Apa Kabar Dunia

Mari Belajar bersama

Senin, 09 April 2012

HAQIQAT AL-QUR'AN MENURUT PANDANGAN SUFI

Sesungguhnya Al-Qur’an itu ada [makna] lahir dan ada batinnya. Untuk setiap batin ada batinnya, sampai tujuh lapis [makna] batin.

— Hadis


Al-Qur’an adalah landasan pokok seluruh ajaran Sufi. Sesuai dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan kepada dzauq (rasa) dan aspek esoteris (ruhani, batiniah), maka tafsir Sufi atas Al-Qur’an tak jarang amat berbeda dengan tafsir yang biasa kita kenal. Kadang tafsir Sufi disebut juga ta’wil. Tafsir Sufi banyak berhubungan dengan “rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah (literal) yang maknanya tak aus oleh dinamika perubahan-perubahan dalam sejarah.


Menurut Sufi, kemampuan seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan kualitas keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat adalah bagi orang awam, isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif adalah bagi para Wali Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi.


Ibn Mas’ud mengatakan, “Siapa ingin memperoleh ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian, hendaklah ia membaca Al-Qur’an.” Seorang sufi mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terhimpun semua ilmu yang ada di dunia. Ini sejalan dengan keterangan Al-Qur’an sendiri, yakni al-Qur’an adalah “penjelasan bagi segala sesuatu” (Q.S. 6:6) dan “Tidak Kami lewatkan dalam al-Kitab sesuatupun” (Q. S. 6:38). Maka, tak heran jika dikatakan bahwa mu’jizat terbesar dari Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an. Tentu saja pencapaian ilmu macam ini tidak bisa diperoleh dengan tafsir lahiriah atau akal/rasio. Dalam kasus pengetahuan Wahyu Ilahi, agar bisa memahami dan menguraikan pesan-pesan yang dikandungnya, kita mesti membersihkan diri kita; atau, dalam bahasa Islam, kita harus menjadi “buta huruf” (ummi). Pada dasarnya kita tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk memahami wahyu; kita hanya bisa menempatkan diri kita sepenuhnya dalam kekuasaan Wahyu. Maka, agar makna terdalam dari Wahyu bisa dipahami, kita mesti menghentikan pemikiran dan refleksi intelektual atau akal, sebab dalam dirinya sendiri akal adalah terbatas dan pemikiran rasional boleh jadi dipengaruhi oleh kondisi jiwa yang kurang bersih. Sedangkan kebenaran Wahyu adalah suci dan tak terbatas, karena ia dari dan merepresentasikan Tuhan Yang Maha TakTerbatas ilmu-Nya. Yang terbatas mustahil menguasai yang tak terbatas. Jadi, Ketika hati sepenuhnya aman dari pemikiran reflektif dan lintasan-lintasan pikiran, maka ini adalah keadaan “buta huruf” dan siap menerima anugerah petunjuk Allah secara sempurna — inilah makna mistis dari fakta bahwa “Muhammad adalah Nabi yang buta huruf.”


Di sisi lain, perkataan Aisyah bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an secara tersirat menyatakan bahwa sesungguhnya Al-Qur’an tak lain adalah diri kita sendiri. Yang dimaksud oleh Sufi dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an sesungguhnya sudah berada dalam diri kita sendiri. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengajarinya “nama-nama segala hal” (Q.S. 2:31). Penamaan karenanya menjadi bagian dari sifat manusia, karena Allah mengajari manusia bahasa pada saat penciptaannya. Nama-nama yang diajarkan Allah kepada Adam adalah pengetahuan-Nya, yang “disimpan” dalam “tubuh” Adam. Jadi setiap bagian tubuh kita mengandung aspek tertentu dari nama-nama Ilahi. Dengan kata lain, realitas tubuh manusia adalah nama-nama yang memantulkan Citra-Nya: “Allah menciptakan Adam sesuai dengan Citra-Nya.” Setiap tubuh memantulkan nama-nama yang berbeda. Jadi kita membeda-bedakan realitas melalui diri kita, karena kita adalah citra yang beragam dari satu Tuhan. Dengan cara yang sama, kita membedakan segala sesuatu dengan memberi nama (misalnya, kita membedakan tempat duduk dan tempat tidur dengan memberinya nama kursi dan ranjang). Menurut pandangan Sufi, masalahnya adalah kita melupakan bahwa Allah telah mengajari kita nama-nama segala hal ini sejak awal penciptaan kita. Karena itu, untuk mengetahui “nama-nama” ini dan mengungkapkan hakikatnya, kita harus tahu nama-nama itu persis sebagaimana Allah mengajarkannya kepada kita, bukan sebagaimana yang kita pikirkan sendiri. Hal ini hanya bisa dicapai dengan mencintai Allah. Mencintai Allah, dalam ajaran Islam, hanya bisa dicapai melalui peniruan perilaku dan mengamalkan ajaran Rasulullah Muhammad. Maka, dengan mencintai Rasul, kita akan mencintai Allah, dan Allah akan mencintai kita dan melalui lantaran cinta inilah Allah akan mengingatkan kita kembali tentang “nama-nama segala hal” dan kita akan memandang sesuatu sebagaimana adanya (hakikat), bukan sebagaimana yang kita pikirkan.


Jadi, ringkasnya, dengan menjadikan diri kita “buta huruf,” dan mengikuti suri tauladan akhlak Nabi Muhammad, yakni akhlak Al-Qur’an, pada akhirnya akan membuat kita mendapat petunjuk untuk memahami makna terdalam dari al-Qur’an — “maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya; ikutilah [akhlak] Nabi [Muhammad] agar kamu memperoleh petunjuk” (Q.S. 7:158).


Kemudian, menurut Sufi, Al-Qur’an turun pada “Malam Kemuliaan” (Q.S. 97:1) dalam bentuk pengetahuan Allah yang utuh tak terbedakan, sebagai “totalitas kalimat” (jawami’ al-kalim) yang “dipatrikan” ke dalam hati Rasulullah. Wahyu tidak turun melalui “pikiran” Nabi, tetapi ke dalam seluruh keberadaannya, atau dalam “tubuh” Nabi yang dipercaya untuk melaksanakan dan mengamalkan titah Allah; seperti kata Aisyah, “Rasulullah adalah Qur’an yang berjalan.” Wahyu turun pada “malam,” yang melambangkan kerahasiaan yang tersembunyi, seperti kegelapan menyembunyikan sesuatu, dan juga malam adalah suasana yang menebarkan aroma misterius, seperti ada khazanah tersembunyi yang mesti diungkap agar diperoleh manfaatnya. Malam (Layla) dalam tafsir Sufi juga melambangkan “Zat Tuhan” yang tersembunyi dari pengetahuan siapapun. “Kegelapan” misteri haruslah diterangi dengan “Cahaya” yang terangnya “melebih seribu bulan,” yakni cahaya yang amat terang tetapi tak menyilaukan seperti matahari, sebab cahaya matahari justru membutakan. Dan dengan “cahaya seribu bulan” itulah tersibak apa-apa yang tersimpan dalam rahasia ayat-ayat Al-Qur’an. Tentu saja yang bisa menerangi misteri Ilahi hanyalah cahaya Ilahi saja. Maka, manusia harus meraih anugerah cahaya ilahi ini, yang bisa diakses oleh manusia melalui pensucian jiwa, melalui zikir, sebab seperti kata Syekh Athaillah As-Sakandari, “Zikir adalah cahaya yang menerangi.” Tazkiyat an-nafs (penyucian jiwa), karena itu, adalah kunci pertama dan utama dalam membuka rahasia Al-Qur’an.


Tetapi jelas pula bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan hanya kepada golongan elit spiritual seperti Nabi dan Wali Allah, tetapi juga kepada seluruh manusia yang bertingkat-tingkat kedudukan ruhaninya. Karena manusia dalam dirinya sendiri adalah “terbatas” dan memiliki banyak kekurangan, maka Allah berkenan mengejawantahkan Wahyu, yang tak lain adalah representasi Tuhan itu sendiri, ke dalam bentuk yang bisa dipahami manusia, agar manusia bisa mengenal Tuhannya melalui sarana Wahyu itu. Jadi, sebagaimana kita lihat sekarang, Al-Qur’an diajarkan dalam bentuk kalimat, yang tersusun dari kata, yang tersusun dari huruf. “Kalimat adalah dari huruf, dan huruf adalah dari udara, dan udara adalah dari Nafas al-Rahman.” demikian kata Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi. Untuk memahami kalimat ini manusia memerlukan kehadiran dari al-Rahman, yakni Tuhan, karena hanya karena Dia-lah yang bisa menghidupkan apa-apa yang menjadi kandungan dari kalimat-kalimat itu.


Karena, seperti telah disinggung di atas, Al-Qur’an, atau “Kalimat Allah,” tak lain adalah makhluk termasuk manusia, maka unsur penyusun dari seluruh ciptaan tak lain adalah “huruf” dari tiupan “Nafas al-Rahman.” Ketika Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh manusia, yakni tiupan rahmat, maka kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalam Diri-Nya dihidupkan. Jadi, huruf-huruf dihidupkan, dihubungkan dan dibentuk menjadi makhluk atau kalimat-kalimat. Setiap huruf, seperti ditunjukkan dalam ilmu fonetik modern, adalah tempat di mana nafas berhenti atau dibelokkan. Kombinasi huruf menjadi kalimat, dan kalimat menyampaikan makna dari si pembicara, yakni Allah SWT. Karenanya dikatakan bahwa barangsiapa ingin bercakap dengan Allah hendaklah ia membaca al-Qur’an.


Jadi, Al-Qur’an adalah kitab yang hidup, kitab yang diturunkan dari aras kesucian, dan karenanya, agar kita bisa “menghidupkan” ayat-ayatnya, maka kita harus menghubungkan ruh kita dengan “ruh” Al-Qur’an. Hal ini hanya bisa terjadi apabila hijab hawa nafsu yang mengalahkan ruh kita telah diangkat, atau setidaknya dibuat tak berdaya sehingga cahaya ruh kita yang telah suci bebas dari cemar nafsu bertemu dengan cahaya Al-Qur’an. Dalam hadis dikatakan bahwa tidak akan menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci dari hadats, yakni seseorang tidak akan “menyentuh” makna hakiki Al-Qur’an sebelum ia suci dari hadats hawa nafsu. Kita ingat riwayat bahwa sebelum Muhammad menjadi Nabi, beliau adalah “yang terpercaya” (al-amin) dan “buta huruf” (ummi) dan, sebelum menerima wahyu, dadanya telah dibedah oleh malaikat untuk disucikan hatinya.

10 komentar:

Unknown mengatakan...

Penafsiran Sufi atas makna rahasia (batiniah) atas Al-Qur’an didasarkan pada perlambang, yang hanya bisa diungkap melalui kesucian. Tafsir sufi tidak terbatas hanya pada aspek lahiriah dan batiniah dari teks surat secara keseluruhan, ayat per ayat, tetapi juga menukik hingga ke tafsir atas huruf. Karena Al-Qur’an adalah Wahyu Allah, yang boleh dikatakan “merepresentasikan” segala Ilmu Allah, maka setiap huruf adalah ayat tersendiri yang melambangkan maksud tertentu. Rahasia-rahasia Al-Qur’an, mulai dari rahasia surat hingga ke rahasia huruf tak bisa diketahui melalui penalaran, tetapi melalui jalur lain, yakni mujahadah (jihad akbar) sampai seseorang mencapai mukasyafah dan musyahadah (kesaksian atas kenyataan batin).

Unknown mengatakan...

Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa “Awalnya terbersit ‘pikiran’ dalam diri Tuhan, sebuah niat, sebuah kehendak. Obyek dari pikiran ini, atau niat dari kehendak ini, adalah huruf-huruf yang menjadi prinsip segala hal; menjadi ‘indeks’ dari segala sesuatu dalam ciptaan. Dari huruf-huruf inilah segala sesuatu diketahui.” Rasulullah bersabda, “Semua ayat Al-Qur’an mengandung makna lahir dan batin. Setiap hurufnya memiliki makna tertentu, dan setiap huruf menyatakan secara tak langsung tempat kedudukannya (matla’).”

Unknown mengatakan...

Al-Tirmidhi menyatakan bahwa semua ilmu ada dalam huruf-huruf karena asal-muasal ilmu sesungguhnya berasal dari Asma Agung Tuhan, yang melahirkan penciptaan dan pengaturan. Allah mengajari Adam pengetahuan dan akar pengetahuan. Pengetahuan itu terdiri dari “nama-nama”; akar pengetahuan adalah 28 huruf abjad [Arab]. Bahasa berakar pada huruf. Maka makna pengetahuan bukan hanya ditemukan dalam kalimat atau kata. Dua puluh delapan huruf Arab, menurut Muhyiddin Ibn ‘Arabi, adalah artikulasi (perwujudan) dari prinsip tunggal, yang masing-masing terkait dengan Nama Ilahi. Jadinya setiap bentuk dasar huruf mengindikasikan makna.

Unknown mengatakan...

Allah meletakkan pengetahuan ma’rifat “nama-nama” ke dalam hati Adam. Tempat di mana nama-nama itu mengambil bentuk (taswir) adalah di dada. Kemudian mereka diterjemahkan [ke dalam bentuk suara] melalui tenggorokan dan bibir. Dalam huruf-huruf itu tersimpan pengetahuan pengetahuan primordial (ilm al-bad’), pengetahuan Asma Agung Allah, juga ilmu pengaturan oleh Allah (ilm al-tadbir) yang meliputi ilmu dari Nabi Adam sampai Hari Kiamat. Nama adalah penanda atas sesuatu, sedangkan sifat (atribut) adalah penjelasan yang datang dari sesuatu itu. Nama adalah untuk bahasa, sifat adalah untuk penglihatan dan pemahaman.

Unknown mengatakan...

Tetapi jika Allah adalah tersembunyi, tak bisa disentuh, dilihat, dirasakan, dicium atau dipahami, maka bagaimana mungkin manusia bisa mengetahui atau melihat sesuatu itu? Allah tidak bisa dipahami dengan perasaan, sentuhan, penglihatan dan sebagainya, karena Dia adalah “Perbendaharaan Tersembunyi” yang Maha Gaib. Oleh karenanya, sebelum Dia menciptakan dunia, Dia memperlihatkan sifat-Nya demi kepentingan hamba-Nya. Setiap sifat ini kemudian diekspresikan dalam kombinasi huruf-huruf yang menjadi Asma al-Husna. Nama yang berasal dari atribut/sifat dan Allah bisa dideksripsikan karena ada sifat yang memancar ini (lihat Bab 2). Nama dan sifat hadir agar lidah bisa mengucapkannya hingga menjadi suara. Nama dan sifat, sebagai bentuk penjelasan, adalah seperti “cahaya yang menerangi langit dan bumi” sehingga segala sesuatu yang ada dalam ciptaan menjadi jelas — “Allah adalah cahaya langit dan bumi.”

Unknown mengatakan...

Melalui huruf-huruf inilah Allah menampakkan diri kepada hamba-Nya, seperti dinyatakan oleh Imam Ja’far: “Allah memperlihatkan Diri-Nya kepada hamba-Nya dalam kitab-Nya, namun mereka tidak melihat-Nya,” yakni memperlihatkan Diri-Nya dalam rahasia di balik huruf-huruf Kitabullah. Dengan demikian, untuk mengenal-Nya (ma’rifat), kita mesti membaca Al-Qur’an dalam pengertian mistis ini. Jadinya, Iqra’, bacalah, yakni siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan Asma-Nya, ia laksana menyambungkan cahaya pengetahuan dari lidahnya ke Sumbernya. Dalam analisis terakhir, ada hubungan penting antara pensucian jiwa, membaca Al-Qur’an, dan pengetahuan Allah: Seseorang yang telah mensucikan diri dari segala hawa nafsu, ia akan “mengalirkan” khasanah Ilmu Allah ke dalam dirinya melalui perantaraan Al-Qur’an. Ia akan dikaruniai pengetahuan tentang makna lahir dan batin dari Al-Qur’an. Karena itu, dapat dipahami jika Nabi dan Wali Allah memiliki pemahaman tentang Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh manusia biasa. Karenanya, menurut Al-Hakim al-Tirmidhi, salah satu tanda Wali Allah adalah ia menguasai ilmu huruf. Ilmu huruf ini dianggap kunci bagi semua ilmu lainnya.

Unknown mengatakan...

Turunnya Wahyu Al-Qur’an dalam bentuk huruf-huruf adalah semacam transformasi dari dunia yang “tak diciptakan” atau tak dapat dipahami menjadi dunia yang “terciptakan” atau dapat dipahami. Abjad Arab — yang merupakan bahasa Al-Qur’an — terdiri dari 28 huruf, yang terbagi menjadi dua bagian, 14 huruf-huruf yang jelas dan 14 huruf-huruf yang tersembunyi (dalam ilm tajwid ini dinamakan huruf syamsiyyah dan qamariyyah). Huruf yang berkaitan dengan dunia “yang tak terciptakan” adalah huruf-huruf misterius yang menjadi awal dari 29 surat. Huruf-huruf itu tidak “divokalkan” – misalnya ayat pertama surat al-Baqarah dibaca alif, lam, miim dibaca tanpa harakat (penanda vokal). Semua ayat Al-Qur’an bisa “dibaca” karena divokalkan, kecuali huruf-huruf pembuka beberapa surat, yang hanya bisa “dieja.” Huruf-huruf misterius ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para Sufi.

Unknown mengatakan...

Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq pernah mengatakan bahwa rahasia dalam Al-Qur’an terkandung dalam huruf-huruf fawatih atau muqatta’at (huruf-huruf yang misterius artinya yang ada di ayat pembuka beberapa surat Al-Qur’an). Interpretasi esoteris (mistis) atas huruf Arab tidak bisa dilakukan kecuali dengan menyertakan aritmologik (nilai numerik atau angka pada setiap huruf). Syekh Ahmad al-Buni dalam Kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra menjelaskan: “Rahasia-rahasia Tuhan dan obyek Ilmu-Nya … adalah dua macam, yakni huruf dan angka. Angka adalah realitas tertinggi yang berbasis spiritual, sedangkan huruf berasal dari alam material dan malakut. Angka adalah rahasia kata, dan huruf adalah rahasia tindakan.” Dengan kata lain angka melambangkan dunia spiritual dan huruf melambangkan dunia jasmaniyah. Nilai numerik dari masing-masing huruf itu adalah sebagai berikut:

Menurut para Sufi, huruf-huruf misterius yang “tak bermakna” itu dianggap mengandung ilmu-ilmu Allah yang diturunkan secara langsung dengan sangat cepat sehingga bahkan malaikatpun tak sempat memahami artinya. Dalam riwayat diceritakan ketika Jibril menurunkan ayat pertama Surat Maryam, Kaaf, haa, yaa, ‘ain, shaad, Nabi berkata, “Aku tahu artinya,” tetapi Jibril bertanya, “Bagaimana engkau tahu sesuatu yang aku tak tahu?” Melalui ilmu huruf dan angka ini para Sufi melahirkan pandangan yang eksotis tentang Al-Qur’an.

Unknown mengatakan...

Misalnya, huruf-huruf awal awal surat Maryam ditafsirkan sebagai perlambang dari Asma al-Husna:
Kaaf = al-Kafi
Haa = al-Hadi
Yaa = al-Yaqin
‘Ain = al-‘Alim
Shad = as-Shadiq

Karenanya, huruf-huruf ini mengandung makna dan “berkah” tertentu dari khasanah Asma-Nya, yang hanya bisa diketahui oleh para ahli-kasyaf. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib menggunakan huruf-huruf ini sebagai wasilah untuk berdoa: Wahai Kaaf, Haa, Yaa, ‘Ain, Shaad, aku berlindung kepada-Mu dari dosa yang menyebabkan murka-Mu … Ya Allah tolonglah aku melawan diriku sendiri.” Demikian pula Sayyid Abu Hasan as-Syadzili berdoa dengan menggunakan huruf-huruf: “Qaaf, Jiim, adalah dua rahasia bersama-Mu. Keduanya menunjukkan kepada selain-Mu. Maka, dengan rahasia yang menyeluruh yang menunjukkan kepada-Mu, janganlah Engkau biarkan aku menuju selain-Mu. Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Unknown mengatakan...

Rahasia huruf dan angka ini juga dipakai untuk menentukan jumlah bacaan zikir. Misalnya, dalam Tarekat Qadiriyyah, murid pemula dianjurkan setiap hari membaca asma “Allah” sebanyak 66 kali, yang dianggap sebagai “dosis” yang pas, karena jumlah numerik “Allah” adalah 66 (alif = 1, lam, lam = 2 x 30, dan h = 5).

Sebagai ilustrasi, berikut sedikit contoh tentang tafsir oleh para Sufi. Pertama kita ambil contoh ayat awal Surat Al-Fatihah yang merupakan induk Al-Qur’an, yakni ayat bismillahi ar-rahman ar-rahim. Untuk contoh pertama, di bawah ini hanya akan disajikan sedikit saja contoh tafsir kalimat “bismillah” disebabkan oleh keterbatasan tempat dalam buku ini.

Surat ini oleh Al-Qur’an sendiri (Q.S. 15:87) disebut “Tujuh yang diulang” (sabt al-matsani) sebab Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dalam shalat. Dalam al-Fatihah terdapat seluruh huruf kecuali tujuh huruf:

za, kho, dzho, tsa’, syin, jim, fa

Sebagian Sufi menyatakan bahwa Asma Paling Agung (Ism al-Adzam) Allah terkandung dalam huruf-huruf ini.

Dalam sebuah tafsir lain dikatakan bahwa semua yang tercantum dalam Al-Qur’an ada dalam Al-Fatihah, dan semua yang ada dalam Al-Fatihah ada di dalam bismillahi ar-Rahman ar-Rahim (kalimat basmalah), dan semua yang ada di dalam kalimat basmalah itu ada dalam huruf ba’, dan huruf ba’ itu sendiri terkandung di dalam titik yang berada di bawahnya. Titik adalah asal-usul dari segala huruf. Menurut suatu riwayat, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib mengisyaratkan tafsir ini dalam ucapan saat beliau mengalami fana: Anaa nuqtatu ba–i bismillah (Aku adalah titik huruf ba’ dalam bismillah).

KOMENTAR FB