tahun 309 H(921 M). al-Hallaj dijatuhi hukuman mati. Ia dihukum bunuh, dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya, dan ditinggalkan tergantung bagian-bagian tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi ulama lainnya yang bebeda pendirian. Arberry lebih lanjut melukiskan kasus pembunuhan al-Hallaj sebagai berikut.

“Tatkala dibawa untuk disalib, dan melihat tiang salib serta paku-pakunya, ia menoleh ke arah orang-orang seraya berdo’a, yang diakhiri kata-kata:


“Dan hamba-hamba-Mu yang bersama-sama membunuhku ini, demi agama-Mu dan memenangkan karunia-Mu, maka ampunilah mereka, ya Tuhan, dan rahmatilah mereka. Karena sesungguhnya, sekiranya telah Kau anugerahkan kepada mereka yang Kau telah anugerahkan kepadaku, tentu mereka takkan melakukan apa yang telah mereka lakukan. Dan bila Kau sembunyikan dari diriku yang telah Kau sembunyikan dari mereka, tentu aku takkan menderita begini. Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau-Lakukan,dan Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau kehendaki.

2. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Hulul.

Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan.

Paham bahwa Allah mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapau da sifat dasar, yaitu lahut(ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya al-thawasin.

Selain itu al-hallaj terkenal dengan ucapannya yang controversial, yaitu ana al-haqq, yang berarti “Akulah Tuhan”. Menurut Gilani Kamran, frase mistik ana al-haqq mempunyai sejarah yang panjang, baik sebagai pernyataan maupun pengalaman. Sebagai pernyatan, ana al-haqq telah dibahas dari berbagai segi, dan nuansa panteistiknya telah diperdebatkan.

Sebagai pengalaman, kebenaran kata-kata itu sering ditentang. Dalam kerangka yang diberikan oleh pemikiran spekulatif Islam (teologi), ungkapan ana al-haqq menduduki tempat yang penting dalam hubungan Tuhan dengan manusia. Namun karena alas an ini, frase tersebut menimbulkan kesulitan pada sikap teologi Islam, karena ungkapan ini menunjukan saling tumpamh tindih sifat Ilahi dan Insani dalam diri manusia.
Kemudian Syaikh Ahmad Sirhindi (1563-1624) membahas ana al-haqq dalam tradisi teologi dan menegaskan bahwa ana al-haqq merupakan pernyataan situasional, dan ungkapan ini mempresentasikan kualitas pengalaman yang otentik.


Beliau menyatakan bahwa ana al-haqq sebagai kebenaran tidaklah mengacu kepada kondisi penyatuan, tetapi pada dasarnya al-haqq sepenuhnya menyelimuti kesadaran jiwa yang menyesali diri (contemplative ego). Pada kondisi ini ana hanya mengetahui al-haqq yang menyelimutinya, dan secara bersamaan kehilangan identitasnya. Hilangnya identitas personal inilah yang membuat pernyataan al-Hallaj menjadi penting.

  Syaikh Ahmad sirhindi menegaskan bahwa ana al-haqq tidak mengacu pada penyatuan dengan esensi Tuhan atau sifat-Nya. Dengan demikian, al-haqq sebagai “Akulah Kebenaran” secara kategoris dikesampingkan oleh Syiakh Ahmad Sirhindi yang menafsirkan frase itu sebatas penegasan melalui sangkalan. Menurut beliau, ana al-haqq tidak hendak menegaskan makna “Akulah Kebenaran”, tetapi hanya pernyataan bahwa “Aku tiada, hanya Dia yang ada satu-satunya.” Tanpa penyangkalan diri, maka pengukuhan atas kebenaran Tuhan masih belum terselesaikan. Al-Hallaj sebenarnya menandaskan keyakinan-nya melalui penyangkalan diri.

Di sisi lain ana al-haqq dianggap terlalu melebih-lebihkan pengalaman subjektif, dan “Aku” personal menunjukkan kecendrungan kea rah megalomania dan egotism. “Aku” personal inilah yang menutpi al-haqq dan mengundang perhatian penuh pada dirinya sendiri. Jadi ana al-haqq sebagai sebuah pernyataan tentang pengalaman mempertahankan Dia-Engkau sebagai titik acuan dalam dirinya sendiri.


Sejarah puisi mistik telah sepenuhnya mendukung titik bacaan ini dan pengalihan arti dalam puisi mistik telah dicapai melalui acuan ini.

  Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendiriannya itulah terjadi dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang didalamnya tidak terdapat kata maupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian Dzat-Nya sendiri. Allah melihat kepada dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi seban wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk "AIN dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk 'AIN ini adalah Nabi Adam.


Setelah menjadikan Nabi Adam dengan cara it, Ia memuliakan dan mengagungkan Nabi Adam. Ia cinta pada belia, dan pada diri Nabi Adam setelah terdapat sifa-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya.


Hal ini dipahami dari QS. Al-Baqarah : 34. menurut al-hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar mau bersujud kepada Nabi Adam, karena pada diri Nabi Adam Allah menjelma sebagaimana agama Nasrani. Ia menjelma dalam diri Nabi Isa AS.
Paham bahwa Allah menjadikan Nabi Adam menurut bentuk-Nya, dapat pula dipahami dari isyarat yang terdapat dalam hadits yang artinya berbunyi sebagai berikut :
“Tuhan menciptakan Nabi Adam sesuai dengan bentuk-Nya”.
Dengan melihat ayat dan hadits diatas,.


Al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut), dan dalam diri Tyhan juga terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah “Hulul”. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-Fana sebagaiman telah disebutkan di atas.

Berdasarkan raian tersebt, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-Ittihad sebagaimana telah disebut diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin.


Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insani (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinanseorang insane telah sci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.

3. Kehidupan Hallaj Menurut Anak Laki-lakinya Hamd (Ibnu Bakuya)

  Kisah ini disampaikan secara lisan oleh Hamd ibn Husayn Ibn Mansur at Tustar. Dia menceritakan kisah sebagai berikut: Ayahku, Husayn ibn Mansur, dilahirkan di Bayda, di sebuah tempat bernama al-Tur. Di dibesarkan di Tustar, dan selama jangka waktu dua than dia menjadi murid Sahl ibn Abdullah Tustari, setelah itu dia pergi ke Baghdad.

Dia mengembara kadang-kadang hanya berpakaian bulu, sekali waktu dengan dua mantel yang diwarnai, kadang-kadang memakai jubah wool dengan surban, atau memakai jubah besar dengan lengan, layaknya seorang tentara.

Dia meninggalkan Tustar pertma kali pergi ke Bashrah dan pada waktu itu ia berusia 18 tahun. Kemudian pergi (ke basrah? Ke Baghdad?), memakai dua jubah, untuk menemui ‘Amr ibn ‘Utsman Makki dan Junayd ibn Muhammad; dan dia tinggal dekat dengan ‘Amr selama 18 bulan.


Setelah itu dia menikah di Bashrah dengan ibuku Umm al-Husayn, anak perempuan Abu Ya’qub Aqta’, tetapi Amr ibn ‘Utsman sedih tentang pernikahan ini dan pertengkaran besar terjadi antara Abu Ya’kub dan ‘Amr terhadap persoalan ini. Ayahku pergi sendiri kepada syech Junaydi Muhammad dan menceritakan kepadanya betapa sedihnya dia terhadap ketegangan yang terjadi antara  Ya’kub dan ‘Amr di Baghdad. Junayd menasihatinya agar tetap tenang dan tetap menghormati mereka, yang dia lakukan dengan sabar selama beberapa waktu lamanya.

Kemudian dia pergi ke Mekkah dan tinggal di sana selama satu tahun, dalam kunjungan yang sangat syahdu. Setelah itu dia kembali ke Baghdad sengan sekelompok sufi fuqara’. Dia menuju tempat syeh Junayd ibn Muhammad untuk mengajukan beberapa pertanyaan, yang kemudian, akan tetapi, tidak terjawab, karena dituduh hal ini termotivasi oleh hasrat misi pribadi (mudda’i). Ayahku, sakit hati karena hal ini, bersama-sama dengan ibu, ke Tustar, tempat dia tinggal selama hamper dua tahun.

Dan di sana dia menerima sambutan begitu hangat hingga banyak para sufi pada waktu itu marah dan benci kepadanya, khususnya ‘Amr ibn ‘Utsman. Yang bersikeras mengirimkan surat tentangnya kepada orang-orang penting di Khuzistan sambil menghasutnya dengan kesalahan-kesalahan fatal (‘adzoim). 

Pada tahap-tahap tertentu dan dengan sangat efektif ayahku mengesampingkan gaya sufi, menolaknya dan memakai pakaian berlengan, dan sering mengunjungi kelompok-kelompok duniawi (abna al-dunya)

Dia meninggalkan (Tustar) setelah itu dan kami tidak melihatnya lagi selama lima tahun. Selama waktu itu ia menjelajahi Khurassan dan mawaralnahr; dari sana, dia pergi ke Sijistan dan Kirman, dan setelah itu kembali ke Fars. Dia mulai berceramah di depan umum, mengadakan pertemuan-pertemuan (majlis,pl.majalis), menyeru kepada tuhan. Di Farisy, orang-orang mengenalnya sebagai Abu ‘Abdallah sang zahid (asketik) dan menulis beberapa karya untuk mereka. Kemudian dia pergi dari Fars kembali ke Ahwaz, dan memanggil ibu yang membawaku menemuinya.

Dia bercermah di depan umum dan setiap orang, baik itu sedikit maupun banyak, menyetujuinya. Dia berkata kepada para pendengarnya tentang suara hati, tentang apa yang ada di dalam hati mereka, yang dia sibakkan tirai hati mereka. Mereka menyebutnya sebagai “penyingkap suara hati” (hallaj al-asrar); dan nama hallaj, setelah itu, melekat padanya.

Kemudian dia menuju Basrah; dia tinggal di sana hanya sebentar, meninggalkan aku di Ahwaz bersama murid-muridnya. Dia pergi ke Makkah untuk yang kedua kalinya, berpakaian compang-camping dank mal (muraqqa’a) dan sebuah jubah India (futa). Banyak orang menemaninya dalam perjalanan ini, sementara Abu Ya’kub Nahrajuri, karena benci, menyebarkan fitnah terhadap dia kepada orang-orang yang sudah akrab dengan ayah.

Kemudian dia kembali ke Basrah, dia tinggal selama satu bulan dan kembali lagi ke Ahwaz. Kali ini dia membawa ibu bersamanya, juga ayah mertuaku (hama) nantinya dan sejumlah orang-orang penting dari Ahwaz, dan bersama mereka hidup bersama di Baghdad, selama satu tahun. Kemudian dia berkata kepada salah satu muridnya: “Peliharalah anakku Hamid sampai aku kembali; karena aku harus pergi ke tanah yang memuja berhala (balad al-shirk; varian:balad al-turk) untuk menyadarkan penduduknya agar kembali kepada Tuhan, semoga Dia dipuji dan disucikan.

Dia pergi dan aku tahu apa yang dia lakukan: dia pergi ke India, kemudian ke Khurasan untuk kali yang kedua; dia memasuki daerah Mawar al-nahr dan Turkestan dan pergi sejauh Ma Sin, menyeru penduduknya kepada Tuhan dan menulis karya-karya bagi mereka yang tidak sampai kepada ayahku.

Aku hanya mengetahui hal itu sebaliknya, surat-surat yang dikirimkan kepadanya dari India menyebutnya sebagai “al-Mughit”(“sang penasihat”), dari Turkestan dan Ma Sin sebagai “al-Muqit”(“sang pemelihara”), dari Khurasan sebagai “al-Mumayyiz”(“sang bijak”), dari Fars sebagai “Abu ‘Abdallah al-zahid”(“Abu ‘Abdallah yang asketis”), dan dari Khuzistan sebagai “Hallaj al-asrar”(“penyingkap suara hati”).


Juga ada sekelompok orang di Baghdad yang menyebutnya sebagai “al-Mustali”(“sang rupawan”), dan sekelompok orang di Bashrah menyebutnya “al-Muhayyar”(“sang ganas”). Dan gossip tentang dia bertambah setelah dia kembali dari perjalanannya.

Dia pergi setelah itu dan melakukan ibadah haji yang ketiga kalinya, termasuk masa dua tahun penyendirian spiritual (di Makkah). Pada saat dia kembali keadaannya sangat jauh berubah dari sebelumnya. Dia membeli perabotan di Baghdad dan membangun sebuah rumah (untuk menerima orang-orang). Dia mulai berceramah di hadapan public tentang berbagai ajaran yang hanya setengahnya aja aku dapat mengerti.

Akhirnya, Muhammad ibn dawud bangkit menentangnya, bersama sekelompok ‘ulama’(cendekiawan); dan dia melaporkan berbagai tuduhan kepada (khalifah) al-Mu’tadid.  
Setelah itu sejumlah perdebatan terjadi antara dia dan ‘Ali ibn ‘Isa karena persoalan Nasr Qusyuri; kemudian antara dia dan Syibli dan Syakh sufi lainnya.

Banyak orang berkata:dia seorang dukun. Yang lainnya:dia seorang yang gila. Namun banyak juga yang lainnya:dia seorang yang ajaib dan ibadahnya mendapat berkah dari Tuhan.
Dan pembicaran tentangnya semakin hari semakin ramai sampai kemudian pemerintah menangkap dan memenjarakannya.

Pada waktu itu Nasr Qusyuri pergi ke tempat khalifah, yang memberi kewenangan kepadanya untuk membangun sel yang terpisah untuk ayahku. Kemudian sebuah rumah kecil dibangun untuknya berhubungan dengan penjara; pintu luar dittupi dinding, dan bangunan itu sendiri dikelilingi oleh dinding, dan sebuah pintu dibuat pada sisi dalam menuju penjara.


Sekitar satu tahun dia menerima tanu dibangunan itu. Kemudian dilarang, dan dia menjalani hal ini selama lima bulan tanpa ada yang dapat mengunjunginya-kecuali pada suatu saat ketika dia melihat Abu’l-‘Abbas ibn ‘Ata Adami,’Abdallah ibn Khafif (di sana). Pada waktu itu aku menghabiskan malam-malamku bersama ibu di dalam rumah keluarga kami yang berada di luar, dan pada siang hari aku tinggal bersama ayahku. Kemudian mereka memenjarakanku dengan ayah selama dua bulan. Pada waktu itu aku berusia delapan belas tahun.

Dan malam datang ketika ayah hars diambil, di saat fajar, di dalam sel, dia shalat dua raka’at. Kemudian, setelah shalat ini selesai, dia terus-menerus menyebut kata ”ilusi….ilusi”, sampai malam berakhir. Kemudian selang beberapa lamanya dia diam, ketika dia tiba-tiba berteriak “Kebenaran-..kebenaran”. dia berdiri lagi, dan menyelubungi kepala dan tubuhnya dengan jubah, merentangkan tangannya, menuju kearah Qiblat (arah Makkah), dan tenggelam dalam ibadah ekstatik (munajat).

Pelayannya, Ahmad ibn Fatik hadir di situ,
dan terhanyut oleh doa ekstatik itu, seperti berikut ini:

Kami di sini, kami saksi-Mu. Kami mencari pelindungan
dalam kemegahan kemenangan-Mu yang abadi,
agar Engkau menunjukkan hasrat-Mu.
‘O Engkau Tuhan langit dan bumi,
Engkau yang menyinari tatkala Engkau berhasrat,
sama seperti engkau menyinari (di surga abadi, di hadapan Malaikat dan setan)
kekuatan ketuhanan-Mu dalam bentuk yang terindah”
(=bentuk manusia, dalam Adam):
bentuk tempat ruh bersemayam,
hadir di dalamnya melalui pengetahuan dan kata-kata,
berkehendak bebas dan bukti nyata (dari kehidupan).
Kemudian Engkau dianugerahi di hadapan saksi ini (=aku sendiri, Hallaj)
”Aku”-Mu, esensi substansial-Mu.

‘Bagaimana keadaanmu…. Engkau,
yang hadir di dalam hatiku setelah mereka menelanjangiku,
yang terbiasa menggunakan Diriku untuk mengaku-aku Diriku,
menyibakkan kebenaran pengetahuanku dan keajaiban-keajaibanku,
terbang bersama Kenaikan-Ku ke Mahkota Kekekalan-Ku
untuk mengucapkan kata yang telah menciptakan-Ku.
‘(Sekarang Engkau berharap) agar aku ditangkap, dipenjara,
dihukum, dibunuh, digantung di tiang salib,
abuku ditaburkan di sela-sela tiupan badai pasir
yang akan mencerai beraikannya, bersama amuk badai
yang akan menari-nari bersama abuku,
‘Apabila hanya karena partikel paling kecil (dari abuku),
sebutir biji pohon gaharu (akan terbakar di dalamnya
dengan rahmat Tuhan), niscaya telah dijanjikan kan tubuhku
yang telah berubah (dan penuh berkah) akan menjadi fondasi
yang lebih kokoh daripada pegunungan yang tak dapat dipindahkan.
Kemudian dia menyanyikan sya’ir berikut:
‘Aku sebut nama-Mu demi jiwa yang sekarang
(hadir=aku sendiri) menyaksikan “tempat” yang tiada terbatas
demi bertemu dengan Saksi Abadi.
‘Aku sebut nama nama-Mu demi hati kotor
yang telah lama disegarkan oleh awan firman,
yang dipenuhi dengan lautan kebijaksanaan.
‘Aku sebut nama-Mu demi Firman Tuhan,
sejak firman itu layu di dalam ingatanku.
‘Aku sebut nama-Mu demi Engkau yang terinspirasi
sebelum layu-yang telah disampaikan oleh orang-orang bijak dan otoriter fasih.
‘Aku sebut nama-Mu demi tanda yang telah dikumpulkan
oleh intelek-tiada sesuatu pun yang tinggal di dalam buku-buku kecuali sampah.

‘Aku sebut nama-Mu, aku bersumpah demi cinta-Mu-
demi kebajikan mereka yang kudanya terdiam dalam perjalanan;
 ‘Semua telah menjelajahi padang pasir,
tiada meninggalkan sumurpun jejak sesudahnya binasa
seperti kaum ‘Ad dan kehilangan kota Iran:
 ‘Dan di belakang mereka berkumpullah
orang-orang mengerumuni jejak mereka-lebih buta daripada hewan,
bahkan lebih buta daripada unta betina’.
Kemudian dia terdiam……
Setelah itu, pelayannya, Ahmad ibn Fatik, berkata kepadanya:
’Tuan, wasiatkan kepadaku sebuah petuah. (kemudian ayahku berkata:)
’Egomu! Jika engkau tidak mampu menundukkannya,
dia akan menguasaimu.Tatkala pagi datang,
mereka mengeluarkannya dari penjara,

dan aku melihatnya berjalan gagah dengan ikatan rantainya,
sambik berkata: ‘Sahabatku, apabila engkau tidak ingin berbuat jahat kepadaku,
biarlah aku minum dari cangkirnya sendiri,
seperti tuan rumah menjamu tamunya;
tapi segera setelah cangkir itu beralih dari satu tangan ke tangan lainnya,
Dia membuatku permadani (dari kulit)
untuk alas hukumanku dan membawakanku pedang;
mengayunlah pedang itu kepadanya yang meminum anggur dengan singa (Tinnin)
di bawah teriaknya musim panas’.
Mereka kemudian membawa dia (ke boulevard)
tempat kepala dan kakinya dipotong, setelah dihujani dengan 500 ayunan cambuk.
Kemudian dia diseret menuju tiang salib (suliba).
Dan aku mendengar dia di atas berkata dengan
Tuhan penuh hasrat: ‘O Tuhanku, aku di sini (pagi ini)
di tempat yang telah lama aku hasratkan,
tempat aku merenungi keajaiban-Mu.

O Tuhanku, karena engkau adalah saksi
bahkan bagi mereka yang berbuat jahat kepada-Mu,
mengapa Engkau tiada menjadi saksi bagi yang satu ini (-aku sendiri, Hallaj)
yang terkena kejahatan karena Engkau’.

Kemudian, aku melihat Abu Bakar Syibli,
yang mendekati tiang salib, menangis dengan keras,
dan menytir kata berikut:‘
Belumlah kami melarangmu untuk menerima tamu,
baik manusia ataupun malikat?’
Kemudian dia bertanya kepadanya:
‘Apakah Sufisme itu?’ Dia menjawab:
‘Derajat paling rendah yang dibutuhkan
seseorang untuk mendapatkannya adalah
orang yang sekarang kamu lihat’.

Syibli bertanya lebih lanjut: ‘Apakah derajat paling tinggi?’
Hallaj menjawab: ‘Itu di luar jangkauanmu;
tapi besok engkau akan melihat;
karena hal itu merupakan bagian dari misteri Tuhan
yang telah aku lihat dan tetap tiada terlihat olehmu’.
Pada waktu shalat (‘isya), utusan khalifah yang
hendak menghukum mati Hallaj datang.

Tapi dinyatakan: ‘Ini sudah terlambat; kita akan menundanya sampai besok pagi’.
Tatkala pagi datang, mereka membawanya
turun dari tiang salib dan menyeretnya untuk dibunuh.
Aku mendengar dia kemudian berteriak keras,
mengatakan dengan nada yang sangat tinggi: ‘

Yang tertinggi bagi seorang sufi adalah kesenDIRIanNya 
yang membawa kepada Dia Yang Tertunggal!’
Kemudian dia berkata” ‘Mereka yang tiada mempercayai
Hari Akhir akan ketakutan karena kedatangannya;
tapi mereka yang percaya akan hal ini menunggu dengan penuh cinta,
karena mengetahui bahwa Tuhan akan hadir’.
Ini adalah kata-katanya yang terakhir.
Kepalanya dipenggal, kemudian badannya dibungkus
dengan kulit permadani, disiram dengan minyak, dan dibakar.
Kemudian, mereka membawa abunya ke Ra’s al-Manara,
untuk diterbangkan bersama angin.

“Aku mengambil catatan ini dari Hamd ibn Husayn ibn Mansu.
Dia bercerita kepadaku:
Ahmad ibn Fatik Baghdadi, salah satu murid ayahku,
melaporkan kepadaku setelah tiga hari kematian ayahku”
‘Aku telah melihat Tuhan dalam mimpi,
sepertinya aku berdiri di hadapan-Nya.
Aku bertanya kepada-Nya:

“Tuhan, apa yang telah dilakuakn Husayn ibn Mansur kepada-Mu?
Dia menjawabku: “Aku bukakan pintu rahasia
dari salah satu nama ketuhanan (ma’na),
tapi dia menggunakannya untuk dirinya sendiri,
menyebarkan untuk kebanggan dirinya sendiri;
jadi aku jatuhkan hukuman kepadanya
seperti yang telah engkau lihat.

Aku adalah Dia yang aku cintai
Dan Dia yang aku cintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang dalam satu tubuh,
Jika engkau melihatku, engkau melihat-Nya,
Dan ketika engkau melihat-Nya,
Engkau melihat kami berdua.
Dan berdua hakikatNya satu 
Walm yakun ma'ahu Syai'un.

RISALAH IMAM MUHAMMAD AL-BAQIR

Julukan beliau Abu Ja'far,gelar Al'Baqir artinya dengan ilmunya beliau dapat membelah atau memgupas secara dalam, Cikal bakal menjadi nya suatu Keturunan kelak adalah di mulai dari beliau ,Beliau se orang alawy (Keturunan Ali),

1.Ali Abi Thalib ra suami Fatimah Azzra putri Rosululloh,(Kakeknya)
2.Al'Imam Ali Zaenal Abidin (Ayahnya)
3.Al'Imam Muhammad Al'Baqir (wafat 113 H - 732 M) di makamkan di perkuburan Al Baqik,

Istrinya ; Farwah binti Al'Qasim bin Muhammad bin Abubakar As Shidiq ra
Ayahnya ; Al'Imam Ali Zaenal Abidin
Ibunya ; Ummu Abdillah Fatimah putri Al'Imam Hasan bin Ali ibn Abi-Tholib ra (Hasan bin Abi Thalib saudara Husien bin Abi Thalib),

Anak-anaknya ;
Putra ; Al'Imam Ja'far As Shidiq, Abdullah,Ibrahim, Ali
Putri ; Zainab,Ummi Salamah

Untaian kalimat ucapan beliau;
"Tidak ada kesombongan sedikitpun kecuali akal sudah berkurang karena sedikit kemasukan kesombongan atau mungkin lebih banyak"
"Tidak ada ibadah lebih utama kecuali menahan perut dan kemaluan"
"Seburuk buruk teman adalah yang memberiperhatian kepadamu di saat kamu kecukupan dan memutuskan hubungan di saat kamu kekurangan"

Panggilan lengkap bagi piut dari Ali bin Abi Thalib ini, ialah "Abu Ja'far Muhammad Al Baqir", sering di kenal dengan panggilan Abu Ja'far saja, ataupu Al Baqir, itu bermakna: Yang Luas, di maksud di sini luas adalah ilmunya, Al Khudri di dalam karyanya "Tarikhul Tasyiri Al Islam" cetakan 1930 halaman 150 memanggilnya dengan "Kana saidu bani Hasimi fii Zamanihi",artinya "Ia adalah pemuka keluarga bani Hasyim pada jamannya".

Ibnu Sa'ad (wafat 230 H - 845 M), di dalam karyanya ; Al Thabaqat jilid II halaman 125 mengungkapkan bagai mana Abu Ja'far Al Baqir menilai Abdullah bin Umar ibn Khottob (wafat 73 H - 692 M),yakni putera Khalif Umar ibn Khottob, ia yang tak melibatkan diri pada situasi politik pada saat itu, ia putra Umar ibn Khottob lebih banyak pada menekuni bidang Agama secara mendalam,maka komentar Muhamab Al Baqir terhadapnya adalah :


"Wa-lam Yakun ahadun min Ashabi Rosulillah SAW, iza Sami'a wa-la, wa-la min Abdillahi ibn umari ibn al khattibi", artinya:"Diantara sahabat sahabat Rosululloh tidak se-orang pun bila mendengar sesuatu sabda Rasulullah SAW bersikap hati hati untuk tidak menambahi maupun menguranginya dan selanjutnya, dari pada Abdulloh bin Umar ibn Khottob". Jikalau komentarnya demikian terhadap Abdulloh putera Umar, maka tidak berbeda dengan dirinya dalam hal masalah Hadits.  


========================================================== 
dalam riwayat lain di jelaskan ...


Di Madinah, pada tahun 57 H, lahirlah jabang bayi yang kemudian tumbuh menjadi seorang ulama besar, seorang waliyullah. Ia adalah Habib Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, atau lebih dikenal dengan nama Sayid Muhammad Al – Baqir. Ia putra Sayid Ali Zainal Abidin, ulama besar, sufi dan waliyullah yang sangat terkenal, dan cucu Imam Ali bin Abi Thalib.

Tepatnya ia lahir pada hari jum’at, 12 Safar 57 H / 657 M, sekitar tiga tahun sebelum Imam Husein, cucu Rasulullah saw, gugur dalam tragedy perang saudara di padang Karbala, Iraq. Ia mendapat gelar “Al-Baqir”, yang berarti membelah bumi, karena kapasitas keilmuannya yang luar biasa, sehingga diibaratkan dapat membelah bumi, mengeluarkan segala isinya yang berupa ilmu pengetahuan.

Beliau juga dikenal sebagai ahli hadits, khususnya hadits-hadits yang diriwayatkan dari Imam Hasan, Husein, Aisyah, Ummu Salamah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id, Jabir, Samura bin Jundub, Abdullah bin Ja’far, Sa’id bin Musayyab, dan para ulama terkemika lainnya. Tradisi periwayatan hadits ini dilanjutkan oleh putranya, Ja’far Ash Shadiq, juga saudara-saudaranya yang lain.

 Nama Al – Baqir cukup mulya, karena Rasulullah saw pernah berpesan kepada salah seorang sahabat, Jabir bin Abdullah Al – Anshari, “sampaikan salamku kepadanya.”
Ketika Jabir bertemu Al – Baqir, ia pun menyampaikan salam Rasululah saw. Kemudian Al – Baqir bertanya,
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Lalu Jabir menceritakan Rasulullah saw kepadanya:

“Wahai Jabir, hampir tiba masa lahirnya putra cucu Husein. Namanya mirip namaku, ia gemar menuntut ilmu. Jika engkau melihatnya, sampaikan salamku kepadanya.”

Sangat dermawan, ramah, dan suka bersilaturrahmi, ia sering berkata, “ Tiada kesenangan dunia, kecuali menyambung tali persaudaraan dan persahabatan.” Bukan hanya itu, ia juga gemar memberi hadiah berupa makanan dan pakaian yang sangat bagus kepada saudara-saudara dan kawan-kawannya, serta orang-orang kurang mampu. Hal itu ia lakukan sejak ia masih kecil.

 Kepribadian dan reputasinya yang luar biasa dikenal secara luas, suatu hari Kholifah Hisyam bin Abdul Malik masuk kedalam masjidil Haram, Lalu Salim pengawalnya, menunjuk Al-Baqir sambil berkata kepada sang kholifah, “wahai Amirul Mukminin, lelaki ini adalah Sayid Muhammad Al-Baqir.


Banyak penduduk Iraq yang terpesona oleh kepribadiannya.” Maka, kata Amirul Mukminin, “Tanyakan kepadanya, apa yang dimakan dan diminum oleh manusia sampai setelah diputuskannya urusan mereka di hari kiamat?” Mendengar pertanyaan itu, Al-Baqir menjawab, “ Kelak segenap manusia di atas daratan yang bersih, dengan sungai-sungai yang mengalir. 


Mereka makan dan minum sampai selesainya proses perhitungan amal-amal mereka.” Kholifah Hisyam senang mendengar jawaban itu. Al-Baqir juga dikenal sangat mencintai Kholifah Abu Bakar Ash Shiddiq. 

“Siapa yang tidak mengucapkan Ash- Shiddiq dibelakang nama Abu Bakar, Allah swt tidak akan membenarkan ucapannya.” Katanya.

Selain itu ia juga sangat mengagumi Kholifah Umar bin Khattab.

“Sesungguhnya aku berlepas diri dari orang yang membenci Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khattab. Seandainya berkuasa, aku akan mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah orang-orang yang membenci mereka. Demi Allah, sesungguhnya aku mencintai mereka dan senantiasa memohonkan ampun mereka. Tidak seorangpun dari ahli baitku, kecuali ia mencintai mereka.”

Sebagai waliyullah, Al-Baqir banyak mewariskan ujaran-ujaran tasawuf. Beberapa diantaranya, misalnya :

“Tidaklah hati seseorang dimasuki unsur sifat sombong, kecuali akalnya akan berkurang sebanyak unsur kesombongan yang masuk atau bahkan lebih.”

“Sesungguhnya petir dapat menyambar seorang mukmin atau bukan, tetapi tak akan menyambar orang yang berzikir.”

“Tak ada ibadah yang lebih utama daripada menjaga perut dan kemaluan.”

“Seburuk-buruknya seorang teman ialah yang hanya menemanimu ketika kamu kaya dan meninggalkanmu ketika kamu miskin.”

“Kenalkanlah rasa kasih sayang dalam hati saudaramu dengan cara memperkenalkannya terlebih dahulu didalam hatimu.”

Suatu hari beliau berkata kepada salah seorang putranya:

“Wahai putraku, hindarilah sifat malas dan bosan, karena keduanya kunci keburukan. Sesungguhnya jika engkau malas, tidak akan banyak melaksanakan kewajiban. Jika engkau bosan, tak akan tahan dalam menunaikan kewjiban.”

Salah satu kata mutiaranya yang sangat terkenal ialah :

“Jika engkau menginginkan suatu kenikmatan dapat terus engkau nikmati, perbanyaklah mensyukurinya. Jika engkau merasa rezeki lambat datang, perbanyaklah Istighfar. Jika engkau ditimpa kesedihan, perbanyaklah membaca LA HAULA WA LA QUWWATA ILLA BILLAH. Jika engkau takut, ucapkanlah HASBUNALLAH WA NI’MAL WAKIIL. Jika engkau kagum terhadap sesuatu, ucapkanlah MASYA ALLAH, LA QUWWATA ILLA BILLAH. Jika engkau dikhianati, bacalah WA UFAWWIDU AMRII ILALLAH, INNALLAHA BASHIRUN BIL ‘IBAAD. Jika engkau ditimpa kesumpekan, ucapkanlah LA ILAAHA ILLA ANTA SUBHANAKA INNII KUNTU MINADZ DZAALIMIIN.”

Selama hidupnya, sejak masa muda hingga wafat, Al – Baqir selalu Istiqomah menunaikan shalat sunah sebanyak 150 rakaat. Sayid Muhammad Al-Baqir wafat di Madinah pada tahun 117 H / 697 M ( dalam riwayat lain, 114 H / 694 M atau 118 H / 698 M ) dan di makamkan di makam Baqi’, tepatnya di kubah Al-Abbas disamping ayahandanya.
Berdasarkan ijma' Bukhari dan Muslim putera Muhammad al-Baqir,empat orang yaitu:
1. Ja'far al-Shodiq
2. Abdullah
3. Ibrahim
4. Keduanya (2 dan 3) meninggal di waktu kecil
5. Zaid ( tidak mempunyai keturunan)
6. Ali
7. Abdullah
Keturunan Muhammad al-Baqir hanya melalui Ja'far al-Shadiq. Maka orang yang mengaku bernasab kepada Muhammad al-Baqir tanpa melalui Ja'far al-Shadiq adalah seorang pendusta.

KOMENTAR FB