Apa Kabar Dunia

Mari Belajar bersama

Sabtu, 14 April 2012

MENGAWALI HIDUP DENGAN TASAWWUF

1. Tujuan Hidup dan Tugas Manusia serta Permusuhan Syaithan

Tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, Sang Maha Pencipta sebagaimana difirmankan Allah dalam Al- Qur'an Surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 yang berbunyi "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" dan Surat Al-Baqarah ayat 21 yang mengatakan "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa". Beribadah berarti melaksanakan segala sesuatu (yang baik) dengan semata mengharap ridla Allah. Bertaqwa artinya menjalankan segala yang diperintahkan olehNya dan meninggalkan segala yang dilarang olehNya.

Selain itu, manusia diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Tugas kekhalifahan ini terpatri dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi'..." Kepemimpinan itu dimulai dengan memimpin diri (hawa nafsu)nya sendiri, keluarga, dan kemudian berkembang ke memimpin lingkungan yang lebih luas.

Kepercayaan Allah terhadap manusia ini diprotes oleh baik malaikat maupun iblis, dengan alasan yang berbeda. Malaikat protes karena melihat manusia suka saling berbunuhan; sedangkan, iblis protes karena merasa dirinya yang dibuat dari api itu lebih tinggi derajatnya dari pada manusia yang dibuat dari tanah. Setelah Allah menjelaskan, malaikat mengikuti perintah Allah dan mengakui kekhalifahan manusia, tetapi iblis tetap membangkang. Hal ini terlihat dari dialog antara Allah dengan malaikat dan iblis yang terdapat dalam Al-Qur'an.

"...... Mereka (malaikat) berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah: 30).

"Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: 'Sujudlah kamu semua kepada Adam', lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: 'Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?'". (Q.S. Al- Israa': 61).

Sedangkan syaithanpun tetap bersikukuh untuk ingkar terhadap perintah Allah ini meskipun diancam dengan Neraka Jahannam. Akan tetapi syaithan minta 'privilege' kepada Allah SWT untuk dapat hidup terus hingga Hari Qiamat dan diberi ijin untuk membujuk manusia mengikuti jalan sesatnya. Allah mengijinkan permintaan ini. Peristiwa ini diceritakan dalam Al-Qur'an Surat Al- Israa' ayat:62-65:

"Dia (iblis) berkata: 'Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar- benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil'."

"Tuhan berfirman: 'pergilah, barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya neraka jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup."
"Dan husunglah (bawalah) siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh Syaithan kepada mereka melainkan tipuan belaka." 

"Sesungguhnya hamba-hamba Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga".

Maka syaithanpun bersumpah akan menyesatkan manusia dengan cara apapun dan dari jalan manapun. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Quran Surat An-Nisaa'ayat 118-119 yang berbunyi: "... dan syaithan itu mengatakan: 'Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan saya akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan- angan kosong mereka, ..." dan Surat Al-A'raaf ayat 16-17 yang berbunyi: "Iblis menjawab: 'Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalangi-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta'at)."

2. Sasaran Strategis Syaithan adalah Hati (Qalb)

Hati merupakan inti dari manusia. Hatilah, dan bukan akal, yang menggerakkan seluruh anggota badan. Hati pulalah yang menghubungkan manusia dengan Khaliknya, Allah SWT. Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Az-Zumar 17-18: "Bahwa Allah itu tidak melihat kepada rupamu, akan tetapi melihat kepada bathinmu." Rasulullah SAW bersabda: "Bahwa dalam badan anak Adam itu ada segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, baiklah seluruh badan anak Adam itu. Apabila gumpalan darah itu rusak, rusaklah seluruh badan anak Adam itu. Perhatikanlah, bahwa yang dimaksud itu adalah hati."

Peranan hati itu demikian penting karena didalamnya Allah Ta'ala menaruh Nur yang bersifat Al-Latifah (Kelembutan), Ar- Rabbaniyah (Ketuhanan), dan Ar-Rohaniyah (Kerohanian). Dengan Nur itulah manusia dapat memperoleh ma'rifat. Apabila manusia menyelam ke dalam dirinya dan terus menerus kembali kepada hatinya, terpancarlah baginya mata air ilmu yang disebut "Ilmu Laduniah". Al-Bazari berkata: "Dalam hati itu terdapat sifat 'Al- Latifah', 'Ar-Rabbaniyah', dan 'Ar-Rohaniyah' yang bersangkutan dengan tubuh manusia. Itulah hakikat insan dan itulah yang dapat mencapai arif, tempat Nur yang ditaruh Tuhan padanya." Sedangkan Abdul Qadir Al-Jaelani berucap: "Hati itu tempat ilmu hakikat karena 'latifatur Rabbaniyyah' yang mengatur bagi sekalian anggota badan. Hati itu alat penembus hakikat..."

Sadar sesadar-sadarnya akan pentingnya peranan hati ini dalam diri manusia, syaithanpun menyerang manusia dari sasaran strategis ini, hati. Syaitan menutupi hati manusia agar hati tersebut tidak dapat menerima Nur Illahi. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Jikalau tidak bahwa syaithan-syaithan itu menutupi hati anak Adam, sungguh orang-orang yang mu'min itu melihat kepada langit malakut dan buminya." Syaithan menutup hati manusia itu dengan mengembangkan 'nafsul-ammarah bissu' (nafsu yang membawa kejahatan) yang memang sudah ada pada diri manusia. Hawa- nafsu itu mendorong pada tindak kejahatan dan pemenuhan kesenangan pribadi dan syahwat nalurinya. Para guru Tasawwuf mengatakan bahwa syaithan memasuki hati dalam badan manusia melalui sembilan lubang ya'ni kedua mata, kedua lubang telinga, kedua lubang hidung, lubang mulut, dan kedua lubang kemaluan.

Hati manusiapun menjadi buta. Abdul Qadir Al-Jaelani mengatakan bahwa penyebab yang membutakan hati itu adalah diantaranya jahil atau tidak sefaham tentang hakikat perintah Tuhan. Manusia menjadi jahil apabila jiwanya sudah dikuasai oleh sifat jiwa zalim, yang ditanamkan oleh syaithan lewat hawa nafsu manusia, seperti: syirik, zinna, takabur, irihati, dengki, kikir, melihat diri lebih utama, suka membuka rahasia orang lain, suka membawa berita adu domba, bohong, dusta, dan semacamnya yang dapat menjatuhkan manusia ke dalam lembah kehancuran dan kehinaan.

Butanya hati adalah sesungguh-sungguhnya buta manusia. Demikian Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Haj ayat 46 berbunyi: "... Karena sesungguhnya yang disebut buta itu bukanlah buta matanya, melainkan buta hatinya yang letaknya di dalam dada." Sifat jiwa yang zalim yang menyebabkan butanya hati tersebut adalah suatu penyakit yang apabila tidak segera diobati akan berakselerasi atau beranak-pinak. Hal ini ditandaskan oleh Allah SWT dalam FirmanNya di dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 9: "Dalam hati orang-orang kafir itu ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu, dan bagi mereka siksa yang pedih, karena mereka berdusta" dan Surat At-Taubah ayat 125: "Dan adapun bagi orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, maka bertambah kotorlah di atas kotorannya serta mereka meninggal dunia dalam keadaan kafir."

Demikian berbahayanya penyakit hati yang dihembuskan syaithan lewat hawa nafsu manusia ini sehingga Rasulullah SAW menyatakan jihad akbar melawan hawa nafsu ini. Hal ini dapat dilihat dari sabda-sabda beliau seperti: "Jihad yang paling utama adalah jihad seseorang untuk dirinya dan hawa nafsunya" (Bukhari dan Muslim), "Musuhmu yang paling berbahaya adalah nafsumu yang terletak diantara lambungmu", dan "Kami kembali dari jihad kecil ke jihad besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu" (yang diucapkan sekembalinya dari Perang Badr yang akbar itu). Berjuang melawan musuh yang dzahir ada kesudahannya tetapi berjuang melawan syaithan dan hawa nafsu tidak ada habis-habisnya dan tidak berkesudahan hingga akhir hayat atau hari qiamat.


3. Dzikir Membersihkan Hati

Membersihkan hati dan menolak kehendak hawa nafsu yang keji itu fardlu 'ain hukumnya. Akan tetapi, membersihkan hati itu sangat sukar karena penyakit hati (illat-illat) itu tidak terlihat oleh mata tetapi dapat ditangkap dengan hati. Untuk menandingi illat-illat tersebut harus ada Nur yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera tetapi tertangkap oleh hati. Dengan Nur tersebut keluarlah manusia dari gelap gulita ke terang benderang dengan izin Tuhannya. Cara kaum Sufi membuang penyakit hati tersebut adalah dengan riyadhah dan latihan-latihan yang antara lain meliputi bertaubat, membersihkan Tauhid, taqarrub kepada Allah, mengikuti Sunnah Nabi, memperbanyak ibadah, qiyamul lail, tidak memakan/meminum makanan/minuman yang haram, tidak menghadiri tempat yang menambah nyala api hawa nafsu, tidak melihat pemandangan yang haram, dan menahan diri dari ajakan syahwat. Riyadhah dan latihan khusus kaum Sufi untuk membersihkan hati adalah dengan DZIKRULLAH, berdzikir dengan menyebut nama Allah.

Hal ini dilandaskan pada Firman-firman Allah SWT dalam Al-Qur'an seperti: "Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni'mat)- Ku." (Al-Baqarah 152), "Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak- banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang", "Adapun orang laki-laki yang banyak berdzikrullah, demikian juga orang-orang wanita, disedikan Allah baginya ampunan dan pahala yang besar" (Al-Ahzab 35), dan "(yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang" (Ar-Ra'd 28). Landasan lain yang digunakan kaum Sufi adalah sabda-sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: "Bahwasanya hati itu itu kotor seperti besi yang berkarat dan pembersihnya adalah Dzikrullah", "Bagi setiap sesuatu ada alat pembersihnya, dan alat pembersih hati adalah "DZIKRULLAH", dan "Jauhkanlah Syaithanmu itu dengan ucapan 'LAA ILAAHA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH', karena syaithan itu kesakitan dengan ucapan kalimat tersebut, sebagaimana kesakitan unta salah seorang kamu sebab banyaknya penunggang dan banjirnya muatan diatasnya", "Dzikir kepada Allah SWT, jadi benteng dari godaan syaithan", dan "Allah berfirman 'LAA ILAAHA ILLALLAH adalah bentengKu. Barang siapa mengucapkannya, masuklah ia kedalam bentengKu. Dan barang siapa masuk ke dalam bentengku, maka amanlah ia daripada azabKu. (Hadist Qudsi)."

Pengertian umum dzikir adalah mengingat Allah; dengan demikian, setiap ibadah (baik yang fardlu maupun sunnat) seperti sholat, zakat, puasa, haji, baca Qur'an, da'wah, belajar, berusaha, dll yang dilakukan semata atas nama Allah atau dengan mengingat Allah adalah dzikir. Akan tetapi disamping melaksanakan hal-hal tersebut, kaum Sufi melaksanakan Thariqat-dzikir secara khusus yang merupakan cara pembersihan ruh pada sisi Allah (hati) secara Sufi, yaitu dengan menyebut LAILAA HA ILLALLAH atau ALLAH baik sendiri-sendiri maupun berjamaah dengan "cara tertentu."

Penulis tidak dapat menyampaikan metode Dzikrullah tersebut oleh karena hanya Guru Sufi yang mursyid dan murid-muridnya yang telah diberi "ijazah"lah yang berwenang mengajarkan metode Tha- riqat-dzikir tersebut. Yang dapat penulis sampaikan adalah bahwa para guru Sufi mengajar murid-muridnya mula-mula berdzikir dengan lidah (dzikir zahar, dzikir dengan suara keras), kemudian meningkat secara teratur kedzikir hati (dzikir khofi, dzikir yang tidak bersuara karena didalam hati) yang awalnya disengajakan kemudian menjadi kebiasaan, lantas meningkat lagi ke dzikir Sirri (dzikir di dalam hatinya hati). Hamba Allah yang sudah mampu berdzikir sirri ini tidak akan pernah terputus dzikirnya meskipun ia terlupa berdzikir. Sementara itu, sang guru pun membantu muridnya yang sedang dalam keadaan salik untuk menundukkan dan mengalahkan hawa nafsunya.

Ulama-ulama Sufi berkata: "Apabila murid-murid mengucapkan dzikir LAA ILAAHA ILLALLAH dengan memusatkan perhatiannya secara bulat kepadaNya, maka terbuka segala tingkat ajaran Thariqat dengan cepat, yang kadang-kadang terasa dalam tempo satu jam, yang tidak dapat dihasilkan dengan ucapan kalimat lain dalam tempo satu bulan atau lebih.

Dengan berdzikir yang dilakukan secara khussu' dengan bimbingan Guru Sufi yang mursyid, murid dapat membersihkan cermin hatinya dari sifat-sifat yang rendah secara dikit demi sedikit. Dalam masa itu, menyesallah sang murid atas dosa-dosa yang dilakukannya sehingga ia mencucurkan air mata dan berkehendak memperbaiki tingkah lakunya. Ia tidak rela untuk berada lagi dalam kelupaan dan kemaksiatan dengan mengikuti hawa nafsunya. Ia bertobat dan minta ampun dan mengikuti petunjuk Tuhannya. Maka cermin hatinyapun mulai dapat menerima dan memancarkan Nur Illahi yang kemudian merasuk keseluruh tubuhnya dan mempengaruhi segala ucapan, tingkah laku, dan perbuatannya dengan segala keutamaan.




4. Hikmah Lanjut dari Dzikir: Qurb, Tenang, Fana, dan Ma'rifat

Kaum Sufi melaksanakan dzikir dengan begitu asyik dan khusyu'nya karena merasakan keni'matan, kelezatan dan kemanisan. Dengan berdzikir, mereka merasa begitu dekat dengan Tuhannya (qurb), merasa tenang jiwanya, merasakan tidak ada sesuatupun bahkan dirinya kecuali Allah (fana), dan memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (ma'rifat). Abu Sa'id Al-Harraz r.a. berkata: "Apabila Allah Ta'ala hendak mengangkat seorang hambanya menjadi Wali dari hamba-hambanya yang lain, ia membuka kepadanya pintu dzikir, maka apabila ia merasa lezat berzikir, dibuka kepadanya 'babul qurb', kemudian diangkatnya ke Majlisul Uns (tenang bathin), kemudian ditempatkan dia di atas kursi Tauhid, kemudian diangkat daripadanya hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke dalam 'darul fardaniyyah', dan dibukakanlah kepadanya 'Hijabul jalali wal'uzmati'. Apabila sampai pada 'jalali wal'uzmati', ia merasa tak ada lagi yang lain, hanya Huwa (Dia) Allah, maka takala itu seorang hamba berada dalam masa fana." Adapun kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat hati terhadap Allah.

Kejauhan itu lupa hati.
Kedekatan itu ingat hati.
Kejauhan itu hijab (tertutup).
Kedekatan itu kasyaf (terbuka).
Hijab itu gelap, Kasyaf itu Nur.
Gelap itu jahil, Nur itu Ma'rifat.

Rasulullah SAW bersabda: "Firman Allah Ta'ala, aku ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, Aku bersama dia apabila ia ingat kepadaKu, apabila ia mengingatKu dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam diriKu, dan apabila ia mengingatKu dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik." (Hadis Qudtsi diriwayatkan oleh Bukhari). "Guru Sufi berkata: "Hatimu sekarang bersama Tuhanmu dan Tuhanmu bersama engkau, tidak jauh dari engkau, Ia mendekatkan engkau kepadaNya, dan mengenalkan engkau denganNya."

Orang yang menjalankan Thariqat-dzikir secara sungguh- sungguh tidak mempunyai rasa khawatir dalam menjalani hidup, tidak waswas dalam menjalankan sesuatu kebenaran, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Hati mereka tenang, jiwa mereka tenteram. Firman Allah SWT: "... (yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang" (Ar-Ra'd 28). Dengan menjalankan Thariqat-dzikir dan latihan-latihan Thariqat, kaum Sufi merasakan kelezatan ibadah, merasakan makna- makna Qur'an yang mulia, dan Sunnah yang suci, yang belum tentu dapat dirasakan oleh orang-orang lainnya.

Sampai di tingkat tertentu orang yang ber-thariqat-dzikir merasakan seluruh alam dan dirinya hancur lebur masuk ke dalam Allah SWT. Pada saat ini orang tersebut berada dalam tingkat yang fana. Firman allah dalam Al-Qur'an Surat Ar-Rahman ayat 26-27: "Semua yang ada akan fana binasa, yang kekal adalah Tuhan sendiri yang Besar dan Maha Mulia."

Dzikrullah itu dapat mengangkat seorang hamba yang mu'min dari bumi syahwat ke langit ma'rifat. Rasulullah SAW bersabda "Tidak ada seorangpun yang berkata Laa Ilaaha Illallah secara ikhlas dalam hatinya, kecuali Tuhan membukakan pintu langit sehingga ia bisa meninjau arasy." Guru Sufi mengatakan: "dalam asma yang tertinggi, orang dapat meningkat ke langit (mencapai martabat yang tinggi)." Dalam tingkat ma'rifat ini hamba Allah dapat melihat segala yang ajaib dan yang aneh-aneh dan segala rahasia yang besar dan kaifiat yang agung serta hakikat. Imam Ghazali berkata: "Ma'rifat itu berada di atas semua jalan dan wasilah yang penting dan besar. Yang demikian itu adalah wasilah "Al-Kasyafful al-Bathini' atau 'Wasilatul Ilham ar-Ruhi', yang membawa manusia kepada sifat-sifat yang baik, dan membersihkan hati serta menjauhkan diri dari cara berpikir orang-orang materialis."


5. Syariat, Thariqat, dan Hakikat

al-faqir menangkap ada suatu kesan bahwa bila orang sudah pada tingkat hakikat maka tidak perlu lagi dia mempedulikan syari'at. Lebih jauh lagi bahkan ada yang mempertentangkan syariat dengan hakikat, syari'at menyalahkan hakikat dan hakikat meremehkan syari'at. Pandangan ini penulis kira tidaklah benar. 

Dalam Tasawwuf, hubungan antara syari'at, thariqat, dan hakikat itu sangat erat, satu kesatuan yang bisa dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan apalgi dipertentangkan. Thariqat atau jalan menuju Allah itu meliputi pekerjaan dzahir dan bathin. Pekerjaan dzahir disebut syari'at dan pekerjaan bathin disebut hakikat. Syari'at itu mempersembahkan ibadat kepada Tuhan dan hakikat itu memperoleh musyahadah dari padaNya.

Syari'at terikat dengan hakikat, dan sebaliknya hakikat terikat dengan Syari'at. Tiap-tiap pekerjaan syari'at yang tidak dikuatkan dengan hakikat tidak diterima dan tiap-tiap hakikat yang tidak dibuktikan dengan syari'at pun tidak diterima pula. Imam Al-Ghazali berkata: "Barang siapa mengambil syari'at saja tetapi tidak mau tahu tentang Hakikat, orang itu fasik. Barang siapa mengambil hakikat saja tetapi tidak melakukan syari'at maka dia itu adalah kafir zindiq. Sedangkan yang melakukan syari'at dan mengamalkan tasawwuf, inilah orang yang dinamakan ahli hakikat yang sesungguhnya." Riyadhah dan latihan-latihan tharikat tidak akan berfaedah dan tidak akan mendekatkan dirimu kepada Allah SWT selama perbuatanmu tidak sesuai dengan syari'at dan sejalan dengan Sunnah Rasul.

Hubungan syari'at-thariqat-hakikat bisa dianggap analog dengan islam-iman-ikhsan. Apabila Seorang hamba Allah hanya sibuk dengan ibadah secara dzahir maka ia berada dalam maqam islam atau maqam syari'at. Apabila amal ibadah itu disertai dengan hati yang bersih dan ikhlas serta bebas dari kejahatan maka orang itu berada pada maqam iman atau maqam tharikat. Apabila manusia itu beribadat semata karena Allah, seakan-akan ia melihat Allah dan ia yakin Allah melihatnya maka hamba Allah itu berada dalam maqam ikhsan atau maqam hakikat.


6. Tasawwuf dan Dunia




Anggapan umum tentang Tasawwuf adalah bahwa tasawwuf itu anti dunia dan mereka meninggalkan segala hal yang berbau dunia. Anggapan ini tidak seluruhnya benar. Kaum Sufi menjauhi sesuatu, termasuk dunia, yang menghalangi mereka berjalan menuju Allah. Sikap zuhud ini mereka pegang berdasarkan Firman Allah dalam Al- Qur'an Surat Al-Munafiquun ayat 8 yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi."

Akan tetapi apabila sesuatu, termasuk dunia, itu memperkuat ibadah mereka terhadap Allah, apalagi itu perintah Allah dan Rasulnya, merekapun akan mengambilnya. Sikap inipun dilandaskan pada Al-Quran dan Hadis seperti: "Kejarlah apa yang diberikan Tuhan untuk akhirat, tetapi janganlah engkau lupa akan nasibmu di dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Tuhan berbuat baik kepadamu, janganlah bercita-cita berbuat di atas muka bumi ini karena Allah tidak menyukai mereka yang berbuat kerusakan" (Q.S Al-Qosas 77), "Makan dan minumlah kamu dari rezki yang dikaruniakan Allah, dan janganlah kamu berlomba-lomba berbuat kerusakan di atas bumi ini" (Q.S. Al-Baqarah 60), dan sabda Nabi Muhammada SAW: "Bukanlah orang baik jika engkau tinggalkan dunia untuk akhirat atau sebaliknya meninggalkan akhirat untuk dunia. Hendaklah mencapai kedua-duanya karena dunia itu jalan ke akhirat dan jangan kamu bergantung kepada manusia" (Riwayat Ibn As-sakir).

Bahkan Ulama-ulama Sufi dari Thariqat-thariqat Syaziliyyah, Naqsyabandiyyah, dan Qadariyyah menganjurkan murid-muridnya untuk memakan makanan yang enak-enak, memakai pakaian yang bagus-bagus, tidur diatas kasur yang empuk, memiliki harta benda, dan sebagainya asal semuanya itu dapat mendekatkan muridnya kepada Allah. Ulama-ulama tasawwuf itu berkata: "Tidak mengapa mengikuti syahwat yang diperkenankan untuk diri kita, apabila ternyata dapat menguatkan ibadat seperti: tidak mengapa memakai pakaian yang bagus untuk melahirkan nikmat Tuhan. Tidak mengapa makan dan minum yang lezat-lezat untuk kepentingan kesehatan anggota badan bersyukur dan menjadi kuat panca indera." Ahli ma'rifat Syazili mengatakan "Makan dan minumlah kamu dari makanan yang baik-baik, minumlah minuman yang sedap, tidurlah di atas tempat tidur yang empuk, berpakaianlah dengan pakaian yang halus, dan perbanyaklah dzikir kepada Tuhanmu." Syeikh Bahauddin Naqsyabandi berkata: "Tiapa macam makanan harus baik dan beribadat pun harus baik pula". Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani berkata: "Harta benda itu adalah khadammu dan engkau khadam Allah. Maka hidupmu didunia ini harus menjadi manusia tauladan dan hidupmu di akhirat kelak menjadi orang yang mulia."


7. KESIMPULAN





Tasawuf itu bukanlah ilmu atau amal yang dapat dibahas secara ilmiah atau filsafati karena tasawuf hanya dapat ditangkap oleh hati, dan bukan oleh akal yang mempunyai keterbatasan. Rahasia Tasawuf tidak dapat dinikmati dengan hanya mempelajari buku-buku atau mendengarkan ceramah-ceramah karena buku-buku dan ceramah- ceramah tersebut tidak dapat mengekspresikan peristiwa bathiniyyah yang terjadi dalam dunia tasawwuf secara sempurna dan akurat yang disebabkan oleh keterbatasan bahasa manusia. Hikmah tasawwuf ini hanya dapat dirasakan dengan melakukan rhiyadhah dan latihan-latihan thariqat dengan tekun dan khussyu' di bawah bimbingan Guru Sufi yang Mursyid.

TAQWA, FUNGSI, DUNIA MILIK, TITIK TEMU 3

Titik temu adalah kesamaan anggapan tentang nilai-nilai yang terbentang di dalam cakrawala kehidupan yang menjadi sasaran operasional setiap individu manusia. (dunia milik)

Penguasaan terhadapnya berwujud orientasi keluar lewat pengabdian sosial, menawarkan hasil kreatifitas atau bereksplorasi keruangan dengan mengadakan penelitian dan eksperimen dengan alam benda dan lingkungan manusia yang menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi serta pandangan hidup yang bersifat obyektif.

Berkiprah di dalam dimensi tersebut membutuhkan aset yag berupa intelektual, bakat, keahlian dan pengetahuan tentang kausalitas alam dan sosial, serta ambisi yang kuat sebagai dinamis-motifnya.

Tujuannya untuk mendapat pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat manusia agar dapat berperan serta didalam menangani kepentingan bersama di dalam berbagai bidang kehidupan.

Golongan yang berekspansi ke luar lewat dimensi nilai ini disebut golongan muttaqin oleh Al-Qur'an.
"Dan siapa taqwa kepada Allah, Allah akan menjadikan baginya jalan keluar, dan akan memberinya rizki dan arah yang tak dapat diduga" (Ath-Thalaq:3).
Bedanya dengan anak sang waktu (mutawakkilin) yang mendapatkan 'peran' yang tak tergantikan dari Tuhan, putera ruang (mutaqin) ini akan memperoleh 'fungsi' dari masyarakat yang dapat digantikan oleh pihak lain. Bila anak sang waktu dianugerahi ilmu Allah yang tak bisa dicerna akal, putera ruang akan dikaruniai ilmu pengetahuan obyektif dari masyakat dan alamnya. Ketika anak sang waktu menemukan titik-beda dirinya dengan yang lain sebagai hasil dari menggarap diri, putera ruang menemukan titik temu dirinya dengan semua individu lewat menggarap alam dan lingkungannya. Dan ketika seorang mutawakkilin berada dalam martabat wahdah (unity), seorang mutaqin berada dalam martabat jam'iyah (universality).

Begitulah tawakkal dan taqwa merupakan dua konsep orang beriman di dalam menemukan dunia-diri dan dunia-milik sebagai medan mencari ridha Allah.

Kegagalan seseorang di dalam menangani dunia-milik disebabkan kurang akuratnya di dalam menggarap dunia-diri. Maka untuk mengatasi semua masalah yang berupa bencana, stagnasi, ataupun dilematika kehidupan bukan dengan aktivitas keluar, melainkan dengan kembali membenahi dunia diri atau sisi dalam dari realita kehidupan kita.
"Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan yang ada dalam suatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada di dalam dirinya." (Ar-Ra'du: 30).
Dan lahirlah Sufi-sufi Muhammadis yang berorientasi di dalam dua semesta sekaligus dengan konsep Taqwa dan Tawakkal demi mencari ridlaNya di dunia dan di akhirat, dan tutuplah layar kerahiban yang lari dari tanggung jawab sosial untuk mencari kepuasan spiritual semata.

Kerahiban merupakan penyimpangan dari perolehan ketawakalan demi mencapai kesucian pribadi semata, sehingga tertutup baginya untuk menyentuh semesta ketakwaan (pengabdian sosial).
"Dan mereka mengada-adakan kerahiban yang tidak Kami perintahkan kepada mereka." (Al-Hadid: 27)



Di dalam dimensi tawakkal dimana setiap indivu muslim telah menemukan titik beda dengan semua individu lain, agama Islam bahkan menemukan titik temu dengan semua agama yang ada. Sebaliknya di dalam dimensi taqwa ketika individu seorang muslim telah menemukan titik temu dengan semua individu manusia, Islam berada di dalam titik beda dengan agama lain, karena keluasan syariatnya yang mencakup urusan duniawi. Hal itu membuat Islam sering diberi predikat sebagai agama materialis oleh pihak lain.

Namun betapa pun akhirnya harus diakui bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang berhasil memadukan dua dimensi yang biasa dipertentangkan dengan konsep wujud berpasangan (zaujaini). Yaitu dunia-diri yang dapat diatasi oleh Sayidina Isa AS dengan sifat Quddusnya dan dunia-milik yang berhasil diatasi oleh Sayidina Musa AS dengan teknologi-nya (tongkat).

Dunia diri dan dunia milik merupakan masalah paling dasar di dalam kehidupan manusia, karena keduanya sulit untuk dipadukan di dalam proses aktual tanpa yang satu membantai yang lain. Dampaknya di dalam sejarah beragama pernah memecah ummat Islam menjadi paham Jabariyah dan Qadariyah, golongan Hakekat dan Syariat serta Kaum Sufi dan Fuqaha'.

Hal itu tidak akan bisa terjadi bila kita sadar bahwa di dalam Islam tidak ada konsep kepemilikan. Semua fasilitas yang disebut dunia milik telah kita terima sebagai amanah atau titipan Tuhan yang harus kita sampaikan kepada yang berhak, yaitu kehidupan. (Al-Ahzab: 72);
"Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak." (An-Nisa': 58)
Selanjutnya untuk memotivasi diri dengan taqwa dan tawakkal di dalam setiap proses aktual, Al-Qur'an mengajarkan teknis dasar yang tersirat di dalam kalimat doa:
"Tuhan, masukkanlah aku (ke dalam dunia diri) dengan benar (tawakkal) dan keluarkanlah aku (ke medan amanat) dengan benar (taqwa) dan jadikan bagiku kekuatan penolong dari hadiratMu."
(Al Isra: 80).
Bila target tersebut terwujud, kita akan menemukan kenyataan seorang insan kamil (mukmin yang sempurna) yaitu seorang yang bermartabat wahdah (unity) sekaligus bermartabat jam'iah (universality).

Kini kita berada di dalam kurun zaman dimana ketaqwaan di-slogan-kan dan ketawakkalan dicurigai akan menghambat perkembangan ummat manusia.

Setiap orang berusaha merebut fungsi yang tinggi tanpa peduli apakah dirinya sanggup berperan dengan benar atau tidak. Padahal kita semua tahu bahwa fungsi yang tinggi tanpa kesanggupan memerankan diri yang kwalifaid akan menimbulkan huru-hara dan bencana besar bagi ummat manusia. Sedang pemeran yang baik tanpa fungsi yang dipercayakan kepadanya oleh lingkungan tetap akan dapat memproduk nilai buat sesamanya.

Mungkin karena kesadaran akan hal ini tasawuf mulai dilirik oleh manusia modern yang telah cemas menyaksikan 'peran aneh' yang dilakukan oleh ummat manusia di panggung sandiwara dunia.

Kalau hal itu benar, janji tentang turunnya missi Sayidina Isa AS (tasawwuf) untuk membenahi dan menyempurnakan kualitas pribadi kaum Muslimin di akhir zaman telah tiba.

Untuk itu saya ucapkan: "Selamat datang abad spiritual! Selamat datang Para Penempuh Jalan Kebenaran!

TAWAKKAL, PERAN, DUNIA DIRI DAN TITIK BEDA 2


Gaya hidup profetik para Sufi memiliki kemiripan dengan gaya hidup kenabian Sayidina Isa AS. Mereka lebih dominan berorientasi pada pembentukan diri yang akurat dibanding dengan berekspansi ke dalam semesta-struktural, sehingga mereka dapat mencapai kondisi sempurna secara individual.

Bagi golongan tersebut Allah berkenan memindahkan kepengurusan hidup mereka langsung ke tangan-Nya tanpa dukungan ilmu pengetahuan obyektif yang lazim digunakan di dalam mengatasi kebutuhan hidup.
"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah cukup baginya." (Ath-Thalaq: 3).
Di dalam kondisi diri orang yang bertawakkal kepada Allah telah terjadi transendensi dari urusan hamba menjadi urusan Tuhan, disebabkan 'aku-insaniyah' orang tersebut telah mati. Wujudnya tinggal instrumen jasadi yang digerakkan langsung oleh iradah-ilahiyah. Kalangan Sufi menyebutnya sebagai maqam fana' (fana' fi iradatillah) atau 'manunggaling kawula Gusti' dalam idiom Jawa. Kenyataan yang demikian hanya bisa terjadi bagi mereka yang benar-benar putus-asa kepada dunia.
"Dan tiadalah kehidupan dunia itu, kecuali kesenangan yang menipu." (Ali-Imran: 185;);
"Dan tiadalah kehidupan dunia itu, kecuali permainan dan senda gurau." (Al-An'am: 32).
Tekad yang bulat disertai kerelaan hati mereka yang tinggi di dalam menyerahkan totalitas pengabdian, hidup dan matinya kepada Allah telah mengantarkan mereka pada rahasia ilham dan kasyaf atau ilmu dari sisi-Nya.
"Mereka menemukan seorang hamba Kami yang Kami beri rahmat dari hadirat Kami dan kami ajari dari ilmu Kami" (Al-Kahfi 65).
Di dalam aktualisasi diri tanpa motif selain amr-Allah tersirat wujudnya 'peran' ketuhanan di dalam diri pelakunya .
" Dan apa yang aku lakukan tidak dari kemauanku sendiri." (Al Kahfi: 82).
Resikonya ia akan terlempar ke dalam keunikan yang sulit dipahami dan terpisah dari lingkungannya.
"Inilah saat perpisahan antara aku dengan engkau." (Al-Kahfi:78).
Ketika itu seorang Sufi telah berdiri di atas 'titik beda' dengan semua individu yang ada (Khariqul-adah).

Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani di dalam efidensinya sempat bercengkerama dengan Tuhan seraya berkata:
- "Engkaulah yang Tunggal di langit, dan akulah yang tunggal di bumi".
Begitu pula Jibran di dalam An-Nabi:
- "Sendiri tanpa sangkarnya rajawali terbang mengepak langit".
Pernah Ibnu Sina menegur seorang Sufi bermaqam fana':
- "Apakah yang tampak bila tak ada orang yang melihat?" Sufi tersebut menjawabnya dengan pertanyaan pula:
-"Apa yang tidak tampak ketika ada orang melihat?".

Sebenarnya apa yang sedang disaksikan oleh Sang Fana' adalah wajah di balik wajah dan makna di balik makna yang hanya bisa terlihat di dalam bashirah seorang Ahli Sirr.

Pengetahuan tersebut sama sekali tidak didukung oleh referensi ilmu atau pun hukum kausalitas alam, bahkan ia lahir dari pengingkaran terhadapnya. Semua sebab telah gugur di depan mata Sang Asyik, yang tampak tinggal Wajah Sang Musabbib, seperti mata Majnun yang tidak bisa melihat selain wajah Laila.
"Kemana saja engkau menghadap, di situ wajah Allah." (Al Baqarah:115).
Sebagai seorang mutawakkilin tak ada perbuatan yang layak dilakukan selain mentelaah isyarah-isyarah, berita dan amar Tuhan untuk mencapai keniscayaan di dalam setiap langkah pengabdiannya.

- "Wahai Zat yang mengetahui rahasia hatiku, cukuplah bagiku memandang-Mu, cukuplah bagiku", gumam Al-Haddad di dalam munajadnya.

Apabila yang tinggal di dalam hati seseorang hanya Allah dan kehambaan dirinya, maka praktis akan sirna rasa ujub, kibir, loba, tamak, iri, hasud, dengki, riya' dan sum 'ah, apalagi kemauan bertindak makar, kadzib, ghibah maupun fitnah dari dalam dirinya. Bahkan akan lenyap pula rasa khawatir terhadap masa depan dan gundah mengenang masa lampau yang menjadi penjara waktu bagi kebanyakan makhluk berakal (Al-Baqarah: 38, 62, 112, 262, 274, 277).
"Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang Yahudi dan Nasrani dan Shabiin, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan amal salih, maka bagi mereka pahala di sisi Tuhannya, dan tiada mereka khawatir dan berduka cita." (Al-Baqarah: 62).
Memasuki dunia Sufi adalah memasuki semesta absurditas, atau lebih tepatnya memasuki semesta yang tiada orang lain tahu petanya kecuali Allah, yaitu semesta diri yang tak ada kembarannya di dalam kehidupan.
"Dan tiadalah seorang pemikul beban, memikul beban pihak lain." (Al-An'am 164);

"Dan tiadalah bagi seseorang, melainkan apa yang dia usahakan." (An-Najm: 39).
Tak ada metodologi yang sama bagi setiap penempuh. Yang ada hanya sebuah tangan yang menuding. Boleh jadi ia seorang Mursyid, Kitab Suci, dongeng-dongeng, derita, mala-petaka atau sentuhan tangan manusia Tuhan atau apa saja yang digunakan Allah sebagai pedang untuk memisahkan seseorang dari selain-Nya.
"Dan siapa bersungguh-sungguh mencari ridha Kami, niscaya akan Kami tunjukkan mereka jalan-jalan Kami." (Al Ankabut: 69).
Sebagaimana para Nabi, para penempuh jalan kebenaran tidak melewati lorong yang sama untuk sampai ke rumah dirinya yang agung.

"Jangan sekali-kali engkau berpindah dari ma'rifatmu sendiri ke dalam ma'rifat orang lain, karena itu hak Allah, bukan hakmu untuk melakukannya" pesan Syeikhul Arif Billah Muhammad bin Abdul Jabbar An-Nifari kepada para salik. Demikianlah Sufi tidak bisa dimiliki atau menjadi monopoli sebuah agama, ras maupun bangsa, meski pada mulanya ia lahir di suatu negeri dan dalam asuhan sebuah agama.

Seperti nabi-nabi, setiap Sufi menjadi milik semua, tetapi justeru karena itu ia terlempar ke dalam kesendirian Tuhan yang tak tertanggungkan. Selebihnya tiada baginya tempat bertanya, tiada pula kawan berbagi derita. Sendiri ia memikul duka Tuhan seutuh usia. (Al-Ahzab:40)
Demikianlah keadaan seseorang yang berada di dalam martabat wahdah (unity).
"Dan siapa yang buta di dunia ini maka dia akan buta di akhirat kelak dan lebih sesat lagi jalannya." ( Al Isra: 72)

RISALAH QUSYAIRIYAH DALAM TASAWWUF 1

Salah satu dari warisan kepustakaan para sufi adalah Risalatul Qusyairiyah yang ditulis oleh Imam Qusyairi dari Naisabur. Sebuah karya sufi yang menghimpun pendapat-pendapat para Sufi terdahulu tentang Prinsip-prinsip Tauhid dalam pandangan Kaum Sufi, Terminologi Tasawuf dan Maqamat Para Penempuh Jalan Sufi.

Di awal penjelasan tentang Terminologi Tasawuf, penulis memperkenalkan identitas Sufi sebagai 'anak sang waktu'. Maka menjadi jelas bagi kita bahwa mujahadah seorang mutasawwif bersifat internal dengan fokus perjuangan menemukan identitas diri yang paling final.

Sesungguhnya dimensi yang mereka arungi merupakan sisi gelap manusia yang tak mungkin dapat disingkapkan dengan kunci-kunci keruangan. Hal itu disebabkan kelemahan ilmu pengetahuan obyektif di dalam menembus dinding subyek.

Memang demikian kenyataannya. Pencarian diri dengan berorientasi keluar tidak pernah dapat menyelesaikan masalah, bahkan berdampak memecah kesatuan ummat manusia di dalam berbagai paham falsafah. Karena apa yang didapatkan dengan upaya tersebut hanya sebuah persepsi tentang diri, bukan kenyataannya.

Muncullah para Nabi. Dengan petunjuk Ilahi mereka berusaha menyatukan kembali kenyataan ummat dengan menawarkan 'Hamba Allah' sebagai identitas setiap individu manusia.

Tawaran ini memang akurat, masuk akal dan efektif bagi hati nurani yang demen pada kehidupan dan mencintai kedamaian. Tetapi betapa pun hal itu masih berupa 'pengetahuan verbal' atau 'ilmul-yakin' yang perlu diuji kebenarannya di dalam kenyataan.

Setelah kita benar-benar menyaksikan wujud hamba Allah yang berintegritas mensemesta yang selalu aktual di dalam pengabdian yang tinggi kepada seluruh ummat manusia dimana dan kapan saja ia berada, barulah dapat dikatakan kita telah memiliki 'pengetahuan visual' atau 'ainul-yakin' terhadapnya.

Secara kondisional pribadi seperti tersebut di atas layak diangkat sebagai Mursyid, kendati ia bukan seorang ustad dari sebuah halaqah spiritual. Karena Mursyid bukanlah fungsi yang dapat diamanatkan oleh sebuah lembaga atau lingkungan ummat untuk melaksanakan tugas pembentukan pribadi, melainkan kualitas spiritual seseorang.

Bila dengan panduannya kita berhasil memiliki konsistensi aktual secara 'ihsan', barulah kita dapat disebut memiliki 'pengetahuan aktual' atau 'haqqul-yakin'.

Dari kondisi seorang beriman secara doktrinal hingga mencapai derajad Muhsin membutuhkan proses panjang yang didukung dengan tekad yang membaja, himmah yang kuat, disiplin yang keras dan praktikum-praktikum dengan diri yang tak kenal jenuh, disertai gemar berkontemplasi, berefleksi dan berkoeksistensi dengan akhlakul-karimah terhadap siapa saja, baik berwujud manusia atau pun hayawan, sebagaimana dibentangkan secara rinci di dalam Maqamat Para Penempuh Jalan Sufi.

Bila para Nabi dengan Kitab-Sucinya telah berhasil mengungkapkan 'kebenaran universal' yang tidak berkerut oleh zaman para Sufi telah melahirkan kebenaran 'kontekstual' yang tak berulang sepanjang zaman. Itulah 'hikmah' yang tidak akan pernah bisa ditiru, tetapi sangat tinggi nilainya sebagai pengetahuan antar subyek di kalangan hamba Allah.

Kehadiran para Sufi di dalam realita kehidupan orang beriman menunjukkan kepada kita wujudnya 'seni bertuhan' yang tak kalah mengasyikkan dibanding dengan pengembaraan di bidang keilmuan dan seni apa pun di dunia ini.

Marilah kita jamah keotentikannya melewati analisa berikut ini.

KOMENTAR FB