Salah satu dari warisan kepustakaan para sufi adalah Risalatul Qusyairiyah yang ditulis oleh Imam Qusyairi dari Naisabur. Sebuah karya sufi yang menghimpun pendapat-pendapat para Sufi terdahulu tentang Prinsip-prinsip Tauhid dalam pandangan Kaum Sufi, Terminologi Tasawuf dan Maqamat Para Penempuh Jalan Sufi.
Di awal penjelasan tentang Terminologi Tasawuf, penulis memperkenalkan identitas Sufi sebagai 'anak sang waktu'. Maka menjadi jelas bagi kita bahwa mujahadah seorang mutasawwif bersifat internal dengan fokus perjuangan menemukan identitas diri yang paling final.
Sesungguhnya dimensi yang mereka arungi merupakan sisi gelap manusia yang tak mungkin dapat disingkapkan dengan kunci-kunci keruangan. Hal itu disebabkan kelemahan ilmu pengetahuan obyektif di dalam menembus dinding subyek.
Memang demikian kenyataannya. Pencarian diri dengan berorientasi keluar tidak pernah dapat menyelesaikan masalah, bahkan berdampak memecah kesatuan ummat manusia di dalam berbagai paham falsafah. Karena apa yang didapatkan dengan upaya tersebut hanya sebuah persepsi tentang diri, bukan kenyataannya.
Muncullah para Nabi. Dengan petunjuk Ilahi mereka berusaha menyatukan kembali kenyataan ummat dengan menawarkan 'Hamba Allah' sebagai identitas setiap individu manusia.
Tawaran ini memang akurat, masuk akal dan efektif bagi hati nurani yang demen pada kehidupan dan mencintai kedamaian. Tetapi betapa pun hal itu masih berupa 'pengetahuan verbal' atau 'ilmul-yakin' yang perlu diuji kebenarannya di dalam kenyataan.
Setelah kita benar-benar menyaksikan wujud hamba Allah yang berintegritas mensemesta yang selalu aktual di dalam pengabdian yang tinggi kepada seluruh ummat manusia dimana dan kapan saja ia berada, barulah dapat dikatakan kita telah memiliki 'pengetahuan visual' atau 'ainul-yakin' terhadapnya.
Secara kondisional pribadi seperti tersebut di atas layak diangkat sebagai Mursyid, kendati ia bukan seorang ustad dari sebuah halaqah spiritual. Karena Mursyid bukanlah fungsi yang dapat diamanatkan oleh sebuah lembaga atau lingkungan ummat untuk melaksanakan tugas pembentukan pribadi, melainkan kualitas spiritual seseorang.
Bila dengan panduannya kita berhasil memiliki konsistensi aktual secara 'ihsan', barulah kita dapat disebut memiliki 'pengetahuan aktual' atau 'haqqul-yakin'.
Dari kondisi seorang beriman secara doktrinal hingga mencapai derajad Muhsin membutuhkan proses panjang yang didukung dengan tekad yang membaja, himmah yang kuat, disiplin yang keras dan praktikum-praktikum dengan diri yang tak kenal jenuh, disertai gemar berkontemplasi, berefleksi dan berkoeksistensi dengan akhlakul-karimah terhadap siapa saja, baik berwujud manusia atau pun hayawan, sebagaimana dibentangkan secara rinci di dalam Maqamat Para Penempuh Jalan Sufi.
Bila para Nabi dengan Kitab-Sucinya telah berhasil mengungkapkan 'kebenaran universal' yang tidak berkerut oleh zaman para Sufi telah melahirkan kebenaran 'kontekstual' yang tak berulang sepanjang zaman. Itulah 'hikmah' yang tidak akan pernah bisa ditiru, tetapi sangat tinggi nilainya sebagai pengetahuan antar subyek di kalangan hamba Allah.
Kehadiran para Sufi di dalam realita kehidupan orang beriman menunjukkan kepada kita wujudnya 'seni bertuhan' yang tak kalah mengasyikkan dibanding dengan pengembaraan di bidang keilmuan dan seni apa pun di dunia ini.
Marilah kita jamah keotentikannya melewati analisa berikut ini.
menjalin silaturrahim sesama ummat berkreasi,mengkaji,mencari wawasan,belajar , mengungkap kreasi dalam berfikir tentang wacana ketuhanan
Apa Kabar Dunia
Mari Belajar bersama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KOMENTAR FB
Pengikut
Label kajian
- allah (1)
- bersihkan diri (1)
- hakikat diri (1)
- hati (1)
- jiwa (1)
- kenyataan diri (1)
- ketuhanan (1)
- mencari kebenaran (1)
- rasa (1)
WACANA PENCARIAN
Mengenai Saya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar