Gaya hidup profetik para Sufi memiliki kemiripan dengan gaya hidup kenabian Sayidina Isa AS. Mereka lebih dominan berorientasi pada pembentukan diri yang akurat dibanding dengan berekspansi ke dalam semesta-struktural, sehingga mereka dapat mencapai kondisi sempurna secara individual.
Bagi golongan tersebut Allah berkenan memindahkan kepengurusan hidup mereka langsung ke tangan-Nya tanpa dukungan ilmu pengetahuan obyektif yang lazim digunakan di dalam mengatasi kebutuhan hidup.
"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah cukup baginya." (Ath-Thalaq: 3).
Di dalam kondisi diri orang yang bertawakkal kepada Allah telah terjadi transendensi dari urusan hamba menjadi urusan Tuhan, disebabkan 'aku-insaniyah' orang tersebut telah mati. Wujudnya tinggal instrumen jasadi yang digerakkan langsung oleh iradah-ilahiyah. Kalangan Sufi menyebutnya sebagai maqam fana' (fana' fi iradatillah) atau 'manunggaling kawula Gusti' dalam idiom Jawa. Kenyataan yang demikian hanya bisa terjadi bagi mereka yang benar-benar putus-asa kepada dunia.
"Dan tiadalah kehidupan dunia itu, kecuali kesenangan yang menipu." (Ali-Imran: 185;);
"Dan tiadalah kehidupan dunia itu, kecuali permainan dan senda gurau." (Al-An'am: 32).
Tekad yang bulat disertai kerelaan hati mereka yang tinggi di dalam menyerahkan totalitas pengabdian, hidup dan matinya kepada Allah telah mengantarkan mereka pada rahasia ilham dan kasyaf atau ilmu dari sisi-Nya.
"Mereka menemukan seorang hamba Kami yang Kami beri rahmat dari hadirat Kami dan kami ajari dari ilmu Kami" (Al-Kahfi 65).
Di dalam aktualisasi diri tanpa motif selain amr-Allah tersirat wujudnya 'peran' ketuhanan di dalam diri pelakunya .
" Dan apa yang aku lakukan tidak dari kemauanku sendiri." (Al Kahfi: 82).
Resikonya ia akan terlempar ke dalam keunikan yang sulit dipahami dan terpisah dari lingkungannya.
"Inilah saat perpisahan antara aku dengan engkau." (Al-Kahfi:78).
Ketika itu seorang Sufi telah berdiri di atas 'titik beda' dengan semua individu yang ada (Khariqul-adah).
Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani di dalam efidensinya sempat bercengkerama dengan Tuhan seraya berkata:
- "Engkaulah yang Tunggal di langit, dan akulah yang tunggal di bumi".
Begitu pula Jibran di dalam An-Nabi:
- "Sendiri tanpa sangkarnya rajawali terbang mengepak langit".
Pernah Ibnu Sina menegur seorang Sufi bermaqam fana':
- "Apakah yang tampak bila tak ada orang yang melihat?" Sufi tersebut menjawabnya dengan pertanyaan pula:
-"Apa yang tidak tampak ketika ada orang melihat?".
Sebenarnya apa yang sedang disaksikan oleh Sang Fana' adalah wajah di balik wajah dan makna di balik makna yang hanya bisa terlihat di dalam bashirah seorang Ahli Sirr.
Pengetahuan tersebut sama sekali tidak didukung oleh referensi ilmu atau pun hukum kausalitas alam, bahkan ia lahir dari pengingkaran terhadapnya. Semua sebab telah gugur di depan mata Sang Asyik, yang tampak tinggal Wajah Sang Musabbib, seperti mata Majnun yang tidak bisa melihat selain wajah Laila.
"Kemana saja engkau menghadap, di situ wajah Allah." (Al Baqarah:115).
Sebagai seorang mutawakkilin tak ada perbuatan yang layak dilakukan selain mentelaah isyarah-isyarah, berita dan amar Tuhan untuk mencapai keniscayaan di dalam setiap langkah pengabdiannya.
- "Wahai Zat yang mengetahui rahasia hatiku, cukuplah bagiku memandang-Mu, cukuplah bagiku", gumam Al-Haddad di dalam munajadnya.
Apabila yang tinggal di dalam hati seseorang hanya Allah dan kehambaan dirinya, maka praktis akan sirna rasa ujub, kibir, loba, tamak, iri, hasud, dengki, riya' dan sum 'ah, apalagi kemauan bertindak makar, kadzib, ghibah maupun fitnah dari dalam dirinya. Bahkan akan lenyap pula rasa khawatir terhadap masa depan dan gundah mengenang masa lampau yang menjadi penjara waktu bagi kebanyakan makhluk berakal (Al-Baqarah: 38, 62, 112, 262, 274, 277).
"Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang Yahudi dan Nasrani dan Shabiin, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan amal salih, maka bagi mereka pahala di sisi Tuhannya, dan tiada mereka khawatir dan berduka cita." (Al-Baqarah: 62).
Memasuki dunia Sufi adalah memasuki semesta absurditas, atau lebih tepatnya memasuki semesta yang tiada orang lain tahu petanya kecuali Allah, yaitu semesta diri yang tak ada kembarannya di dalam kehidupan.
"Dan tiadalah seorang pemikul beban, memikul beban pihak lain." (Al-An'am 164);
"Dan tiadalah bagi seseorang, melainkan apa yang dia usahakan." (An-Najm: 39).
Tak ada metodologi yang sama bagi setiap penempuh. Yang ada hanya sebuah tangan yang menuding. Boleh jadi ia seorang Mursyid, Kitab Suci, dongeng-dongeng, derita, mala-petaka atau sentuhan tangan manusia Tuhan atau apa saja yang digunakan Allah sebagai pedang untuk memisahkan seseorang dari selain-Nya.
"Dan siapa bersungguh-sungguh mencari ridha Kami, niscaya akan Kami tunjukkan mereka jalan-jalan Kami." (Al Ankabut: 69).
Sebagaimana para Nabi, para penempuh jalan kebenaran tidak melewati lorong yang sama untuk sampai ke rumah dirinya yang agung.
"Jangan sekali-kali engkau berpindah dari ma'rifatmu sendiri ke dalam ma'rifat orang lain, karena itu hak Allah, bukan hakmu untuk melakukannya" pesan Syeikhul Arif Billah Muhammad bin Abdul Jabbar An-Nifari kepada para salik. Demikianlah Sufi tidak bisa dimiliki atau menjadi monopoli sebuah agama, ras maupun bangsa, meski pada mulanya ia lahir di suatu negeri dan dalam asuhan sebuah agama.
Seperti nabi-nabi, setiap Sufi menjadi milik semua, tetapi justeru karena itu ia terlempar ke dalam kesendirian Tuhan yang tak tertanggungkan. Selebihnya tiada baginya tempat bertanya, tiada pula kawan berbagi derita. Sendiri ia memikul duka Tuhan seutuh usia. (Al-Ahzab:40)
Demikianlah keadaan seseorang yang berada di dalam martabat wahdah (unity).
"Dan siapa yang buta di dunia ini maka dia akan buta di akhirat kelak dan lebih sesat lagi jalannya." ( Al Isra: 72)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar